Bougenville di Jantung Brescia

604

Sangat mudah menemukan rumah Sekar di kotaku yang kecil ini. Siang ini setelah Misa Pelajar, aku beranikan diri tuk bertemu di rumahnya. Bunga bougenville menyambutku di taman mungil depan teras rumahnya.
“Permisi,” sapaku.
Tak ada suara yang membalas. Pintu masih tertutup rapat. Kutunggu lima menit. Sempat ada keraguan. Apa lebih baik aku pulang saja? Ah… enggak. Aku harus tunggu dia. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Sembari menunggu, kukeluarkan kertas di dalam tasku. Aku mulai membuat sketsa bunga bougenville yang cantik itu.

Setelah menunggu lebih dari setengah jam, Sekar datang. Ada perasaan senang
sekaligus cemas berkecamuk dalam hatiku.
“Met siang. Aku Sapto,” kuulurkan tanganku.
“Met siang. Sekar,” dia membalas dengan suara yang lembut. “Mau bertemu
dengan?”
“Dengan kamu,” jawabku sambil menyembunyikan rasa grogiku. “Ini rosario milikmu? Kemarin ketinggalan di gereja.”
“Makasih.”
“Orangtua belum pulang?”
“Aku hanya tinggal dengan nenekku.”
“Orangtua tinggal di kota lain?”
“Engga. Waktu aku masih enam tahun, kami mengalami kecelakaan mobil. Aku selamat. Tapi Bapak Ibuku ga tertolong.” “Oh, maaf.”

“Gapapa. Nenek yang mengurus aku sejak orangtuaku meninggal. Dia sangat strick. Aku sadar tugasnya berat gantiin peran orangtuaku.”
Pembicaraanku di teras mulai cair. Tiba-tiba datang perempuan yang sudah sepuh.
“Selamat siang Bu. Saya Sapto.”
“Selamat Siang. Saya Ibu Maruti, neneknya Sekar,” jawabnya dengan nada yang dingin dan sorot mata penuh curiga menandakan sikap dia kurang suka dengan kedatanganku.

Aku putuskan pamit. Lalu mereka segera masuk ke ruang tamu. Sebelum aku meninggalkan teras, tanpa mereka sadari, aku mendengar Neneknya berbicara
sangat serius dengannya.
“Sekar, dia pacarmu?”
“Engga. Aku baru bertemu sekali dengannya. Tadi. Dia datang buat ngasih rosarioku yang ketinggalan di gereja kemarin.”
“Ingat Sekar. Kamu belum boleh pacaran!
Kamu harus konsentrasi belajar. Sebelum meninggal, Ibumu sempat mengutarakan keinginannya. Dia akan sangat senang kalau kamu mau jadi biarawati.”
Pernyataan Bu Maruti membuatku bertanya dalam hati, “Haruskan aku melupakan Sekar?”

***

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini