Leonardus Osman Silalahi : Membangun Rumah yang Layak

533
Leonardus Osman Silalahi.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Dunia kampus hanya sebentar dicicipinya. Ia berhenti karena ingin bekerja seperti sang ayah. Mula-mula sebagai sopir hingga mengepalai bermacam proyek termasuk gereja, kapela, dan bangunan lembaga Katolik lain di telatah Keuskupan Agung Medan.

Leo, demikian panggilannya, tak lama mencicipi aktivitas di kampus. Bukan karena terbentur persoalan ekonomi atau malas, mahasiswa jurusan ekonomi di sebuah universitas di Sumatera Utara itu ingin mengikuti jejak sang ayah sekaligus mewujudkan impian masa kecilnya. Leo terpincut menjadi kontraktor.

Keputusan Leo menyudahi kuliah, menurutnya, salah satu perkara besar dalam hidupnya. Kendati sudah menentukan sikap dan pilihan, ia tak menampik masih ada sejumput kebimbangan akan masa masa depannya. Tak pelak, sejumlah pertanyaan kadang berkecamuk di dalam benaknya. Apakah ia mampu meraih cita-citanya itu? Apakah ia sanggup bertahan di tengah gempuran persaingan? Apakah ia bisa meneladani dan meneruskan jejak ayahnya?

Beruntung, pada saat dirinya dirundung kalut tentang masa depan, Leo teringat pesan ayahnya. Sang ayah berkata kepadanya jika kelak kehidupannya terbalik 180 derajat dari yang dicita-citakan, jangan pernah mengutuk situasi, tapi salahkan caranya mengatasi persoalan tersebut. “Jangan kamu tangisi kemiskinanmu, tapi tangisilah kebodohanmu (mengapa bisa terjadi begitu),” ujar Leo, mengutip petuah ayahnya.

Tak Memanjakan
Pesan sang ayah senantiasa memantik motivasi dan semangat hidup Leo. Ia sadar, dirinya mungkin telah gagal di dunia pendidikan, namun tak ingin juga kalah dalam kehidupan. Karena itu, ia tekun mempelajari cara kerja dan berpikir ayahnya. Setiap hari, Leo nyaris tak pernah absen di sisi orangtuanya itu.

Marali Laurentius Silalahi juga tak pernah “membentangkan karpet merah” untuk putranya itu. Marali paham jika dirinya terlalu memanjakan, mental putranya bakal melempem dan itu bakal berdampak buruk bagi kehidupannya kelak. Marali ingin Leo gigih belajar dan berusaha demi meraih cita-citanya. Baginya, orang yang mengetahui dan menjalani setiap proses –jatuh, bangkit, suka, maupun duka– akan lebih menjaga dan menghargai hasil.

Leo mengakui bahwa dirinya hampir tak mendapat apa-apa dari ayahnya. Hanya ada satu, menurut pengakuannya, yang diberikan sang ayah kepadanya, yaitu kesempatan. Meski demikian, Leo mengakui,kesempatan itulah yang membuat ia belajar banyak dari sang ayah.

Leo mula-mula menjadi sopir pribadi ayahnya sendiri. Pekerjaan itu mengajarinya untuk setia menjalani suatu yang mungkin dinilai rendah atau dipandang sebelah mata. Tapi, katanya, kesetiaan itu harus dilatih dari hal-hal sederhana. Bukankah orang yang setia dalam hal-hal kecil, akan lebih setia dalam perkara-perkara besar?

Dengan menjadi sopir, Leo senantiasa mendampingi dan menemani ayahnya. Perlahan-lahan, ia menyaksikan dan belajar dari ayahnya. Ia kerap mengantar ayahnya ke berbagai lokasi proyek seperti biara-biara dan gereja-gereja di telatah Keuskupan Agung Medan. “Saya mulai belajar dari nol dengan melihat dan menyaksikan bagaimana ayah saya bekerja, kendati hal itu sangat tidak mudah diikuti,” ungkap anak kedelapan dari sembilan bersaudara itu.

Selain menjadi sopir, Leo juga menimba ilmu bersama tukang-tukang ayahnya di lokasi proyek. Ia belajar menyesuaikan diri, masuk ke dunia para tukang batu, tidur di gudang proyek, makan bersama mereka, membuat campuran semen dan pasir, serta mengaduk material bangunan itu.

Meski begitu, Leo merasakan, apa yang dilakukannya pada saat itu masih berada di bawah radar sang ayah. Leo belum menyakinkan orangtuanya untuk mendapat kepercayaan menangani proyek. Ia masih harus banyak belajar. Ibarat dilepaskan kepala, menarik ekor. “Saya belum sepenuhnya bisa mandiri kala itu, sebab saya masih banyak belajar dari sang ayah,” ujar bapak yang kini memiliki tiga anak, mengakui.

Mendapat Kepercayaan
Leo butuh waktu hingga akhirnya mendapat kepercayaan ayahnya untuk terlibat dalam proyek. Begitu sang ayah merasa cara kerja putranya cakap, ia langsung memberikan tanggung jawab kepadanya. Leo didapuk sebagai pengawas tukang-tukang di lokasi proyek. Ia juga yang membelanjakan bahan bangunan dan mengawasi masuk-keluar material tersebut.

Bagi Leo yang saat itu baru berusia 25 tahun dan lajang, bagian tersulit dari perannya saat itu adalah memberhentikan orang dari pekerjaan karena berbagai macam alasan. Hal itu tak mudah karena Leo paham bahwa tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, keputusan itu harus ia jalani. Bagian tersulit itu pun harus ia laksanakan sebagai bagian tanggung jawabnya.

Seiring waktu, Leo semakin mandiri. Ibarat ayam, sang induk sudah “melepaskan” anaknya untuk mencari makanannya sendiri. Proyek perdana yang ia dapat adalah rumah tahun orientasi rohani St Markus, Pematangsiantar, Sumatera Utara. Ia menggarap bangunan tersebut dengan bantuan ratusan tukang.

TOR St Markus merupakan tempat pembinaan rohani bagi para calon imam diosesan dari enam keuskupan di Regio Gerejawi Sumatera. Mereka yang berada di TOR sudah menamatkan pendidikan di seminari menengah. Setelah tinggal setahun di TOR, mereka melanjutkan pendidikan ke seminari tinggi.

Leo mengakui, selain dukungan dan semangat yang diberikan sang ayah, motivasi atas karyanya sebagai kontraktor juga datang dari para imam dan suster, seperti Pastor Bambang, Pastor Dibyo SJ, Pastor Luhur Pribadi, dan juga Suster Vincentia Simbolon FCJM. “Kamu harus percaya kepada dirimu sendiri meskipun kadang kamu belum memahami sepenuhnya apa yang kamu kerjakan,” ungkap Leo, meniru pesan yang pernah diterimanya dari seorang imam.

Sejak merampungkan karya perdananya, Leo kebanjiran proyek dari berbagai lembaga Katolik. Ia diminta untuk membangun berbagai biara, asrama, sekolah, pastoran, kapela, gereja yang berada di telatah Keuskupan Agung Medan. Beberapa karyanya antara lain: Asrama Putra Domus Nostra Manduamas, Kapel Biara Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina Medan, Gereja Lau Mulgap, Pastoran Mandala Medan, Gereja Stasi Martahan, Asrama Sekolah Mentawai, Asrama Puteri Pakkat, Biara Suster-suster Fransiskan Putri-putri Hati Kudus Yesus dan Maria (Franciscanae Filiae Sanctissimae Cordis Jesus et Mariae/FCJM) Balige, Kapel Panti Pius Sinaksak, Biara Kongregasi Misionaris Claretian Pematangsiantar, serta Pastoran dan Aula Paroki St Antonio Claret Tomok.

Mendekatkan Diri
Bagi Leo, pengalaman sebagai kontraktor bangunan biara-biara, gereja, dan juga asrama menjadi sarana mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan Gereja. “Saya sungguh bersyukur bahwa dengan karya ini saya banyak belajar sesuatu. Ketika saya berjuang mencari, saya tidak mendapat. Ketika saya belajar melepaskan, saya mendapat lebih dari yang saya dambakan. Saya percaya Tuhan mengembangkan saya dengan cara yang lain,” ungkapnya.

Proyek-proyek yang ia rampungkan bersama para tukangnya itu juga didedikasikan sebagai dukungan bagi Gereja dan para pelayan Tuhan. “Talenta yang saya terima itu saya kembangkan sebagai bentuk dukungan bagi para calon imam, biarawan-biarawati, umat Allah dengan membangun rumah yang layak bagi mereka,” pungkas suami Riama Shandra Dewi Purba.

Frater Nicolaus Heru Andrianto/Yanuari Marwanto

HIDUP NO.43 2018, 28 Oktober 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini