Komunitas Mother Mary Kids : Anak-anak Maria Belajar Iman

684
Padua Suara anak-anak dari Komunitas Mother Mary Kids.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Anak-anak yang duduk di sekolah internasional pun perlu belajar tentang iman. Mereka juga anak-anak Allah.

Memasuki sebuah rumah di kawasan Permata Hijau Jakarta Selatan itu, puluhan anak sedang asyik belajar. Di rumah inilah, Komunitas Mother Mary Kids mengumpulkan siswa-siswa dari beberapa sekolah internasional di Jakarta. Di sini, anak-anak itu belajar tentang iman Katolik.

Tidak semua sekolah internasional di Jakarta mengakomodasi pendalaman iman bagi siswa-siswa Katolik. Di sinilah, Mother Mary Kids menjadi wadah bagi anak untuk belajar tentang kekatolikkan. Sekali seminggu pada hari Jumat, anak-anak berkumpul sebagai “Gereja kecil”.

Belajar di tempat ini layaknya mengikuti sekolah Minggu. Mereka belajar belajar Kitab Suci, liturgi, dan beragam pengetahuan tentang iman dan Gereja Katolik. Komunitas ini merangkul mereka agar tidak “kabur”.

Berbagai Kendala
Suatu ketika beberapa orang tua murid yang anaknya belajar di sekolah internasional mengutarakan kegelisahan mereka. Mereka khawatir dengan perkembangan iman sang buah hati. Apa pasal, ternyata di sekolah, anak-anak tidak mendapatkan pendampingan iman Katolik yang memadai.

Beberapa orang tua murid itu memimpikan adanya sebuah tempat bagi anak-anak mereka belajar tentang iman Katolik. Berangkat dari keresahan ini, Petrus Darmawan Tirta, Fanny Lidjaya, Sandra Setijono, dan beberapa orang tua murid lain memutuskan membentuk Mother Mary Kids. Mereka bertekat mengambil tanggung jawab atas perkembangan iman anak-anak.

Sejak itu, Mother Mary Kids pun mulai membina iman anak-anak yang belajar di sekolah internasional. Di sini, pelajaran iman disampaikan dalam bahasa Inggris. Petrus mengakui, anak-anak hanya mendapat pelajaran agama Katolik seadanya di sekolah. Sedangkan untuk mengikuti pendalaman iman di paroki, banyak hal harus disesuaikan, termasuk karena kendala bahasa. “ Karena kendalanya bahasa, di sana mereka kesulitan untuk belajar Kitab Suci, liturgi, nyanyian Gereja, serta pengetahuan lainnya seputar iman Katolik,” ungkapnya.

Mother Mary Kids mulai menjalankan kegiatannya pada 2 Maret 2012. Awalnya mereka memakai sebuah rumah di kawasan Blok F sebagai tempat belajar. Kala itu, jumlah anak yang ikut sekitar 20 sampai 25 orang usia dua hingga 15 tahun. “Awalnya susah mencari tempat, akhirnya didapat rumah kosong yang oleh pemiliknya diperbolehkan untuk dijadikan tempat belajar iman Katolik bagi anak-anak,” kenang Petrus.

Sebagai rintisan, Petrus bersama beberapa orang tua lain berusaha sedapat mungkin untuk rutin mengadakan pertemuan. Semua membangun komitmen agar anak-anak benar-benar dirangkul. Karena semangat inilah, komunitas ini mampu bertahan sebagai tempat belajar iman. Di sini, anak-anak pun dapat saling bertemu sebagai saudara seiman.

Berpindah-pindah
Pada saat merintis, Mother Mary Kids juga kesulitan menemukan orang yang dapat mengajar iman Katolik di sini. Fanny Lidjaya menuturkan, mencari pengajar iman yang bisa bahasa Inggris ternyata tidak mudah. Pengajar tidak saja harus kreatif, ia juga harus memiliki kedekatan pada anak, yang paling utama ia juga memiliki pengetahuan seputar Gereja, Kitab suci, liturgi, dan pengetahuan iman lainnya. “Pertama-tama kami membujuk guru agama dari TK terutama mengerti alkitab dan bahasa Inggris.”

Fanny menambahkan, awalnya hanya empat guru yang terjaring. Para pengajar ini sebelumnya akan bertemu setiap hari Selasa untuk merancang materi yang akan diberikan pada hari Jumat. Kini, Mother Mary Kids didampingi oleh sepuluh katekis. “Guru yang mengajar sifatnya suka rela. Mereka memiliki minat untuk mendampingi belajar anak-anak.”

Program demi program dibuat terutama kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan anak. Sandra Setijono menjabarkan, Mother Mary Kids berjalan secara konsisten. Lambat laun, orang tua menjadi semakin percaya pada kemampuan katekis. Saat bergulir pertama kali. Mother Mary Kids tidak hanya untuk anak-anak dari Paroki Santo Yohanes Penginjil Blok B jakarta Selatan, akan tetapi juga dari paroki lain.

Dari sejak semula, Mother Mary Kids konsisten mengadakan program pendampingan iman. Mereka sempat berpindah tempat ke rumah salah satu peserta. Ketika peserta menjadi sekitar 70 orang, rumah itu pun dirasa terlalu kecil. Mother Mary Kids pun harus menemukan tempat baru. Akhirnya, mereka menemukan sebuah rumah di kawasan Permata Hijau Jakarta Selatan yang hingga kini dipakai.

Dengan peserta cukup banyak, maka pendampingan iman pun dilakukan dalam empat kelas. Anak-anak dibagi sesuai rentang usia mereka. Matthew Class untuk usia 2-6 tahun, Mark Class untuk usia 6-9 tahun, Luke untuk kelas 9-11 tahun, dan John Class untuk 11 tahun ke atas.

Terlibat di Gereja
Petrus menekankan, Mother Mary Kids mendorong anak-anak agar lebih aktif di Gereja. Mereka harus terlibat dalam berbagai pelayanan di Gereja. Ini adalah sebuah upaya membuka pintu gereja bagi mereka. “Anak-anak akan dilatih kor, doa rosario dan doa-doa lainnya. Selain itu akan ada program untuk melibatkan anakanak untuk menjaga ketertiban di gereja,” jabarnya.

Upaya melibatkan anak-anak di dalam pelayanan di Gereja adalah agar mereka datang kepada Yesus. Jika anak-anak benar-benar dilibatkan maka kita melibatkan Yesus itu sendiri. Bagaimanapun juga anak-anak itu adalah gambar dan rupa Allah. Mereka adalah masa depan Gereja. “Begitu banyak fenomena dimana anak-anak ini tidak diarahkan, padahal mereka juga sebagai orang Katolik yang berziarah bersama sebagaimana umat beriman yang lainnya,” kata Petrus menjelaskan.

Di Mother Mary Kids, anak-anak diarahkan untuk membuat logo, proposal dan dilatih berorganisasi. Petrus mengungkapkan, di komunitas ini, anak-anak belajar community survice. Salah satu bentuknya adalah dengan mengadakan bakti sosial bagi saudara-saudara yang kekurangan.

Apa yang diusahakan Mother Mary Kids adalah membentengi anak-anak agar tidak “lari”. Seperti dijelaskan Fanny, orang tua dan juga Gereja tak boleh menutup mata terhadap perkembangan iman anak-anak yang belajar di sekolah internasional. “Mereka harus di bawa kepada Kristus agar mereka tidak pergi ke tempat yang lain. Sebagaimana sabda
Kristus sendiri bahwa biarkan anak-anak datang Padaku.”

Willy Matrona
Laporan: Felicia Permata Hanggu, J. R. Nugroho

HIDUP NO.42 2018, 21 Oktober 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini