Sirojuddin Abbas dalam paparannya menyampaikan bahwa lahirnya perda-perda bernuansa agama yang jumlahnya ratusan itu, mengindikasikan bahwa kelompok islamis-konservatif, telah menyusun gerakan secara matang untuk mengganti ideologi negara dengan cara mewujudkan pemerintahan Islam. Abbas berpendapat bahwa melalui perda-perda agama itulah, mereka merasa ada legitimasi hukum dan politik untuk melakukan tindakan makar.
Narasumber kedua, Akhmad Sahal, mengingatkan bahwa gegap gempita perda agama (syariah) mengindikasikan kegagalan umat Islam dalam memahami syariah. Syariah hanya dilihat sebagai hal-hal yang bersifat ritual daripada mengkaitkannya dengan hal hal yang lebih bersifat substantif, seperti keadilan sosial dan kesetaraan hak.
“Situasi seperti ini juga mendorong para politisi untuk mengkomodifikasi simbol-simbol syariah sebagai komoditas politik yang laku keras,” kata Sahal. Pada tahun 2013, Sahal melanjutkan, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir mengungkapkan tak kurang dari 151 Perda Syariah dalam kurun 1999-2009 mengandung unsur diskriminatif, bahkan mendorong terciptanya kekerasan di wilayah publik.
Sementara narasumber lainnya, Rita Pranawati, mengatakan bahwa perempuan rentan dijadikan sebagai komoditas politik. Ini bisa dilihat, bagaimana perda agama menyudutkan kaum perempuan dalam posisi sub ordinat. Komnas (Komisi Nasional) Perempuan menemukan ada 421 kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk perda dan surat edaran yang mendiskriminasikan minoritas dan perempuan.
“Yang sekarang diperlukan adalah bagaimana penerapan KUHP bisa diefektifkan, sehingga dengan demikian bisa mencegah timbulnya perda-perda agama yang berpotensi menyulut kekerasan terhadap perempuan, seperti yang terjadi di Bulukumba, Aceh, atau Cianjur,” ungkap Komisioner KPAI dan Peneliti di Center for the Study or Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta. (Sumber: Moh. Shofan, Direktur Riset MAARIF Institute-Siaran Pers)
Antonius Bilandoro