Pra Paroki St Yosef Meraban Keuskupan Ketapang: Gerakan Imam Bonjol

533
Gereja Paroki St Yosef Meraban Keuskupan Ketapang. [Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com Memenuhi kebutuhan pastoral memerlukan kreativitas tinggi di tengah keterbatasan. Hal itulah yang diterapkan Pastor Pra Paroki Meraban.

LAPANGAN rumput hijau terbentang luas di depan tiga gedung bangunan. Terlihat bendera Merah Putih berkibar dengan rasa bangga diterpa angin yang datang dari Sungai Kualan. Di tempat itu, berdirilah Gereja St Yosef Meraban.

Inilah pusat Pra Paroki St Yosef Meraban Keuskupan Ketapang. Sebagai sebuah rintisan paroki, Paroki Meraban memiliki lima stasi dan sepuluh kring. Dahulu, jika ingin berkunjung ke paroki induk di Paroki Santo Martinus Balai Berkuak, umat harus menempuh jarak 18 kilometer.

Jarak itu dapat ditempuh selama satu setengah jam menggunakan sepeda motor. Sejak jalan ke Balai Berkuak telah diaspal, umat hanya butuh 20 hingga 30 menit. Pastor Pra Paroki Meraban, Pastor Mardianus Indra menceritakan, untuk kunjungan ke stasi, mereka menempuhnya dengan menggunakan speedboat sebagai transportasi utama.

Letak kelima stasi yang menjadi ladang kerasulan berada di pinggiran Sungai Kualan. Dalam satu kali kunjungan pastoral, Pastor Indra harus menempuh perjalanan sekitar empat jam di atas perahu motor itu. “Satu kali turnei akan menghabiskan biaya pulang pergi sebesar Rp 1.300.000 berbanding terbalik dengan kolekte yang didapat sekitar Rp 400-500 ribu,” ujar Pastor yang doyan melucu ini.

Karena tempat yang jauh dari pusat kota ini, Pastor Indra pun memiliki beragam kisah pilu, baik yang ia alami sendiri, maupun yang dialami umat-umatnya. Ia mengingat, suatu hari, salah satu umat di stasi harus segera dilarikan ke rumah sakit di kota karena akan segera bersalin.

Mau tidak mau, ibu hamil itu harus diberangkatkan menggunakan speedboat. Pendarahan terjadi cukup parah selama perjalanan. Tak kuat menahan lelah fisik, ibu itu pun meninggal dalam perjalanan. Melihat situasi semacam itu, Pra Paroki Meraban bertekat untuk melayani yang lemah dan terpinggirkan.

Pastor Indra mencanangkan program “Gerakan Imam Bonjol”. Nama ini mengacu pada gambar Pahlawan Imam Bonjol dalam pecahan Rp 5000. Setelah gerakan ini digulirkan, kolekte yang awalnya berkisar Rp 250.000, meningkat menjadi 700 ribu sampai 1 juta.

Kemandirian pra paroki pun ditingkatkan melalui gerakan ini. Dengan meningkatnya jumlah kolekte maka defisit pengeluaran dapat semakin ditekan. “Gerakan ini ternyata ampuh dan mendapat respon positif. Kolekte kami naik mencapai angka Rp 700-1 juta,” ucapnya bangga.

Pastor Indra mengaku puas dengan capaian dari gerakan tersebut. Umat pun tidak banyak mengeluarkan nada protes dari kebijakan tersebut. Selama ini untuk biaya operasional pastoral, diberlakukan sistem subsidi karitas untuk turnei.

Dengan subsidi maka semua kring dapat dikunjungi lebih sering. Pastor Indra berharap melalui gerakan ini, target kunjungan ke hilir dapat mencapai angka sembilan kali kunjungan. “Sambutan umat sangat luar biasa antusias karena memang seorang Pastor ditunggu dan dirindukan kehadirannya disana.”

 

Felicia Permata Hanggu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini