Berani Bicara

291
Retno Listyarti.
[HIDUP/Hermina Wulohering]

HIDUPKATOLIK.com – Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, mengatakan kasus pelecehan seksual terjadi akibat relasi kekuasaan yang tidak seimbang. Hubungan itu terjadi lantaran salah satu pihak memiliki kekuasaan sangat besar dan pengaruhnya menakutkan. Sementara pihak lain kecil, serba terbatas, dan lemah.

Corak relasi seperti itu memungkinkan pihak yang memiliki kekuasaan besar untuk mengancam, menekan, dan meneror yang kecil. Karenanya, banyak wanita dan anak-anak yang sangat mungkin menjadi korban di lingkungan kerja atau sekolah. Korban anak-anak tidak hanya perempuan, menurut Retno, anak laki-laki pun rentan menjadi korban.

Tren kekerasan seksual sebelum 2018 menunjukkan, perempuan lebih rentan menjadi korban. Namun, pada 2018, laki-laki lebih rentan. “Laporan-laporan yang diterima KPAI dalam dua bulan pertama tahun 2018, menunjukkan 122 anak laki-laki menjadi korban sodomi di tiga sekolah yang berbeda oleh masing-masing satu guru,” katanya.

Retno mengungkapkan, situasi berbahaya jika anak tak berani bicara tentang yang yang dialaminya karena menerima ancaman. Orangtua harus berani melaporkan jika buah hati mereka mengalami kekerasan seksual, jangan malu atau takut. Sebab, jika diam akan merenggut banyak korban lagi. “Dengan melaporkan kekerasan seksual yang dialami anak sebenarnya kita menghentikan kekerasan yang akan terjadi kelak pada anak yang lain. Ketika diam, kita membuka pintu bagi anak lain untuk menjadi korban,” kata Retno saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa, 9/10.

Menyuarakan dan memperjuangkan anak yang menjadi korban kekerasan seksual bukan hanya mencegah anak lain ikut menjadi korban. Tetapi anak juga belajar bahwa ketika mengalami perlakuan tidak baik, harus berjuang melawan. “Dan ketika kita melawan, anak pun akan melihat bahwa orangtuanya memperjuangkan dirinya, bukan membiarkan dia terpuruk.”

Mencegah kekerasan seksual menurut Retno adalah dengan melakukan pendidikan seksual. Anak harus diajari bahwa ada bagian tubuh si anak yang tak boleh dipegang siapapun, kecuali dirinya. Dan jika ada yang melakukan, ia harus melaporkan. Oleh sebab itu, pendidikan pada usia dini harus kuat dan penting untuk mengajarkan anak berani bicara. “Yang penting adalah ngobrol sama anak. Orang tua yang hangat, harmonis, dan selalu dekat dengan anak akan mendorong anak untuk menceritakan apapun bahkan tanpa dipancing. Anak-anak harus disentuh – kulitnya, bukan bajunya–, dipeluk, makan bersama, kontak mata saat berkomunikasi,” ujar Retno.

Ia menambahkan, pedofil biasanya sangat dekat dengan anak-anak dan biasanya anak ditipudaya dengan iming-iming tertentu. Maka, jika anak terlalu dekat dengan orang lain, orangtua harus waspada.

Anak korban kekerasan seksual, kata Retno, berpeluang menjadi pelaku. Kasus yang ditangani KPAI, rata-rata pelakunya adalah yang pernah menjadi korban, tapi mereka tak pernah bersuara melainkan menyimpan (yang dialaminya) sendiri. “Akhirnya dia seperti dendam, anak lain juga tidak boleh bahagia. Bisa juga orientasi seksualnya menjadi keliru.” Mata rantai kasus ini harus diputus dengan menyembuhkan korban. Menyembuhkan trauma anak korban kekerasan seksual sangat bergantung kepada ibunya. “Anak dan ibu adalah satu kesatuan. Kalau ibunya sakit secara psikologis, anaknya tidak akan sembuh.”

Hermina Wulohering

HIDUP NO.42 2018, 21 Oktober 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini