Bina Iman, Bina Umat

303
Umat memfoto para uskup se-Indonesia.
[Dok.HIDUP]

HIDUPKATOLIK.com – Keteraturan hidup dalam komunitas sangat membantu para kaum berjubah menjaga diri dan karya mereka. Umat juga harus tahu diri, terutama di era milenial ini.

Para imam harus terus berusaha memperbaiki diri dan merawat kesetiaan imamat. Tahbisan membuat para klerus bersatu dengan imamat Kristus, sekaligus menyandang perutusan-Nya sebagai Kepala dan Gembala Gereja. Meski demikian, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, Pastor Antonius Eddy Kristiyanto OFM mengatakan, rahmat tahbisan tidak membebaskan imam dari kodrat manusia.

Ditemui di kediamannya, di Komunitas Duns Scotus, Kampung Ambon, Jakarta Timur, Rabu, 10/10, Pastor Eddy menjelaskan, komunitas yang ia tempati merupakan rumah formasi bagi para Fransiskan muda (calon imam dan bruder). Aturan hidup harian, kata Pastor Eddy, menjadi salah satu instrumen utama pembinaan. “Unsur-unsur formatif, termasuk pendidikan kerohanian, menjadi suatu yang penting di mana terjadi relasi dan pertukaran pengalaman iman dengan masyarakat baik Katolik maupun non-Katolik,” katanya.

Di dalam rumah pembinaan, pembimbing merupakan representasi orangtua. Keutamaan hidup dan teladan rohani pembimbing menjadi contoh konkret bagi para formandi. Bagi Pastor Eddy, teladan hidup akan lebih berbicara dan menggerakkan anak muda daripada sekadar nasehat. “Sia-sia jika bagus secara intelektual dan bertutur kata tapi tidak memberikan teladan. Itu (justru) akan menjadi batu sandungan,” pesannya.

Disiplin Hidup
Selain teladan, disiplin hidup juga menjadi kunci Pastor Eddy merawat kesetiaan pada janji imamatnya. Keteraturan hidup dalam komunitas, misal berdoa, makan, dan rekreasi bersama, menurut Pastor Eddy, sangat membantu para imam untuk bisa menjaga diri. “Kesetiaan pada acara hidup berkomunitas menjamin dalam menjaga komitmen saya kepada panggilan saya,” ujarnya.

Dalam pergaulan antar imam dan umat, Pastor Eddy mengajak kaum tertahbis dan umat untuk saling menghormati. Imam harus menghormati umat dan bersikap profesional, sementara umat juga harus menghargai para gembalanya. “Kalau kita bersikap sopan kepada orang lain, mereka juga akan menghormati kita,” ungkap Ketua Panitia Penilai Angka Kredit STF Driyarkara itu.

Sementara bagi Ketua Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Maumere, Pastor Yoris Role, umat merupakan rekan kerja dan saudara seperjalanan yang ikut meneguhkan imamatnya. “Saya meneguhkan umat dan umat juga turut meneguhkan panggilan saya,” ujarnya.

Kedekatan antara imam dengan umat, sarannya, harus bisa diarahkan untuk mendukung karya pelayanan. Relasi yang ia jalin antara lain dengan mendoakan dan berjalan bersama umat. Meski demikian, ia tak menampik ada imam di keuskupannya yang mengalami persoalan selibat dengan umat.

Ia berharap kepada umat agar memandang imam sebagai pribadi yang tak hanya memiliki kelebihan tapi juga kekurangan. Katanya, jangan terlalu mengidealkan imam sebagai “manusia malaikat”. Sebaliknya kepada sesama imam, ia meminta agar tak keliru menanggapi kebaikan umat.

Bagi Pastor Yoris, menjadi imam merupakan pilihan dan keputusan hidupnya. Karena itu, imam yang ditahbiskan pada 14 tahun silam itu iklas menanggung dan menjalani konsekuensi atas pilihan serta keputusannya itu. Perjuangan Pastor Yoris memegang janji imamat di hadapan Tuhan serta umat tak sebatas saat tahbisan tapi sepanjang hidupnya.

Baginya, menjalin relasi pribadi nan intens dengan Tuhan lewat doa, Perayaan Ekaristi, dan merenungkan Kitab Suci merupakan caranya untuk merawat panggilannya sebagai gembala umat. “Satu hal yang harus selalu disadari adalah keberhasilan dalam karya pastoral bukan karena kesanggupan atau kehebatan imam tetapi lebih terutama karena kemampuan Tuhan sendiri,” ujar Pastor Yoris, merendah.

Melukai Umat
Penyelewengan kaum berjubah terhadap kaul-kaul yang mereka hayati tak hanya melukai hati Allah tapi juga umat. “Terus terang saya kecewa dan sedih jika mendengar skandal-skandal yang melibatkan imam,” ungkap umat Paroki St Perawan Maria Ratu Blok Q, Keuskupan Agung Jakarta, Lisa A. Riyanto.

Ia memahami, meski tertahbis, imam tetap manusia biasa. Namun, ia berharap, para imam menyadari bahwa dirinya merupakan panutan umat. Meski kecewa ketika mendengar kabar tak sedap yang merundung imam, ia tetap melihat kehadiran dan karya Tuhan di balik pelayanan mereka. “Tetap harus melihat kebesaran Tuhan. Jangan sampai kesalahan manusia membuat umat tidak bisa lagi merasakan kasih Tuhan,” ujar istri Richarddus Eko Indrajit ini.

Lisa mengatakan, umat harus bisa menjaga relasi dengan para imam. “Boleh akrab tapi harus tahu memposisikan diri. Hubungannya harus profesional,” ujarnya. Ia tak menampik kadang melihat relasi yang terlampau akrab antara imam dengan umat. Sebagai seorang ibu, ia melihat para imam muda seperti anaknya sendiri. “Tentunya, kita ingin melihat mereka berhasil dalam imamatnya.”

Ia mengaku terlibat dalam sejumlah bidang pelayanan baik di paroki, keuskupan, maupun di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Dalam menjalani karya tersebut otomatis ia berelasi dan bekerjasama dengan sejumlah imam. Tapi ia bersyukur hingga kini relasinya dengan kaum berjubah berlangsung baik dan saling menghormati peran masing-masing.

Lisa senantiasa mendukung para imam dalam menjalankan karya perutusan mulianya. Sebab, berkat dukungan umat, para imam senantiasa kuat dalam menapaki panggilan dan tanggung jawabnya kepada Allah dan umat.

Sementara bagi Lilik Krismantoro, peran dan jabatan para klerus menempatkan mereka sebagai tokoh publik. Sehingga, ruang privasi mereka akan menjadi konsumsi publik. Meski mengaku tak ingin mencampuri urusan para kaum berjubah terkait sejumlah penyelewengan, ia mengatakan, lantaran para klerus mempunyai peran penting di bidang teologi dan moral sehingga menuntut integritas lebih dari mereka.

Lilik mengakui, pernah mendengar beberapa penyelewengan yang dilakukan oleh para imam baik di keuskupannya maupun di keuskupan lain. Menurut, kejadian itu lantaran dalam proses pembinaan sebagai calon imam ada suatu yang belum dalam diri calon tersebut, bisa secara psikologis maupun kepribadian.

Anggota Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Keuskupan Agung Semarang ini mencontohkan, ketika seorang imam mengalami beban tugas yang begitu berat, membutuhkan teman ngobrol untuk mengurai kepenatan. Ini lumrah namun langkah tersebut keliru ketika relasi dari sekadar teman ngobrol berubah menjadi hubungan personal.

Lilik mengatakan sudah cukup lama berada di lingkungan kaum berjubah, namun ia tak ingin memasuki wilayah privat mereka. Namun, melihat hubungan yang kadang tampak melebihi hubungan profesional antara imam dan umat, menurutnya, Gereja harus amat menyadari bahwa di tengah umat ada problem keluarga yang tidak tuntas. “Sehingga tidak heran banyak yang mencari pelarian (kepada imam). Ini soal kesadaran pribadi, baik umat maupun imam,” pesannya.

Umat Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, Yogyakarta itu berharap, baik imam maupun umat harus menjaga etika dalam berelasi. Ia mengakui, keutamaan itu akhir-akhir ini tergerus oleh aneka perkembangan zaman. Pasrah pada beragam perubahan bukanlah pilihan. Menjaga nilai-nilai kepantasan dalam hidup bersama harus terus diusahakan dan diperjuangkan.

Ia juga berharap di dalam rumah-rumah pembinaan, para calon imam, biarawan, dan biarawati mendapat “bekal” cara merespon situasi zaman, kompleksitas beragam persoalan, serta langkah pastoral yang harus diambil oleh para pemimpin umat di tengah situasi serta beragam masalah yang mereka hadapi.

Terkait hal tersebut, maka setiap warga Gereja, baik imam, biarawan, biarawati, maupun awam harus berdialog demi pengembangan kualitas hidup dan iman kaum berjubah maupun umat. “Bina umat tidak kalah penting dengan bina imam. Kalau umatnya baik, pasti imamnya baik, meski tidak selalu sebaliknya. Kalau mau menumbuhkan imamat yang kuat, pastikan umatnya juga kuat,” pungkasnya

Hermina Wulohering,
Elizabeth Chrisandra J.T.D

HIDUP NO.42 2018, 21 Oktober 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini