Kuhitung, ini untuk yang kesekian kalinya dia menyebut tingkahku tidak sesuai dengan boru ni raja, yang kalau diartikan kira-kira kepribadianku tidak mencerminkan putri raja. Di adat Batak, istilah boru ni raja sudah lumrah, maksudnya supaya putri Batak, bertingkah seperti putri raja, baik dari tutur katanya, dan terutama dari penampilannya.
Sedang bagiku, itu tidak perlu. Aku bebas mengekspresikan jiwaku, di atas kanvas dan di dunia nyata, yang penting aku benar-benar cinta pada Tuhanku. Raja adalah Yesus Kristus, tak ada yang lain!
“Sejak dalam kandungan, boru ni Raja do au, Amangboru,” balasku, mulai emosi.
“Tapi Raja dengan huruf R besar! Raja bukan sembarang raja, tapi Raja yang di atas,” kataku, hampir menangis.
Ia mencibir kesal.
“Raja kita adalah Yesus Kristus,” aku menunjuk ke arah Yesus dalam lukisanku, biar dia bertambah panas.
Ia terdiam, tapi wajahnya hangus terbakar.
Aku tahu, setelah Misa ini, aku akan jadi terdakwa, dan papa Horas akan mengadiliku lebih kejam dari Pilatus.
Kucolek tangan Horas, yang duduk di samping kiriku.
“Kenapa?” tanyanya, agak bergetar.
“Setelah Misa ini, hubungan kita selesai.”
“Maksudmu?”
“Berakhir!”
Aneh, lega rasanya setelah mengeluarkannya. Tiba-tiba aku merasakan kebahagian. Aku segera merasakan indahnya suara gondang, seruling kecapi, organ, dan angin ribut di hatiku ikut lenyap!
***
Horas, kukenal bukan secara kebetulan. Dia teman satu kuliahku dulu, tapi beda fakultas. Ia terdampar di Fakultas Hukum, sedang aku di Fakultas Seni Rupa jurusan Seni Lukis. Kisah cinta kami, alurnya
sedikit mirip dengan dongeng Cinderela. Ia mengaku kagum dengan lukisan-lukisanku, terutama pada lukisanku yang kebanyakan bertema angin ribut.
“Kau pelukis?” tanya mama Horas, ketika untuk yang pertama kali Horas membawa aku ke rumahnya di kawasan real estate.
“Ya, Namboru.”
“Di mana rumahmu?”
“Di Samosir, di Bontean.”
“Di mana itu Bontean.”
“Dekat kantor Camat Samosir, Namboru! Enggak jauh sih dari pinggiran Danau Toba.”
“Bapakmu, petani?” suaranya mulai tak enak kudengar.
“Begitulah,” kataku tertawa.
“Banyak sawah, dong.”
“Enggak juga, Namboru. Bapak dan Mamak petani penggarap.”
Aku sangat kaget melihat matanya yang sungguh sinis. “Lain kali, jangan pakai sandal kw! Sandal murahan! Berperilakulah seperti boru ni raja!” kata papa Horas, ketika beberapa bulan kemudian aku ikut dalam wisata keluarga besarnya ke Bali.
“Maksudnya apa, Amangboru?” aku menantang.
“Maksudku, pakailah sandal yang mahal. Jangan kau rendahkan dirimu dengan memakai sandal murahan begitu! Apa pelukis semua sepertimu?!”
“Dengan memakai yang mahal-mahal, apakah itu sudah mencerminkan boru ni raja?”
“Ya!”
“Amangboru salah besar!”
“Apa kau bilang?”
“Jangan salah, Amangboru! Raja kita adalah Yesus Kristus, bukan kekayaaan dan segala tetek bengeknya! Ia terdiam, dengan pandangan yang sangat menusuk!
***