HIDUPKATOLIK.com – Mengendalikan rata-rata USD 10-13 miliar investasi migas di Indonesia, posisinya ikut menentukan untung rugi negara.
Pantang pulang”, begitu kalimat sakral yang selalu diulang-ulang Parulian Sihotang selama ia kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Tangerang, Jawa Barat. Ia harus berjuang ekstra, kalau tidak bisa-bisa ia ikut “tersapu” alias di-drop out dari sekolah tinggi kedinasan milik Kementerian Keuangan ini. Ia mengatakan orang tuanya memberangkatkannya dari tanah Batak dengan segala keterbatasan. “Nggak mungkin pulang. Apa kata dunia?” ujarnya.
Setelah lulus dari STAN dan menjadi ajun akuntan, Parulian bekerja sebagai auditor di Pertamina yang menjadi pintu baginya mengenal dunia minyak dan gas (migas). Begitu melanjutkan studi untuk meraih gelar akuntan, ia pun mengangkat isu perminyakan sebagai bahan skripsinya.
Isu migas rupanya kian menarik perhatiannya. Saat studi master of accounting di Amerika Serikat, ia tetap konsisten mengambil proyek-proyek terkait migas. Setelah dua tahun studi, ia kembali ke tanah air dan menjadi auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Haus Sekolah
Parulian mengaku memiliki minat yang sangat tinggi untuk bersekolah. Tak puas dengan gelar master, ia melamar program doktoral di suatu universitas di Inggris. Bahkan sebelum lulus master, ia telah melamar dan diterima di program doktoral. “Saya adalah anak guru jadi mungkin darah saya selalu haus sekolah untuk belajar dan mengajar. Waktu itu saya tidak tahu kapan saya akan studi dan dari mana biayanya, tapi yang penting ‘SIM’-nya sudah saya kantongi.”
Tanda terima program doktoral itu ia perpanjang setiap tahun. Hingga tahun kelimanya di Indonesia, ia nekad meninggalkan BPKP demi melanjutkan studi. “Saya cuti di luar tanggungan negara. Jadi status PNS saya stop the clock,” kisah Parulian.
Sebagai mahasiswa doktoral di Inggris, Parulian mendapatkan kesempatan mengajar di kampus yang sama. Ia belajar sambil mengajar, juga sambil bekerja paruh waktu sebagai pelayan restoran dan cleaning service. “Sabtu, Minggu saya menjadi pelayan di restoran, cuci piring, bersih-bersih; lalu Senin, Rabu, Jumat saya pakai jas mengajar orang-orang bule. Sungguh dunia yang luar biasa!” kenangnya.
Parulian konsisten pada dunia minyak. Disertasi yang ia buat pun tak jauh dari isu keuangan perminyakan. Dari sisi keilmuan, ia dapat disebut sebagai “orang minyak”. Namun, beberapa tahun berselang, ia berpikir ilmunya dalam dunia migas sudah cukup. Ia menduga, saat bekerja di BPKP pengalaman belajar ini tidak akan begitu banyak terpakai. Selesai belajar, ia pun pulang ke Indonesia tahun 2003. Setelahnya, ia melanjutkan baktinya di BPKP.
Dari Nol Lagi
Parulian pun mengundurkan diri sebagai PNS dan bergabung dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) tahun 2008. Di lembaga ini, Parulian memulai kariernya dari nol. Jabatan eselon III yang telah ia dapat di BPKP tidak diakui. Ibaratnya seorang raja kecil yang harus kembali menjadi staf biasa. “Ada mental yang harus saya netralisir, berusaha menjadi lebih humble. Saya melakoni semua tugas saya dengan penuh tanggung jawab dan melayani bos saya dengan kualitas terbaik,” ungkap mantan aktivis Pemuda Katolik ini.
Suatu ketika, pimpinan tertinggi memintanya menyiapkan pidato untuk Indonesia Petroleum Association. Pidato tersebut menuai banyak pujian dan sejak itu ia mulai digaet ke lingkungan sekitar pimpinan khusus menjadi special writer, melayani media, dan tamu-tamu luar negeri.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun, karier Parulian terus menanjak di lembaga yang sejak tahun 2010 berubah menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Kini menduduki posisi Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas. Bagi Parulian, proses ini amat berkesan. “Saya berpikir, Tuhan, ini semua berjalan tanpa saya rancang. Semuanya mengalir sedemikian rupa hingga menemukan jalannya,” ungkap umat Paroki St. Yohanes Penginjil Blok B, Jakarta Selatan ini.
Terhadap pertumbuhan kariernya, Parulian tak hanya merasa diterima oleh lingkungannya. Ia juga merasa didukung dan diapresiasi. “Selalu saya kilas balik, mungkin ini sebuah sikap yang menurut saya hanya Roh Kudus yang bisa mengubah saya seperti ini: berani untuk memulai kembali, berproses, dan mau setia pada apa yang saya kerjakan.”
Sebagai Deputi Keuangan dan Monetisasi, tugas Parulian adalah mengendalikan keuangan dari seluruh kontraktor migas yang beroperasi di hulu migas yang ada di Indonesia. Ia harus mengendalikan dan mengaudit belanja 340 perusahaan migas di negeri ini agar efektif dan efisien karena cost recovery akan dibayar oleh negara dalam bentuk bagi hasil migas. “Ini harus dipastikan supaya para kontraktor tidak curang, pembukuan-pembukuan mereka dibuat dengan benar,” tuturnya.
Parulian mengatakan, migas adalah dunia yang penuh resiko. Tingkat keberhasilan eksplorasi migas di Indonesia berada di antara 20-30 persen. Artinya, dari tiga sumur yang digali, kemungkinan dapat migas hanya satu. Sementara, menggali sumur migas sangat mahal. Untuk satu kali pengeboran, setidaknya dibutuhkan investasi sebesar USD 3-4 juta. Untuk pengeboran lepas pantai biayanya lebih besar. Di laut dalam Papua misalnya, satu sumur bisa menguras USD 100-200 juta.
Parulian menjelaskan, sebagai komoditas yang tak terbarukan, cadangan-cadangan migas pengganti tentu amat dibutuhkan. Apalagi, produksi migas terus menurun. Dulu pernah satu juta barrel per hari, sekarang sekitar 750 ribu barrel per hari. “Kalau produksi terus menurun, impor kita akan naik terus. Ini berbahaya.”
Untuk Pertiwi
Mandeknya investasi pada tahun 2017/2018, membuat pihaknya mengubah kontrak dari production sharing menjadi gross split. Skema yang kedua lebih menarik bagi investor. Dengan perubahan kebijakan ini, para kontraktor baru harus mencadangkan dana untuk eksplorasi. Tahun 2018 ada sekitar 20 kontraktor baru dengan dana cadangan untuk eksplorasi senilai USD 1,3 miliar. Parulian mengatakan, itu jumlah yang besar untuk eksplorasi. “Meskipun dalam sepuluh tahun terakhir produksi menurun karena memang cadangan dan eksplorasi menurun; tapi kita berharap 2018 ke depan dengan adanya dana eskplorasi, ada hasil yang bertambah,” ujarnya.
Setiap tahun, Parulian mengendalikan rata-rata USD 10-13 miliar. Posisinya ikut menentukan untung rugi negara dari sisi keuangan. Di sisi komersial ada banyak pihak yang berkepentingan dalam jual-beli gas. Lahan basah di bidang ini cukup menantangnya untuk tidak boleh berpikir apapun selain kepentingan negara. “Saya orang kampung dari keluarga guru dan petani sederhana. Dulu saya menyusu ke Ibu Pertiwi, sekarang saatnya saya memberikan sesuatu bukan malah mengambilnya.”
Dr. Parulian Sihotang
Lahir : Pakkat, Tapanuli Utara, 23 Januari 1963
Istri : Yuli Imelda
Anak : Anthonia Imeliana Nadine
Pendidikan :
Seminari Menengah Santo Petrus Tapanuli Tengah, Sumatera Utara
SMA St. Thomas Medan, Sumatera Utara
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Case Western Reserve University, Ohio, Amerika Serikat
University of Dundee, Skotlandia, Inggris
Lembaga Ketahanan Nasional
Penghargaan:
Wibawa Seroja Nugraha dari Lemhanas
Hermina Wulohering
HIDUP NO.41 2018, 14 Oktober 2018