WKRI Merawat Kebhinekaan

548

Korupsi dan Radikalisme
Dalam seminar singkat di tengah kongres, hadir Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dan anggota Konferensi Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Dwi Rubiyanti Kholifah yang berbicara tentang keterlibatan perempuan dan anak dalam ekstremisme.

Presiden Jokowi meladeni permintaan para ibu WKRI untuk berswafoto bersama. [HIDUP/ Felicia Permata Hanggu]
Sedangkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata mengangkat tema perempuan sebagai agen pencegahan korupsi. Dalam diskusi yang berlangsung hangat bersama dengan 560 peserta kongres, kedua narasumber sepakat bahwa perempuan dapat menjadi alat pemutus atau penghubung rantai radikalisme dan korupsi.

Ruby menekankan, radikalisme merupakan masalah bangsa bukan kaum Muslim saja karena ini merupakan ancaman bagi kebhinnekaan. Tren terorisme telah berubah dari persoalan halaman belakang, di mana istri dan anak tidak tahu menahu mengenai kegiatan jihad suami, kini sampai ke ruang makan yang melibatkan seluruh anggota keluarga.

“Perubahan tren ditandai dengan pergeseran konsep tentang makna jihad. Bagi perempuan yang terpapar radikalisme, jihad perang statusnya lebih tinggi dibandingkan jihad rumah tangga” ujar Ruby. Ruby mengungkapkan, perubahan ini menjadi semakin jelas dalam peristiwa pemboman Surabaya.

Ketika itu satu keluarga melakukan bom bunuh diri di beberapa gereja. Ia melanjutkan, penyelesaian isu ini menuntut seluruh partisipasi elemen bangsa untuk berjuang menghilangkan masalah ekstremisme, salah satunya dengan pemberdayaan peningkatan peran perempuan di masyarakat.

Dalam hal ini, WKRI diharapkan untuk berani bergaul dengan mereka yang berbeda. “Maka beranilah menemani mereka yang berbeda, mereka yang pernah masuk dalam jaringan terorisme agar mereka merasa diterima,” pesannya.

Perempuan diharapkan semakin kritis terhadap setiap tindakan yang dilakukan. Alexander berujar, bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kewenangan atau jabatan untuk memperkaya diri sendiri, termasuk kasus suap. Berdasarkan data Transparency International tahun 2017, indeks persepsi korupsi Indonesia berada di peringkat ke-96 dengan skor 37.

Berbeda jauh dengan Singapura yang selalu menduduki posisi 10 besar negara dengan tingkat korupsi paling kecil bersama kelompok negara Skandinavia. Alexander menunjukkan, duka akibat krisis moral ini pun semakin dipertajam ketika KPK melakukan survei kepada para ibu yang berdomisili di Yogyakarta dan Surakarta pada tahun 2012-2013.

Hasil penemuan mengejutkan karena hanya sekitar 4 persen ibu yang mengajarkan kejujuran pada anaknya. “Ibu zaman sekarang lebih takut melihat nilai matematika ‘0’ dari pada budi pekerti. Bagaimana jika kebiasaan melanggar hukum terus diwariskan, ini jadi PR kita bersama,” ungkapnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini