HIDUPKATOLIK.com – Minggu, 11 November 2018, Minggu Biasa XXXII, 1Raj 17:10-16; Mzm 146:7, 8-9a, 9bc-10; Ibr 10:11-14, 18; Mrk 13:24-32
“Persembahan Diri Kristus adalah sekali untuk selama-lamanya, sehingga berlaku untuk manusia segala zaman.”
HARI ini kita mendengar kisah tentang para janda, baik dari Perjanjian Lama (1 Raj. 17, 10-16) maupun dari Perjanjian Baru (Mk 12, 41-44) yang kita dengarkan pada bacaan pertama dan bacaan Injil hari Minggu ke 32 tahun B.
Ini memberikan pesan kepada kita, para murid Tuhan Yesus, bahwa setiap kebaikan yang kita laksanakan bagi sesama, tidak boleh setengah-setengah atau tidak dengan segenap hati. Kebaikan ini haruslah merupakan pemberian seluruh diri kita tanpa pamrih.
Kedua janda miskin dari bacaan Kitab Suci hari Minggu ini menjalankan keutamaan kemanusiaan yang terpuji, yakni memberi dengan pasrah bukan dari kelimpahan, tetapi dari kekurangan mereka. Mereka memberi dari nafkah sendiri yang diperlukan untuk menyambung hidup. Dengan kata lain, mereka memberi sampai habis dan memberi sehabis-habisnya tanpa merasa ragu dan galau akan hidup mereka selanjutnya.
Dorongan positif untuk berbagi yang berasal dari kesediaan untuk memberi diri secara pasrah dan tuntas kepada sesama, memiliki kekuatan begitu besar. Dorongan ini sanggup mengatasi pikiran dan hasrat untuk mementingkan diri sendiri.
Mereka sepertinya hakul yakin, bahwa mereka tidak akan mengalami kekurangan ketika meerka memberi dengan sepenuh hati, bahkan mereka akan mendapatkan lebih dari yang mereka korbankan. Ya memang demikian, karena Allah yang mengasihi orang yang memberi dengan sukacita (2 Kor 9,7), akan memelihara dan mempertahankan hidup yang Ia anugerahkan kepada manusia ciptaannya, tanpa membeda-bedakan.
Ironis dan menjadi pelajaran bermanfaat bagi setiap orang beriman (putra-putri Abraham), bahwa orang yang melaksanakan kebaikan ini adalah janda yang tergolong dalam kelompok orang lemah. Janda menurut anjuran Kitab Suci selalu mendapatkan perlindungan hukum dari para penguasa, dan kemurahan hati dari semua orang (lih. Kel. 22,21; Ul, 14,29; Yer. 22,3; Kis.6,1 dst.).
Teladan kebaikan ini ditunjukkan bukan oleh janda dari bangsa terpilih Israel, atau dari seorang yang dibaptis dalam Nama Tritunggal Yang Mahakudus, tetapi dari seorang janda “kafir” yang tidak hidup di tanah terjanji, tetapi di Sarfat di tanah Sidon. Padahal permintaan Nabi Elia boleh dikatakan beruntun, yang bisa membuat kesal si janda pada situasinya yang serba berkekurangan.
Namun dengan tenang, ia menyiapkan segala permintaan Nabi, seolah-olah semuanya tersedia. Lebih menarik lagi, bahwa sebelum janda dari Sarfat pergi berbuat seturut permintaan Nabi Elia, ia masih berkata kepada Nabi: “Demi Tuhan Allahmu yang hidup…..”.