All About Love

316

Di bawah teriknya mentari yang bersinar cerah, kakek malang menyusuri jalan menuju gubuknya. Ia pincang dan sesekali terjatuh. Namun ia berusaha bangkit dan melanjutkan perjalanannya. Hatinya hancur oleh hinaan kepala desa yang sombong itu. Kakek itu bergumam dalam hati, “Salahkah perbuatan saya, sehingga dihujani hinaan dan pukulan?

Apakah orang kaya dan berkuasa tidak memiliki sedikit rasa perhatian pada orang miskin?” Pertanyaan yang terbersit dalam benaknya membuat ia tidak mampu melangkah lebih jauh lagi. Kedua kakinya seolah tidak bisa digerakkan.

Seluruh anggota tubuh memaksanya untuk berhenti melangkah. Dengan terseok-seok kakek itu mencoba melangkah lagi. Hanya lima langkah berjalan, kakek itu terjatuh dan tak bisa bangun lagi. Ia pingsan. Tak seorang pun yang lewat dan menolongnya.

Alam seolah benci padanya. Terik mentari membakar tubuh keriput dan bersimbah darah. Kucuran darah menetes deras membasahi seonggok tanah berdebu di sekelilingnya. Baru beberapa jam kemudian ada warga kebetulan melewati jalan itu. Ia kaget melihat sosok yang tak asing terkapar di pinggir jalan.

Orang itu segera membopong kakek ke rumahnya. Setiba di rumah, ia dan keluarga merawat dan mengobati luka kakek malang itu. Namun nyawa kakek tidak dapat diselamatkan. Kucuran darah yang mengalir deras menyebabkan kondisi kakek tak terselamatkan.

Sebelum meninggal kakek itu sempat menceritakan semua peristiwa yang dialaminya.
“Mungkin semua ini adalah rencana Tuhan untuk hidupku. Kalian semua  jangan menuntut balas atas perbuatan bapak kepala desa. Dari lubuk hati yang paling dalam, saya telah memaafkan dia. Cukup saya saja yang berurusan dengannya. Mungkin dia benar, saya hanyalah kakek tua bangka yang tidak berguna.”

Semua warga terharu dan menangis meratapi kepergian kakek malang. Mereka merasa kehilangan sosok yang selama ini penuh semangat, sabar dan ulet dalam bekerja. Kakek yang selalu menebarkan senyum terindahnya.

Tak ada lagi sosok yang membersihkan kebun mereka, bila musim panen tiba. Kakek malang telah pergi meninggalkan sejuta kenangan bagi warga kampung. Setelah upacara pemakaman selesai, warga kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan sedih.

Sang kakek telah pergi untuk selamanya. Entah percaya atau tidak, seonggok tanah dengan sekuntum bunga diatasnya menjadi saksi kepergian kakek tercinta. Kini kakek telah sirna dari pandangan mata, tetapi kebaikannya ‘kan selalu dikenang. Sampai kapan pun kenangan indah yang pernah dilukiskan sang kakek tak ‘kan pernah sirna.

“Selamat tinggal kakek, semoga amal baikmu di dunia dipuji Dia di surga,” demikian ungkapan manis seorang warga mengiringi kepergian kakek.

***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini