Mgr John Philip Saklil : Mengelola Transportasi “Surgawi”

790
Mgr John Philip Saklil memberkati jenis pesawat AMA di kantor pusat AMA Sentani, Jayapura.
[NN/Dok.AMA]

HIDUPKATOLIK.com – Gereja Katolik punya aturan dalam mengelola harta benda Gereja. Sarana transportasi keuskupan diharapkan tidak mencari keuntungan tetapi untuk keselamatan jiwa.

Secara kasat mata, pelayan Gereja amat terikat dengan masalah-masalah administratif misal keuangan dan harta benda, masalah human resources, pembukuan, dan sebagainya. Tak jarang kesibukan administratif ini membuat Gereja lupa akan visi utama kehadirannya yaitu perwujudan Kerajaan Allah dalam misi option for to the poor. Banyak program-program pelayanan Gereja tak menyasar umat diaspora. Selain kurang pekanya sang pelayan juga kendala sarana transportasi yang kurang memadai. Padahal aspek sustainability (keberlangsungan hidup) dan pertahanan iman perlu tampak dalam reksa pastoral setiap pelayan. Mengapa Gereja harus menyikapi hal ini? Bagaimana fungsi managerial Gereja dalam mengatur sarana transportasi (harta benda Gereja)? Berikut petikan wawancara dengan Presiden Komisaris Associated Mission Aviation (AMA) Papua, Mgr John Philip Saklil. Berikut petikannya:

Bagaimana AMA bisa menjadi moda transportasi pesawat di Papua?

Kehadiran AMA bukan semata-mata untuk mencari keuntungan semata. Dasar utama adalah keprihatinan Gereja terhadap kondisi Papua. Berkaca dari sejarah, AMA dulu adalah sebuah yayasan yang menangani bidang penerbangan. Tetapi regulasi pelayanan terus meningkat dimana pembaharuan terus dilakukan pemerintah maka AMA juga mengikuti tuntutan regulasi ini. Karena itu, tahun 2015 dari yayasan berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) dengan fokus pada pelayanan. AMA hadir karena faktor alam Papua membutuhkan moda transportasi seperti ini. Untuk mencapai dan melayani umat yang jauh, tidak cukup dengan mobil. Dan pesawat menjadi transportasi ideal bagi masyarakat Papua. Misal, orang sakit keras tidak mungkin menunggu berjalan kaki berhari-hari atau menunggu jemputan mobil. Dengan pesawat keselamatan orang tersebut bisa terjamin.

Biaya menjadi faktor utama pengelolaan transportasi keuskupan. Bagaimana pandangan Bapak Uskup terkait hal ini?

Tidak bisa dipungkiri bahwa biaya menjadi kendala transportasi pelayanan. Saya memberi contoh AMA sekali terbang bisa menghabiskan 15-18 juta tergantung jenis pesawatnya. Biaya operasional sangat mahal maka pelayanan profesionalitas juga ditekankan. Para imam atau masyarakat yang naik pesawat harus bayar. Bahkan uskup pun harus bayar karena AMA adalah perusahaan yang dikelola secara mandiri dan profesional. Tidak ada spesial need dalam pengelolaan ini. Karena kita membayar pajak mahal maka AMA membuka kerjasama serta dukungan banyak pihak. Tujuannya satu supaya umat di pedalaman bisa mendapatkan akses yang layak. Tentu subsidi keuskupan dalam hal ini lima keuskupan di Papua sedikit membantu pengelolaan AMA. Harusnya semangat ini juga dikembangkan oleh keuskupan-keuskupan lain. Jangan sampai beban pengelolaan diserahkan seutuhnya ke keuskupan dan paroki-paroki yang memiliki transportasi tersebut lepas tangan. Lagi-lagi tentu harus sepengetahuan Uskup sebagai otoritas Gereja lokal.

Terkait pengelolaan transportasi, bagaimana keuskupan bisa mengelola transportasinya dengan baik?

Kita perlu memahami bahwa sebuah lembaga, termasuk di dalamnya Gereja, selalu ada untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk menjalankan misi tertentu. Lembaga apapun pasti berjuang mengembangkan pentingnya tindakan managerial terkait dengan tujuan yang sudah ditentukan. Gereja ada di dunia dengan sebuah “mandat” yang sudah dirumuskan oleh Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium,“Gereja dipanggil untuk mewartakan Kabar Gembira Tuhan” (LG no. 17). Misi inilah yang membuat semua orang yang terlibat dalam lembaga tersebut menjadi “terikat” dan dipersatukan menjadi satu kesatuan. Untuk misi yang sudah ditentukan seperti inilah, tindakan managerial dijalankan. Maka perumusan misi yang jelas merupakan hal yang sangat penting untuk mengarahkan lembaga agar berjalan dan berkembang secara terfokus.Jadi pengelolaan moda transportasi harusnya dikelola berdasarkan tata aturan dari keuskupan tersebut dengan pengawasan uskup berdasarkan visi misi dari Gereja lokal tersebut.

Apakah perlu kaum awam dalam mendukung moda transportasi ini?

Seharusnya sepert itu bahwa Gereja hadir dan memanfaatkan kaum awam dalam upaya mengembangkan pelayanan kepada umat-umat diaspora. Dalam tindakan managerial sebuah organisasi itu penting adalah masalah tata kelola resources (sumber daya). Sukses organisasi itu harus didukung oleh sumber daya. Banyak orang awam Katolik yang punya pemahaman lebih terkait sarana transportasi. Kalau sumber daya manusia baik maka masalah seperti keuangan bisa diselesaikan. Sumber daya yang saya maksudkan bukan sekadar pengetahuan tetapi juga ketrampilan dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Injili. Penting juga adalah azas transparansi dan akuntabilitas. Perlu ada pola tatakelola yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menjamin kesatuan kuat sebagai lembaga.

Dalam pengalaman banyak pelayan gereja menyalagunakan transportasi ini untuk kepentingan pribadi atau keluarga. Apakah transportasi pribadi imam juga masuk inventaris keuskupan?

Dalam Gereja sudah berkembang tata kelola harta benda gerejawi menurut Hukum Kanonik. Ketentuan ini kemudian dijabarkan dalam berbagai pedoman atau peraturan setempat. Di banyak keuskupan di Indonesia mulai diperjelas status kepemilikan aset Gereja dengan atau kepemilikan pribadi seorang imam atau pelayan pastoral. Tujuannya supaya dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Baik juga bila ada pelaksanaan supervisi oleh para uskup dibantu oleh orang-orang terpilih. Monitoring dan controlling seperti ini tentu sangat membantu pelayanan. Sehingga para imam pun tidak berjuang memperkaya diri tetapi hidup dalam visi melayani.

Apa harapan bapak uskup soal moda transportasi milik keuskupan?

Kita perlu menyadari tentang semangat awal adanya transportasi tersebut. Tujuannya supaya semua umat bisa merasakan kehadiran Gereja. Transportasi hanyalah alat untuk mencapai tujuan itu dan tidak pernah menjadi tujuan akhir dari sebuah pelayanan. Bila ada mobil, pesawat, motor, atau kapal laut tetapi pelayan pastoralnya malas maka umat akan terus kehilangan iman. Spiritualitas dan kharisma seorang pelayanan bukan pertama-tama pada sarana transportasi itu. Mobil tidak menyelamatkan orang tetapi perkataan Tuhan, Kitab Suci, khotbah pastor itulah yang bisa mengubah hidup orang. Dan itu terjadi lewat pastoral kehadiran. Seorang pastor ketika sudah dibelikan transportasi tetapi masih malas pimpin Misa atau malas mengunjungi umat berarti pastor itu memiliki transportasi untuk memperkaya diri atau sebagai gaya hidup semata.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.39 2018, 30 September 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini