Lombok Masih Butuhkan Bantuan

1368

Minggu malam itu, Reli bersama istri dan anaknya yang berumur sembilan bulan mengikuti Perayaan Ekaristi pukul 18.00 di Gereja St. Antonius Padua, Ampenan. Misa berlangsung hingga pukul 19.30 WITA. Maka saat gempa terjadi, Reli bersama keluarganya baru saja meninggalkan halaman gereja dengan motor. Mereka baru saja tiba di Taman Malomba yang berjarak sekitar dua ratus meter dari gereja.

Motor Reli bergoyang. Dia, istri, dan anaknya nyaris jatuh. Reli semula mengira ban motornya pecah. Ternyata, baru terjadi gempa besar. Sang istri terkejut dan ketakutan. Ia meminta Reli menghentikan motornya. Tak ada penerangan saat itu. Lantaran posisi mereka berhenti di dekat pantai, Reli memacu kendaraanya demi menghindari kemungkinan terjadi tsunami.

Sesampai di rumah, Reli bersama istri mengemas barang seperlunya. Mereka bergegas bersama ratusan orang menuju tempat aman. Mereka berhenti di pinggir jalan bypass menuju Bandara Lombok. Di sana banyak orang memarkirkan kendaraan. Semua berkumpul bersama hingga pukul 01.00 WITA.

Reli mengakui, situasi tersebut membuat istrinya sangat ketakutan. Sambil berlinang air mata, sang istri berulang kali menyebut nama Tuhan Yesus. Di kiri dan kanan terdengar seruan doa-doa dengan cara Islam. Suara doa itu sangat nyaring setiap kali gempa susulan datang. Sambil mendekap buah hati, Reli dan istrinya berdoa. “Sungguh pada saat itu, saya hanya bisa mengatakan, Tuhan sungguh mahakuasa, dan kita memang ciptaan-Nya semata,” ujar Reli.

Pengalaman dan suasana kepanikan karena gempa juga dialami Petrisya Iandri Dapa Mede, aktivis sekaligus Ketua Seksi Liturgi Orang Muda Katolik (OMK) Santo Paulus, Paroki Maria Immaculata Mataram.

Inna, sapaannya, berkisah, pada Minggu malam itu, dirinya berencana ke gereja untuk latihan kor OMK. Teks lagu sudah ia bawa. Namun pukul 19.30 WITA, jadwal latihan kor, dirinya tertahan di rumah tantenya karena ada keperluan. Di gereja sudah berkumpul sejumlah OMK, antara lain Carol, sang ketua.

Beruntung mereka tak segera masuk ke dalam gereja. Saat gempa menguncang, Carol dan OMK lain sedang berkumpul di depan gereja dan pastoran. Semua plafon gereja luruh. “Jadi, di satu sisi saya bersalah karena terlambat datang, tapi di sisi lain tampaknya Tuhan memberi jalan agar dengan cara itu (keterlambatan saya) teman-teman saya selamat,” kenang Ina.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini