HIDUPKATOLIK.com – Pastor, saya merasa terganggu dengan istilah Kitab Suci itu fiksi. Apakah benar Kitab Suci itu fiksi?
Alexander, Surabaya
Tidak benar bahwa Kitab Suci adalah fiksi. Kata fiksi menunjuk pada kisah yang berasal dari imaginasi. Dalam fiksi itu, yang dominan adalah imaginasinya, sehingga data sejarah, bilamana dipakai, hanya dipakai demi menguatkan alur imaginasi tersebut. Cara ini sering dipakai misalnya oleh para penulis novel sejarah. Down Brown misalnya, dalam novel detektif misterinya, Da Vinci Code, menggunakan data untuk menguatkan imaginasinya tentang kemungkinan adanya keturunan Yesus dari Maria Magdalena. Meski datanya sudah dikritik sebagai tidak akurat dan tidak ilmiah, tak pelak buku itu telah mengguncangkan iman sebagian orang.
Dalam Kitab Suci, bukan imaginasilah yang dominan. Isi Kitab Suci bukanlah khayalan, melainkan fakta keselamatan, yaitu pengalaman iman umat dengan Allah yang campur tangan dalam sejarah manusia. Pengalaman itulah yang direnungkan dan dituliskan oleh para penulis Kitab Suci dengan bantuan Roh Kudus. Inilah yang disebut proses inspirasi.
Menurut Konsili Vatikan II, meskipun diinspirasi Roh Kudus, para penulis Kitab Suci tetap mengunakan kemampuan manusiawi mereka (DV 11). Mereka boleh dinamakan pelapor sejarah, tetapi terutama sekali adalah pelapor iman. Mereka itu dekat dengan data sejarah, misalnya mereka adalah murid Yesus sendiri atau kenalan dekat mereka, tetapi kedekatan itu terjadi karena mereka sunguh-sungguh bagian dari pengalaman iman itu. Tak jarang sumber-sumber lisan atau tulisan sebelumnya dirujuk dan hasil ‘penelitian’ diarahkan untuk kelompok umat tertentu. Itu membuat setiap tulisan unik dan khas.
Dugaan fiktif sendiri bisa muncul karena dua hal: pertama, adanya kisah-kisah mirip dongeng, seperti misalnya beberapa kisah sebelum panggilan Abraham (lih. Kej. 1-10). Kedua, karena adanya beberapa keterangan berbeda dalam kisah-kisah yang paralel, terutama dalam Injil. Misalnya berapa sebenarnya jumlah orang yang diberi makan Yesus, lima ribu atau empat ribu (lih. Mrk. 8:19-20)? Bagaimana sebenarnya urutan penggodaan terhadap Yesus (bdk. Luk. 4 dan Mat. 4)? dan sebagainya.
Tentang yang pertama, ingatlah bahwa latar belakang budaya atau pengetahuan saat itu turut mempengaruhi. Penulis juga kadang-kadang memakai kisah yang telah ada. Namun, ia tidak sekadar menceritakan kembali, tetapi juga memodifikasinya untuk mengungkapkan kebenaran iman. Jadi kembali fakta pengalaman imanlah yang menjadi titik berangkat. Misalnya untuk mengungkapkan iman akan Allah Pencipta, penulis menyusun kisah penciptaan (Kej. 1). Kisahnya muncul pada masa pembuangan, saat Israel menyadari bahwa Allah Israel bukan hanya milik mereka saja, melainkan Allah alam semesta.
Pengetahuan alam saat itu turut mempengaruhi cara penggambaran proses penciptaan Allah itu. Kisahnya unik, tetapi pesannya jelas: Allah itu Maha Kuasa, Pencipta segala yang ada, baik yangkelihatan mapun tak kelihatan. Ia mencipta dengan sabda-Nya dan di antara ciptaan itu manusia sungguh istimewa karena merupakan citra-Nya. Jadi pentinglah membedakan antara kisah dan inti iman yang mau disampaikan.
Tentang yang kedua, perbedaan keterangan sering terjadi karena faktor sumber. Ingatlah bahwa pada zaman penulisan itu, sudah ada banyak kisah tentang Yesus baik lisan maupun tertulis. Penulis harus memilah-milah dan mengolah data tersebut, sehingga perbedaan keterangan dalam penceritaan bisa saja terjadi. Semuanya itu tidak mengurangi isi dan maksud utama penulis, yaitu menyampaikan kebenaran tentang Allah dan Yesus yang diutus-Nya untuk menyelamatkan dunia. Roh Kuduslah yang membuat, sehingga Kitab Suci mengajarkan tanpa kekeliruan kebenaran yang Allah kehendaki demi keselamatan kita (bdk. DV 11).
Gregorius Hertanto MSC
HIDUP NO.37 2018, 16 September 2018