Dari Bajawa ke Maumere

510
(ki-ka) Adik ipar, Papa, Mama, dan kedua adik dari Mgr Edwaldus Martinus Sedu.
[Repro.HIDUP/Marchela A. Vieba]

HIDUPKATOLIK.com – Masuk seminari membuat kepribadiannya menjadi lebih teduh. Ia menjadi oase di tengah ombak yang beriak.

Awalnya Nikolaus Gapi tidak mengizinkan anak keempatnya masuk ke seminari. Ketika sang anaknya yang duduk di kelas 6 Sekolah Dasar meminta uang untuk pendaftaran, ia tidak memberikannya. Pasalnya, Nikolaus takut apabila anaknya tidak lulus dan berhenti di tengah jalan.

Meski dihalangi dan terkendala dengan dana, sang anak yang bernama Edwaldus Martinus Sedu itu tak patah arang. Ewal, demikian ia disapa, memiliki keinginan yang kuat untuk tetap masuk ke sekolah seminari. Apalagi kala itu Ewal melihat sang kakak yang sudah lebih dulu masuk seminari. Ia mengingat, seringkali dalam olahraga ataupun kor, anak-anak dari seminari selalu jadi pusat perhatian.

Memang di tanah Flores, pada umumnya anak laki-laki selalu berkeinginan sekolah di seminari. Karena tak diberi uang pendaftaran, Ewal nekat meminjam temannya yang kebetulan memiliki uang lebih. Setelah mengikuti tes masuk, Ewal berhasil diterima. Sayang, sang teman yang meminjami uang malah tidak berhasil lulus.

Penuh Kejutan
Edwaldus Martinus Sedu lahir di Bajawa, pada 30 Juli 1963. Ia adalah anak keempat dari sebelas bersaudara, anak pasangan Nikolaus Gapi dan Maria Dhone. Sang ayah merupakan pensiunan Pegawai Negri Sipil, dan ibunya merupakan seorang ibu rumah tangga. Mereka tidak pernah menyangka di antara sebelas anak itu, tiga dari mereka menjadi biarawan dan biarawati. Apalagi kini, dari anak-anak itu, salah satu akan menjadi uskup.

Niko dan Mia (sapaan mereka) bercerita, Ewal kecil memang cukup nakal. Pernah satu malam, Ewal kecil yang belum menginjak usia sekolah, mengikuti orang-orang besar yang pergi ke tempat bermain biliar. Ia menonton orang bermain biliar sampai larut, hingga dirinya terlelap. Niko dan Mia sama sekali tidak mengetahui bahwa Ewal pergi tanpa pemberitahuan. Mereka berpikir, Ewal ada di rumah dan sudah tertidur di kamar. Kemudian ketika para pemain biliar itu sudah mau bubar, salah seorang melihat ada anak kecil tertidur di situ.

Untungnya, Ewal dikenali oleh orang itu. Digendongnya Ewal dalam keadaan masih tertidur dan diantar ke rumahnya. Orang yang mengantar Ewal lalu mengetok rumah dan memanggil. “‘Pak Niko, Pak Niko, kamu anak terlalu banyak, tidak hitung lagi, sampai anaknya masih ada yang di luar tertidur tidak cari.’ Kami kaget dan benar saja Ewal tidak ada, kemudian kami bawa masuk masih dalam keadaan tertidur,” kenang Niko sambil tertawa.

Kakak pertama Mgr Ewal, Rosalina Bupu Gapi menjelaskan, bahwa adiknya ini memang suka ikut-ikutan apabila ada keramaian. Rose demikian panggilannya, ingat sebuah pengalaman lucu saat Rose duduk di kelas 2 SMA. Rose memiliki teman dekat seorang pemain band. Waktu itu, Rose ikut teman-temannya tampil di sebuah acara di luar kota.

Sedang dalam perjalanan, ternyata dipalang oleh Ewal kecil yang sudah menunggunya di jembatan perbatasan. Waktu itu pas libur sekolah. Ewal yang sebenarnya sudah dilarang, tapi tau-tau dia sudah tunggu di ujung jembatan yang Rose lalui bersama teman-temannya. Apa mau dikata, Ewal pun berhasil memaksa sang kakak untuk membawa serta dirinya. Padahal, perjalanan tak hanya sehari, dan Ewal sama sekali tidak membawa baju ganti. “Akhirnya ya mau ga mau kami angkut juga. Perjalanan empat hari jadi dia ikut saja. Bapak tidak tahu. Itu tidak bawa baju sama sekali. Hanya ternyata sudah diberi kain dari mama saja,” kenang Rose.

Keluarga Pendoa
Meski ada saja kejutan-kejutan dari tindakan yang dibuat oleh Ewal kecil, namun ia juga rajin mengikuti sang mama rutin ikut Misa pagi di parokinya. Memang Mia membiasakan anak-anaknya untuk terlibat dalam urusan menggereja. Tumbuh kembang kehidupan rohani Ewal kecil dan saudara-saudaranya tak bisa dilepaskan oleh tangan hangat sang ibunda.

Sebelum menikah dengan Niko, Mia mengikuti kursus rumah tangga didikan Suster Misi Abdi Roh Kudus (SSpS). Itulah sebabnya keluarga Niko dan Mia dipenuhi dengan asupan-asupan rohani yang mumpuni. Ketika akhirnya Ewal yang sedari kecil masuk sekolah seminari, Mia tak henti mendaraskan doa agar anaknya tak meninggalkan jalan panggilannya. Hingga akhirnya, Ewal ditahbiskan menjadi seorang imam. Kebahagiaan Mia semakin bertambah, saat kini Mgr Ewal ditunjuk sebagai Uskup Maumere. Mia merasa mungkin ini berkat devosinya kepada Bunda Maria. “Jadi sedari dulu kalau anak-anak minta doa, pasti ke mama,” ungkap Mia.

Sebulan lalu, sang adik bungsunya, Ernesta Elisabeth Gapi, bercerita, bahwa Pastor Ewal menelpon dan bicara kepada mamanya. Erni, begitu ia disapa, mengingat bahwa sang kakak meminta kepada ibunya untuk didoakan. “Romo telpon, minta mama untuk Novena. Minta didoakan keteguhan hati. Kami pikir ada gejolak atau apa. Terjawab sudah sekarang,” jelas Erni yang juga menjadi orang pertama yang mengetahui penunjukan sang kakak sebagai Uskup Maumere.

Erni mendapat kabar gembira itu bukan dari sang kakak sendiri. Ia melihatnya dari Facebook. Saat melihat kabar tersebut ia dan keluarga semua merasa gembira. “Kita bahagia, terharu, dan tak bisa berkata- kata,”jelasnya.

Pun demikian rasa bahagia itu diungkapkan oleh kedua orangtua dan saudara-saudari Mgr Ewal. Mereka bercampur rasa, ada haru, bangga, dan syukur. “Kami bangga, anak kami ditunjuk sebagai uskup,”ujar kedua orangtua Mgr Ewal.

Kini uskup yang dikenal penyanyang, sabar, dan selalu menjadi penyejuk bagi saudara-saudarinya mengemban tugas sebagai gembala utama di tanah Maumere. Keluarga tentunya akan terus mendoakan Mgr Ewal dengan tugas barunya. “Kami selalu mendukung dengan doa supaya Mgr Ewal bisa menjalani sebagai uskup dan bisa menggembalakan umat, khususnya Keuskupan Maumere,” tandas sang ayah. Anak Bajawa itu kini mengemban tugas sebagai Uskup Maumere.

Marchella A. Vieba

HIDUP NO.37 2018, 16 September 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini