Luigi Tanzi, ayah dari lima anak, mengenang hari dimana ketika putrinya dengan langkah gembira datang kepadanya dengan berita mengejutkan. Putri tertua mereka, Chiara, saat itu baru berusia 22 tahun, memberitahukan bahwa ia telah memutuskan untuk bergabung menjadi seorang biarawati yang tergabung dalam Biara Suster-Suster Misionaris St.Karolus Borromeus (CB) di Roma. “Kekagetan itu rasanya sama seperti ketika putri Anda memberitahukan bahwa ia akan meninggalkan rumah untuk menikah,” ujarnya mengenang saat sulit menerima kenyataan yang harus dihadapi oleh seorang ayah. “Tapi ketika putrimu menikahi Yesus, bagaimana mungkin kamu keberatan dengan sang pengantin pria?”
Faktanya, banyak orang diluar sana berpikir menjadi seorang biarawati harus membuat pengorbanan besar bahkan pengorbanan yang tak tertahankan. Perspektif ini banyak muncul dari beragam kalangan perempuan. Di satu sisi Mereka berbicara mengenai panggilan mereka sebagai suatu sukacita dan rahmat, bukannya beban. Ada masa-masa percobaan dan kesulitan, tetapi ketika mereka mengingat kembali apa yang menjadi janji mereka untuk mengasihi Kristus dan memperoleh kasih yang kekal dari sang mempelai-Kristus,keteguhan semacam ini membuat mereka bertahan dalam pengabdian.
Suster Ann Kateri, 38, adalah anggota komunitas Suster-suster Pembaharuan Fransiskan. Ia dibesarkan dalam keluarga besar dan bahagia di Washington, D.C. Setelah lulus dari Universitas Harvard, ia mulai bekerja dengan orang miskin untuk Gereja Katolik. Sejak berusia 11 tahun, ia merasakan ketertarikan yang kuat terhadap pekerjaan semacam ini, tetapi juga mengalami keinginan besar untuk menikah. Ketika pacarnya – seorang pria Katolik yang luar biasa – melamarnya, dia sontak mengatakan ya, tetapi kemudian kesedihan yang besar melandanya. Terkejut atas reaksi ini, ia pun mencari alasan atas kesedihannya dan menyadari bahwa ternyata dia dipanggil kepada kehidupan lain, jenis hubungan suami-istri yang berbeda, salah satu yang – meskipun di awal ragu-ragu – telah membawa kegembiraan yang luar biasa. Ia lalu belajar mendengarkan hatinya untuk memperjelas panggilannya. Dia menggambarkan hari ketika dia mengikrarkan Sumpah Terakhirnya sebagai “sejauh hari paling bahagia dalam hidupku.”