Philipus Joko Pinurbo : Mencari Tuhan yang Merdu

2462
Philipus Joko Pinurbo.
[HIDUP/Stefanus P. Elu]

HIDUPKATOLIK.com – Tubuh pria ini kurus. Namun, dari tubuh itu mengalir daya kreativitas dan gunungan pesan yang ia ringkas dalam alunan puisi-puisi aktual dan reflektif. Membaca puisi-puisinya serasa sedang bertamasya rohani

Subuh yang sunyi tanpa berbunyi riuh. Kecuali kicau burung yang merdu dari pohon-pohon di sudut desa yang tenang. Itulah waktu dan tempat yang menginspirasi penyair Philipus Joko Pinurbo atau yang biasa disapa Jokpin untuk menulis puisi. Jokpin seperti sedang menyingkir ke tempat yang sunyi untuk berdoa. Kemerduan subuh di awal hari sering menggerakkan hatinya untuk menulis puisi.

Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung, dalam kepalaku. Demikian penggalan puisi yang lahir dari kesunyian itu bertajuk “Doa Malam”. Melalui puisi ini, Jokpin ingin menggambarkan Tuhan yang di dalam diri-Nya terkandung segala kemerduan. Dalam kemerduan pula, Dia mendengarkan doa manusia, seperti kicau burung. “Doa selayaknya tulus seperti kicau burung menjelang pagi. Tanpa mau ini atau itu,” kata Jokpin saat ditemui di rumahnya di kawasan Wirobrajan, Yogyakarta, awal Maret lalu.

Menurut Jokpin, bagaikan burung, manusia harus mempercayakan seluruh hidup kepada Tuhan. Burung yang tak pandai menabur, tak pandai mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun tidak tersirat kekhawatiran dalam kicauannya.

Inspirasi
Jokpin mengaku, puisi “Doa Malam” ini terinspirasi tulisan-tulisan RP Anthony de Mello SJ dalam buku “Burung Berkicau”. Yesus juga menjadi sosok yang sangat menginspirasi perjalanan kepenyairan Jokpin. “Dalam karya dan pewartaan-Nya, Yesus membangkitkan harapan hidup bagi orang kecil. Puisi saya banyak bercerita mengenai orang-orang kecil, seperti tukang becak, tukang ojek, buruh, dan yang lain,” ujarnya.

Jokpin juga merasa terlecut oleh puisi “Nyanyian Angsa” karya W.S. Rendra dan “Duka-Mu Abadi” karya Sapardi Djoko Damono. “Puisi Sapardi itu, puisi yang luar biasa. Meski ia tidak menyebut sosok Yesus dalam puisi itu, namun saya menafsirkan sebagai ungkapan atas peristiwa penyaliban Yesus,” kata Jokpin.

Nah, terkait peristiwa penyaliban Yesus, Jokpin juga punya puisi berjudul “Celana Ibu”.

Maria sangat sedih menyaksikan anaknya mati di kayu salib tanpa celana dan hanya berbalutkan sobekan jubah yang berlumuran darah. Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang ke kubur anaknya itu, membawakan celana yang dijahitnya sendiri dan meminta Yesus untuk mencobanya. “Paskah?” tanya Maria. “Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira. Mengenakan celana buatan ibunya,Yesus naik ke surga.

Melalui puisi ini, Jokpin berhasil menjinakkan peristiwa Paskah yang penuh misteri ke dalam ungkapan yang sederhana. “Sebaiknya, khotbah pastor juga harus seperti itu. Umat sudah lelah dengan banyak pikiran dan pekerjaan di rumah dan di tempat kerja. Ketika ia datang ke gereja, ajaran iman yang disampaikan lewat khotbah harus segar, menggelitik, dan selalu menghadirkan pesona baru,” harap Jokpin.

Metafor domestik
Dalam goresan-goresan puisinya, Jokpin banyak menggunakan metafor domestik, seperti rumah, kamar mandi, jendela, ranjang, dan sebagainya. Ia juga seringkali mengemukakan pola hubungan ibu-anak, anak-ayah, dan ayahibu. Menurutnya, pola hubungan yang ia sasar dalam puisi bisa diperluas, misal hubungan Gereja dengan umat, negara dengan masyarakat, atau yang lain.

“Seharusnya, kita bisa melihat Gereja atau negara seperti sebuah rumah. Ia harus memberi kenyamanan. Gereja dan negara ibarat seorang ibu yang duduk di bawah jendela dan menanti penghuni rumah pulang. Artinya, memberi harapan,” ungkap Tokoh Sastra pilihan Majalah Tempo 2001 ini.

Selain itu, Jokpin juga sering memakai metafora mandi. Menurutnya, kegiatan mandi mengingatkan kita akan pembaptisan. Melalui pembaptisan, umat dibersihkan dari dosa. “Melalui mandi, kita diingatkan akan makna mem bersihkan diri, menanggalkan yang kurang baik untuk berbuat baik, seperti juga kita ingin tampil menawan sesudah mandi,” ujarnya.

Dari kamar mandi
Seperti puisinya yang ditulis dengan narasi sederhana, tapi berluber makna, begitu pula pribadi Jokpin. Sore itu, ketika ditemui di rumahnya, ia sedang duduk santai di ruang tamu. Ia hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong, ditemani segelas teh dan sebatang rokok.

Para tetangga di sekitar rumahnya tidak mengenal Jokpin sebagai penyair. Seorang warga mengenal Jokpin sebagai “Mas Joko yang kurus kecil dan sebagian rambutnya putih.”

“Ya, saya biasa saja. Di lingkungan ini saya tidak memperkenalkan diri sebagai penyair. Bahkan, mereka juga nggak tau kalau saya nulis puisi. Saya bergaul seperti biasa, ikut kegiatan lingkungan seperti biasa. Hari Minggu, ya, saya datang ke gereja seperti umat yang lain,” tutur umat Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, Yogyakarta ini.

Akhirnya, “Dari kamar mandi yang jauh dan sunyi, saya ucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puisi.” Tulis Jokpin dalam puisi berjudul “Puasa”.

Philipus Joko Pinurbo

TTL : Sukabumi, 11 Mei 1962
Istri : Nurnaeni Amperawati Firmina
Anak : Paskasius Wahyu Wibisono dan Maria Azalea Anggraeni

Pendidikan:
• SD Mardi Yuana Warung Kiara, Sukabumi (1973)
• SMP Sanjaya Babadan, Sleman (1976)
• Seminari St Petrus Kanisius Mertoyudan, Magelang (1981)
• IKIP Sanata Darma (sekarang Universitas Sanata Dharma) Yogyakarta (1987)

Buku:
• Celana (1999)
• Di Bawah Kibaran Sarung (2001)
• Pacarkecilku (2002)
• Telepon Genggam (2003)
• Kekasihku (2004, cetak ulang 2010)
• Pacar Senja (Seratus Puisi Pilihan; 2005)
• Tahilalat (2012)
• Baju Bulan-Seuntai Puisi Pilihan (2013)

Penghargaan:
• Hadiah Sastra Lontar (2001)
• Sih Award (2001)
• Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2002)
• Khatulistiwa Literary Award (2005)
• Karya Sastra Pilihan Tempo (2012)

Stefanus P. Elu

HIDUP NO.13 2014, 30 Maret 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini