Gereja Menolak Hukuman Mati

2489

HIDUPKATOLIK.com – Pada 1 Agustus 2018, Konggregasi Suci untuk Ajaran Iman mengeluarkan surat yang berisi revisi ajaran Gereja mengenai hukuman mati dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 2267. Sejak KGK dipromulgasikan Yohanes Paulus II, 11 Oktober 1992, hukuman mati telah beberapa kali direvisi: 1992, 1995, dan 2018.

Revisi kali ini, diminta Paus Fransiskus ketika memperingati 25 tahun Konstitusi Apostolik Fedei Depositum 11 Oktober 2017 lalu. Revisi ini dimaksudkan menanggapi perkembangan positif terutama mengenai penghargaan akan hidup dan martabat manusia, setelah Yohanes Paulus II menerbitkan Ensiklik Evangelium Vitae, yang antara lain berbunyi, “Bahkan seorang pembunuhpun tidak kehilangan martabat pribadinya, dan Tuhan sendiri yang berjanji untuk menjaminnya.” (EV. No. 9). Permintaan Paus Fransiskus itu sejalan dengan pernyataan pendahulunya, Benedictus XVI, “perhatian pemimpim masyarakat masa kini semakin besar terhadap penghapusan hukuman mati.” (Post Synodal Apostolic Exhortation Africæ Munus no. 83).

Zaman dulu, untuk menjamin kesejahteraan bersama (common good), St. Thomas Aquinas setuju penjahat kelas kakap boleh dihukum mati, karena penjahat itu sudah kehilangan hak hidupnya. Ajaran ini akhirnya menjadi ajaran resmi Gereja. Katekismus Gereja Katolik tahun 1992, no. 2267 merumuskan, “Sejauh cara-cara tidak berdarah mencukupi untuk membela kehidupan manusia terhadap penyerang dan melindungi peraturan resmi dan keamanan manusia, maka yang berwewenang harus membatasi dirinya pada cara-cara ini, karena cara-cara ini lebih menjawab syarat-syarat konkret bagi kesejahteraan umum dan lebih sesuai dengan martabat manusia.” Dengan rumusan ini, Gereja masih membuka kemungkinan terjadinya hukuman mati.

Setelah munculnya Evangelium Vitae (1995), rumusan KGK no 2267 itu menjadi semakin panjang menjadi tiga alinea. Di situ ditekankan, kalau cara-cara yang tidak mematikan cukup untuk mempertahankan hidup manusia, maka pemerintah wajib membatasi diri dengan cara itu. Kenyataannya karena perkembangan kemampuan pemerintah membela kehidupan, maka situasi demikian itu amat jarang atau bahkan secara praktis tidak ada. Dengan rumusan itu, Gereja menentang hukuman mati, tetapi masih menyisakan ruang yang sangat sempit terjadinya hukuman mati.

Revisi terakhir 1 Agustus 2018. KGK no. 2267 itu berbunyi, “Melakukan hukuman mati yang dilakukan oleh penguasa yang sah, sesudah melalui pengadilan yang adil, sudah lama dipandang sebagai jawaban yang cocok terhadap beratnya kejahatan tertentu dan dapat diterima, sekalipun hal itu dipandang sebagai yang ekstrim sebagai cara untuk menjaga kebaikan bersama. Namun dewasa ini semakin disadari bahwa martabat pribadi manusia tidaklah hilang juga seandainya dia telah melakukan kejahatan yang sangat serius. Lagi pula, suatu pemahaman yang baru telah muncul mengenai makna sangsi hukuman yang diberikan oleh negara. Pada masa akhir-akhir ini, juga sudah dikembangkan sistem penahanan yang lebih efektif yang menjamin perlindungan warga negara, tetapi pada saat yang sama, tidak memungkinkan orang yang bersalah itu untuk mendapatkan pengampunan secara definitif. Konsekuensinya Gereja mengajarkan, dalam terang Injil, bahwa hukuman mati tidak bisa diterima sebab hal ini menyerang martabat pribadi manusia yang tidak bisa diganggu gugat, dan Gereja berusaha dengan kuat agar hukuman mati ini dihapuskan dari muka bumi.”

Gereja secara tegas tidak menyetujui hukuman mati dengan alasan apapun. Argumennya jelas, walaupun manusia menjadi pembunuh tetapi dia tidak kehilangan martabatnya sebagai manusia dan Allah sendiri yang menjaga dan melindunginya.

Mengapa orang jahat tidak boleh dibunuh? Tuhan selalu menghendaki pertobatan orang yang berdosa dan bukan kepada kematiannya (Yehezkiel 18: 23). Sikap Allah itu tidaklah aneh. Kalau anda punya anak yang nakal sekali, apa yang anda kehendaki? Apakah membunuhnya atau mengharapkan supaya anak anda bertobat dan kembali menjadi baik? Saya yakin anda pasti mengharapkan pertobatannya. Kedatangan Yesus ke dunia untuk mencari dan menyelamatkan pendosa, supaya mereka yang hilang kembali kepada Allah dan hidup dalam kepenuhan, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10: 10).

Carolus B. Kusmaryanto SCJ

HIDUP NO.36 2018, 9 September 2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini