Pohon Setan

898

HIDUPKATOLIK.com AKU tinggal di tengah-tengah masyarakat Suku Kamoro yang merupakan salah satu suku besar di Papua bagian selatan. Wilayah antara Kokonao, Timika, sampai 50 kilometer ke utara. Orang menyebut sebagai kawasan hutan sagu dan tanah datar.

Di sana tumbuh hutan hujan tropis dengan pohon-pohon heterogen. Hutan lebat, penuh perdu sehingga manusia mengalami kesulitan untuk menembusnya. Selesai memimpin ibadat sabda di gereja, aku mampir ke warung untuk membeli rokok. Kulihat Yosef Eyao menuju ke arah warung.

Kami berpapasan dan bersalaman ala Papua. Saling menjepitkan dua jari telunjuk dan tengah hingga menimbulkan bunyi “klik”.
“Hai, Sobat! Bisakah antar kami berdua ke tengah hutan?” Tanya Gani kepada sahabatku, Yosef Eyao.
Gani seorang pendatang. Ia mendekat kepada kami bersama temannya, Hasan.
“Antar ke mana?”
“Ke tengah hutan untuk mencari pohon setan. Kami berdua ingin lihat rupa pohon setan seperti apa!”
Setelah mereka menyepakati perjanjian dan syarat-syarat yang disampaikan, Yosef menoleh kepadaku.
“Bapa mau ikut kah?”
“Ya, saya ikut!”
Tegas aku sampaikan karena keinginanku yang kuat untuk mengetahui kebenaran tentang pohon setan.
“Baik Bapa-bapa yang gagah berani.

Mari kita pulang untuk kemas barang-barang yang dibutuhkan. Sebab perjalanan bisa sampai enam hari pulang pergi! Besok pagi sebelum matahari terbit kita bertemu kembali di dermaga Amamapare,” perintah Yosef kepada Gani dan Hasan.

Ia menyebut kedua orang itu sebagai orang yang gagah berani, sangat mengusik hatiku.
“Mengapa kamu menyebut mereka sebagai orang yang gagah berani?”
“Karena banyak orang mencari pohon itu di hutan dan tidak kembali. Ada yang bisa kembali dengan hasil yang dicari. Itupun tak menjamin mereka selamat sampai rumah!”
Aku tak berani melanjutkan pertanyaan.
Aku menduga ada banyak hal yang ia sembunyikan.

***

Pagi-pagi sekali kami berangkat. Kami naik perahu masing-masing. Gani dan Hasan naik di perahu mereka sendiri. Sedangkan aku naik di perahu Yosef berdua dengannya. Kami menyusuri sungai dari muara sungai di selatan menuju ke hulu di utara.

Petang hari kami tiba di Pad Sebelas. Sebuah pelabuhan kecil di batang Sungai Aikwa. Di situ kami istirahat dan bermalam. Sambil melepas lelah kami pun memancing. Mata pancing kulempar ke sungai. Ikan-ikan besar berlalu-lalang dan berlompatan ke udara karena air pasang.

Beberapa ikan mulut tikus dan ikan kakap dapat kami tarik ke darat. Mendadak Yosef berteriak.
“Bapa-bapa, awaaas! Mundur ke tepi sungai! Cepat! Tuhan Yesus, tolong kami!”

Kami berempat dengan sigap mundur dan lari menjauh dari sungai. Sekilas kulihat sebuah batang kayu besar sedang hanyut. Tapi batang kayu tersebut memiliki dua mata yang menyala. Seolah sedang menatap kami berempat.

“Bapa-bapa jangan pandang cahaya mata itu ya! Tahan napas, jangan bergerak!”
Perintah Yosef tegas dengan suara setengah berbisik. Aku melirik ke arah batang kayu yang hanyut itu. Syukurlah sudah menjauh dari tempat kami.
“Itu tadi buaya, Bapa.” Yosef menjelaskan dengan raut muka tegang.
Aku menimpali, “Buaya? Saya kira itu batang pohon setan yang hanyut dan sedang kita cari.”
“Bukan,” jawab Yosef mulai agak cuek.

Ia mendekat kembali ke tepi sungai menuju perahu.
“Tuhan Yesus, terima kasih. Sudah kasih masuk ikan dalam perahu kami. Bapa-bapa ke sini!” teriak Yosef kegirangan. Rupanya ketika buaya itu lewat, ikan-ikan berlompatan melarikan diri masuk ke dalam perahu. Setelah aman, aku mulai mencari ranting-ranting kering untuk membakar ikan. Perutku sudah minta diperhatikan.

Jadilah kami berempat menikmati ikan bakar, mie instan, dan segelas kopi. Tenda kami dirikan selesai makan malam. Api tetap kami biarkan menyala.

“Bapa-bapa, besok pagi kita akan melanjutkan perjalanan ke tempat matahari tenggelam. Sekarang silakan Bapa-bapa beristirahat dan tidur nyenyak.”
Yosef memberi perintah, dan kami masuk tenda menanti pagi.

***

Kembali kami menyusuri Sungai Aikwa, belok ke arah barat masuk ke anak sungai. Udara sedikit kering namun angin banyak menerpa wajah kami yang kembali segar setelah istirahat semalam. Di kiri kanan aku melihat mangi-mangi (mangrove) tumbuh subur sekali.

Pohon sagu juga tak kalah suburnya. Bunyi kecipak air oleh dayung rupanya mengganggu keasyikan burung-burung kasuari yang sedang mencari makan. Terlihat pula sekawanan biawak seperti sedang berpesta ikan di tepi sungai.

Suasana seperti sedang menonton film flora dan fauna. Perahu kami terus melaju ke arah barat. Suara aneka burung seperti nuri, kakak tua, cendrawasih bersahut-sahutan. Seolah-olah saling memberi penanda bahwa ada makhluk asing tengah lewat di bawahnya.

Menjelang malam kami tidak bisa melanjutkan perjalanan. Arus sungai makin deras dan tampak berbatu-batu. Yosef memutuskan menginap di semak-semak. Ini malam kedua dalam perjalanan yang semakin terasa jauh.

***

Hari ketiga perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki. Kedua perahu kami tambatkan di pinggir sungai, diikat kuatkuat pada sebatang pohon besar. Supaya tidak hanyut jika sewaktu-waktu hujan lebat datang.

Yosef berjalan di depan menenteng ransel di punggung. Kami semua sudah siap memakai sepatu kebun setinggi lutut dan parang tajam di tangan. Kemudian mengikuti langkah Yosef menerobos hutan lebat. Menebas pohon-pohon pakis dan perdu yang merintangi langkah kami.

Kuambil kompas dari saku. Aku menaksir posisi kami ada di barat kota Timika. Tengah hari kami belok ke arah utara. Jalan setapak yang kami lewati mulai menanjak. Menguras tenaga dan membuat napas kami terengah-engah.

Namun karena Gani dan Hasan tampak bersemangat sekali hendak mencapai pohon setan, kami tetap berjalan terus. Malam pun menjelang. Tepatnya pukul 20.00, ada cahaya memancar dari sela-sela pohon satu dan pohon yang lain.

Pantulan cahayanya terkesan mistik! Bulu kudukku berdiri. Keringat dingin bercucuran. Kami berempat terpaku di tempat. Hembusan angin menuju ke arahku.

Aku mencium bau harum kayu. Aku merasa tak asing dengan bau itu. Saat pikiranku menerka bau itu, aku terkejut mendengar suara Yosef memecah kesunyian.

“Bapa Gani dan Bapa Hasan, sesuai perjanjian kita. Tugas saya mengantar sudah selesai. Cahaya yang kita lihat itu muncul dari beberapa pohon setan di sana! Ya itu yang Bapa cari. Untuk mencapai ke sana harus lihat baik-baik supaya tidak kehilangan arah. Saya dan Bapa Raf akan kembali pulang! Kita berpisah di sini saja.”

Yosef menarik napas dalam-dalam. Wajahnya nampak serius, bahkan cenderung misterius. Lalu ia melanjutkan nasihatnya dengan suara bergetar. “Jangan berhenti berjalan di malam gelap. Sebab besok pagi pohon itu akan hilang. Pohon setan hanya tampak di malam hari!”

“Baik, terimakasih. Silakan kalian pulang. Saya dan Hasan akan tetap memburu pohon itu!” Jawab Gani mantap dan yakin sekali bahwa ia sudah tahu posisi pohon setan yang dicarinya.

Aku dan Yosef berbalik arah pulang. Kami mengikuti petunjuk yang sudah Yosef buat ketika kami lewati tadi. Yosef meletakkan sebatang kayu di jalan setiap jarak seratus meter, untuk menandai jejak kami.

Ketika kami sudah sampai di dekat perahu, aku melihat jam tanganku. Rupanya hari sudah menjelang pagi. Yosef mengajakku beristirahat sampai matahari terbit, baru melanjutkan perjalanan pulang. “Bapa tahu kenapa saya ajak pulang?”
“Tidak! Tapi Yosef, saya tahu itu pohon.

Kalau kita dapatkan, lalu kita tebang. Kayunya kita potong kecil-kecil dan kita bawa pulang, kita akan kaya raya. Sebab kayu yang bercahaya dan beraroma harum itu sangat mahal harganya!”

“Bapa salah! Saya kira Bapa tidak tahu itu pohon. Kami menyebutnya pohon setan. Sangat berbahaya bagi keselamatan kita. Bila kita bawa kita dapat celaka!”

Yosef diam sebentar, lalu melanjutkan pertanyaan penuh selidik. “Jadi menurut Bapa, apa nama pohon itu?”

Belum sempat aku menjawab, Yosef menatap ke arah timur. Ia langsung berdiri sambil memungut barang-barang dan memasukkannya ke dalam ransel. Seolah ia tidak butuh jawaban dariku tentang nama pohon itu.

“Ah, matahari sudah hampir terbit, Bapa. Ayo, kita bersiap pulang!”
Aku pun sudah tidak tertarik untuk menjawab. Kubantu Yosef melepaskan ikatan perahu dan mendorong ke tepi sungai.

Di dalam perahu aku membayangkan wajah Gani dan Hasan tertawa terbahak-bahak membawa pulang kayu gaharu yang mereka dapatkan. Mereka menjadi jutawan atau mati dimakan buaya!

 

Rafael Priyono Mintodihardjo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini