HIDUPKATOLIK.com – Pada saat anaknya berusia enam bulan, suaminya wafat. Kala itu usianya baru 19 tahun. Delapan tahun kemudian, ia menjadi biarawati dan bermisi ke Kanada. Awalnya, anaknya berontak, tetapi di kemudian hari justru menjadi biarawan Benediktin.
Marie Guyart hanya bisa menatap wajah buah hatinya dari kejauhan. Dari balik tembok biara, ia menahan pilu kala mendengar tangis dan pinta anaknya, agar sang ibu meninggalkan biara dan memberi kasih keibuan untuknya di rumah. Kembalikan ibuku,” teriak Claude Martin di depan pintu biara.
Marie mengakui, peristiwa itu menjadi pengalaman terberat dalam hidup dan panggilannya. Sebelumnya, ia pernah mengalami tantangan ketika Claude lari dari rumah hingga tiga hari karena menolak keinginan ibunya menjadi biarawati. Namun, aneka tantangan itu tak serta merta mengubur tekadnya menjadi suster Ursulin. Ia tetap menggenggam erat panggilannya mengabdi Tuhan sebagai biarawati.
Ketika beranjak dewasa, Claude mulai memahami panggilan hidup bundanya. Bahkan, ia terinspirasi oleh keutamaan sang ibu. Di kemudian hari, ia mengikuti jejak Marie dengan masuk biara Benediktin St Maurus pada 1641. Bahkan, Claude dipercaya sebagai pemimpin biara pada 1652 dan menjadi Asisten Superior Jendral pada 1668.
Demi Orangtua
Marie lahir di Tours, Perancis, 28 Oktober 1599, dari garis keturunan keluarga terpandang. Ayahnya, Florent Guyart membuka usaha roti. Sementara ibunya, Jeanne Michelet mewarisi darah keluarga patriotik Babou de La Bourdaisières, yang amat loyal pada Gereja dan tanah air. Meski status sosialnya tinggi, keluarga ini memegang tradisi kesalehan kristiani dengan hidup sederhana dan jujur.
Florent dan Jeanne amat menaruh perhatian bagi pendidikan buah hatinya. Sebagai anak keempat dari delapan bersaudara, Marie paling menonjol dalam urusan rohani. Ia bisa menghabiskan berjam- jam sendirian di kamarnya, terbenam dalam doa.
Kala berusia tujuh tahun, Marie bertemu Yesus dalam mimpinya. Yesus datang padanya dan bertanya, “Apakah engkau mau menjadi milik-Ku?” Dengan tegas ia menjawab, “Ya”. Pengalaman ini terus bergelayut dalam perjalanan hidupnya. Pada usia 14 tahun, ia memendam kerinduan untuk hidup sebagai biarawati. Namun, orangtuanya menghendaki agar ia menikah dan punya ‘momongan’.
Marie tak mau mengecewakan orangtuanya. Ia pun patuh dan menerima pinangan Claude Martin, seorang saudagar kain sutera. Marie menikah pada usia 17 tahun. Bahtera rumah tangga baru pun dimulai.
Malang tak bisa ditolak. Biduk rumah tangganya kerap diterpa ‘badai’. Marie sering mendapat perlakuan buruk dari ibu mertuanya.Situasi diperburuk dengan krisis ekonomi Perancis sekitar abad XVII. Ekses perang agama dan merebaknya wabah pes menggilas bisnis suaminya. Bisnis suaminya mengalami pailit dengan banyak hutang. Pada 2 April 1619, Marie dikaruniai seorang putra, yang dinamai sama dengan nama suaminya. Selang enam bulan, suaminya depresi berat hingga wafat. Marie berstatus janda pada usia 19 tahun. Banyak yang menyarankannya untuk menikah lagi. Mereka menilai langkah itu bisa menopang finansial keluarga. Namun, ia memilih hidup sendiri bersama putranya. Untunglah keterpurukan itu bisa ia lalui dengan tabah.
Pengalaman Mistik
Sepeninggal sang suami, Marie kembali ke rumah orangtuanya. Tak disangka, kerinduan masa kecilnya meletup. Ia ingin mewujudkan cita-citanya menjadi biarawati. Namun, himpitan ekonomi dan kondisi anaknya yang masih kecil memaksa Marie menunda keinginannya.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Marie ikut membantu usaha ekspedisi milik kakak iparnya. Tugasnya memperhatikan makanan 30 kurir dan 60 kuda, serta memeriksa ekspedisi ke dermaga hingga malam. Usai bekerja, ia kembali ke rumah, merenung, membaca buku- buku rohani, dan berkanjang dalam doa. kecakapan dan kesalehannya membuahkan simpati banyak orang.
Suatu pagi, dalam perjalanan ke tempat kerja, langkahnya terhenti di tengah jalan karena Marie merasakan suatu kekuatan besar yang tak mampu ia lukiskan. Peristiwa itu seolah menelanjangi dirinya yang masih berusia 20 tahun. Litani dosa sepanjang hidupnya tersibak. Ia melihat dirinya seolah dicelupkan dalam arah Yesus Kristus. Lalu ia bergegas menuju Kapel Feuillants, dan mengakukan segala dosanya di hadapan imam.
Pada usia 27 tahun, Marie menerima rahmat pengalaman mistik yang meyakinkan dirinya bahwa Tuhan sedang mengukir jalan hidupnya. Berkat bimbingan Pastor Raymond, ia kian mantab untuk mengabdikan diri sebagai biarawati agar dapat melayani secara total. Impian masuk biara pun terlaksana pada 25 Januari 1631. Marie meninggalkan orangtua dan menitipkan Claude pada kakaknya. Lalu ia bergabung dengan Ordo Santa Ursula (OSU) di Tours. Ia mengikrarkan kaul pertamanya pada 1633, dan memakai nama Maria dari Inkarnasi, Marie de L’Incarnation.
Suatu malam, usai perayaan Natal tahun 1634, Marie bermimpi berada di negeri luas dan berkabut: Kanada. Dalam mimpinya, Tuhan berpesan agar ia pergi ke sana dan membangun rumah untuk Yesus dan Maria. Sejak peristiwa itu, ia banyak merenung untuk membulatkan tekad bermisi ke daerah koloni Perancis yang baru ditemukan tahun 1608 dan sempat jatuh ke tangan Inggris (1629-1632), hingga akhirnya direbut kembali oleh Perancis.
Misi Kanada
Setelah delapan tahun di Biara Tours, Marie pun hijrah ke Kanada. Ia berangkat bersama dua suster Ursulin, tiga suster Agustinian dan seorang janda kaya yang berjiwa sosial, Chauvigny de la Peltrie. Menurut informasi para misionaris Jesuit yang telah lebih dulu berkarya, penduduk asli Kanada ialah bangsa Indian yang belum mengenal iman kristiani.Perjalanan misi ini butuh waktu tiga bulan berlayar hingga tiba di New France (kini: Quebec).
Setiba di Kanada, 1 Agustus 1639, Marie bersama rekan-rekan seordonya memanfaatkan rumah kecil di dekat pelabuhan. Para Ursulin ini mulai merintis karya pendidikan; sementara suster Agustinian membuka pelayanan kesehatan. Marie membuka sekolah, membangun asrama, bahkan gereja. Karya Ursulin ini berkembang pesat. Banyak anak Indian datang untuk belajar. Sayangnya, biara dan bangunan di sekitarnya ludes terbakar akibat kecerobohan seorang suster pada 1650. Mereka lalu membangun kembali biara dan sekolah di atas bukit di Quebec.
Marie begitu piawai dalam bidang arsitektur. Ia mengajari para tukang saat membangun dan mendekorasi interior gereja. Selain itu, ia menguasai sejumlah dialek Bahasa Indian, terutama Algonquin dan Iroquois. Bahkan, ia menulis kamus dan buku katekismus dalam bahasa Indian. Ia masih bersemangat mempelajari Bahasa Indian Huron bersama misionaris Jesuit saat usianya sudah 50 tahun. Penguasaan bahasa lokal ini membuat kehadirannya diterima di tengah suku Indian.
Selama berada di tanah misi, komunikasi Marie dengan putranya tak pernah putus. Ia kerap menasihatinya untuk setia, “Berpegang teguh pada Allah tanpa gagal… dengan paksaan fisik yang lembut dan penuh kasih, berikanlah dirimu sepenuhnya pada Allah.” Ia pun berkorespondensi dengan para sahabat, donatur serta pimpinan Biara Ursulin di Perancis dan Belgia. Kala para sahabat Jesuitnya dibunuh oleh orang Indian, ia menulis, “Saya mohonkan doa Anda bagi para martir dan dukungan pada kami yang masih hidup di Kanada.” Selama 33 tahun di tanah misi, ia sudah menulis sekitar 7000 surat.
Menjelang akhir hayatnya, Marie didera abses di tulang punggung. Selama tiga bulan, ia banyak beristirahat di tempat tidur sambil menahan sakit dalam sukacita. Usaha medis dengan operasi telah dilakukan, tapi tetap tak mampu menyelamatkan nyawanya. Pada 30 April 1672, ia menghembuskan nafas terakhir. Dalam sakratul maut, ia sempat meninggalkan wasiat bagi putranya, “Katakan padanya (Claude –Red), aku senantiasa membawanya dalam hatiku”.
Gereja mengganjar keteguhan iman dan cintanya pada Tuhan dengan gelar Venerabilis pada 19 Juli 1911 pada masa Paus Pius X. Lalu pada 22 Juni 1980, Paus Yohanes Paulus II membeatifikasinya. Dan, Paus Fransiskus memahkotai Ibu Gereja Kanada ini dengan gelar Santa pada 3 April 2014 bersama rasul di Brazil asal Spanyol, Jose de Anchieta SJ (1534- 1597) dan Uskup pertama Quebec, Mgr François de Laval de Montmorency MEP (1623-1708). St Marie de L’Incarnation diperingati tiap 30 April.
C. Ayda
HIDUP NO.15 2014, 13 April 2014