Pasutri Valeria – Diddy: Mendapat Anugerah Anak Autis

650
Bersyukur: Wiwie-Diddy bersama kedua buah hati dan neneknya.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Awalnya mereka terpukul kala mengetahui anaknya mengalami gejala autis. Mereka pun berjuang untuk bisa menerima dan memahaminya, hingga mampu bersyukur.

Setelah menjalani masa pacaran tujuh tahun, Valeria Wiwie Kartati dan Diddy Yulius Petrus memutuskan untuk mengarungi biduk rumah tangga pada 1994. Mereka tinggal di daerah Bekasi, Jawa Barat. Selang setahun, mereka dikaruniai putra, Andreas Andika.

Si sulung ini lahir prematur dengan harapan hidup 50 persen. Saat persalinan, kelenjar timus bayi itu tidak mengecil. Wiwie dan Diddy berusaha memperhatikan buah hati mereka yang sering sakit.

Tiga tahun berselang, putra kedua, Thomas Andika lahir. Pengalaman punya anak pertama yang sering sakit, Wiwie mengambil cuti enam bulan supaya bisa memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif pada buah hatinya. Wiwie dan Diddy berusaha memperhatikan kedua putranya. Namun, pada akhir 1999, ketika Thomas didiagnosa autis, mereka tak dapat menepis kebimbangan dan kekhawatiran. Apalagi informasi mengenai autis sangat terbatas.

“Kami melakukan trial and error dengan banyak metode intervensi dan konsultasi ke dokter. Ternyata ini tak semudah membalik telapak tangan, perlu perjuangan maraton. Ada perasaan sedih dan bersalah jika mengetahui ‘uji coba’ yang kami lakukan tidak berhasil,” kisah Diddy. Namun mereka tetap bersyukur seberapa pun kemajuan yang dicapai.

Terus Berjuang
Sejak lahir hingga usia 15 bulan, Thomas tumbuh seperti anak seusianya. Memasuki usia 16 bulan, keanehan mulai muncul. Saat itu, Wiwie tengah mengambil cuti unpaid karena Andre sering sakit. Meski telah dua bulan berada di rumah, Wiwie heran karena Thomas tidak dekat dengannya. Thomas justru kerap bersikap cuek, tidak mau digendong, enggan melakukan kontak mata,dan asyik bermain sendiri. Thomas juga senang melihat benda berputar, roda dan kipas angin.

Dokter mengatakan anak mereka sehat. “Saya dianggap terlalu khawatir dengan anak saya,” ungkap Wiwie. “Tapi semakin hari Thomas semakin tidak peduli. Ia seperti anak dengan gangguan pendengaran, jika dipanggil tidak memberikan reaksi apapun,” imbuh perempuan kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, 5 Juni 1966 ini.

Atas rekomendasi temannya, Wiwie dan Diddy membawa Thomas yang berusia 19 bulan ke psikiater. Sang psikiater mengungkapkan, Thomas mengalami gejala autis ringan dan bisa diterapi pada usia dua tahun.

Ingin anaknya segera normal, Wiwie dan Diddy mencari tempat terapi yang direkomendasikan. Setelah tahu bahwa terapi itu bukan dengan obat, mereka langsung mendaftarkan Thomas. “Kami berpikir, hanya butuh beberapa bulan untuk bisa menyembuhkan Thomas. Ketika di rumah, saya tirukan terapi yang dilakukan di sana,” beber Wiwie. Beberapa terapi diterapkan pada Thomas, seperti terapi perilaku, bicara, motorik, dan biomedical treatment. Wiwie juga memasak makanan tanpa kandungan kasein dan gluten untuk Thomas. Selain itu, Wiwie dan Diddy terus mencari tahu tentang autisme dari berbagai sumber.

Beberapa bulan usai ikut terapi, Thomas hanya mengalami kemajuan sedikit. “Saya makin sedih. Saya syok dan stres ketika tahu penanganan autisme bisa seumur hidup,” tutur Wiwie. Tahun 2000, setelah berdiskusi dengan suaminya, Wiwie memutuskan berhenti bekerja. Ia ingin mendampingi anak-anaknya, terutama Thomas yang makin hari makin degresif dan hiperaktif. “Saya merasa capek fisik dan mental, merasa sendirian dan menjadi orang paling menderita. Saat itu sangat tidak mudah untuk dijalani. Saya marah pada Tuhan, hampir dua tahun saya tidak bisa berdoa,” kenang Wiwie.

Berbagai pertanyaan berkelebat di benaknya, “Di mana Tuhan yang katanya Maha pengasih dan Maha penyayang? Mengapa Ia memberikan anak ini pada kami, bukan pada keluarga lain yang sudah berkecukupan atau telaten merawat anak?”

Dalam situasi itu, Diddy menguatkan istrinya agar tegar dan bersandar pada Tuhan. “Kalau Tuhan menitipkan anak ini pada kita, pasti Tuhan membukakan jalan. Iman kita harus tetap kuat. Kita lakukan bagian kita,” tandas Diddy, kelahiran Jambi, 13 Juni 1963.

Pada 2002, Wiwie dan Diddy pindah rumah ke Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, demi pendidikan dan perkembangan buah hati mereka. Di sana, mereka bertemu dengan konsultan terapi Applied Behavior Analysis (ABA) yang membantu Thomas.

Ternyata ada sekitar 60 anak autis di Bintaro. Wiwie lalu bergabung dengan Parent Support Group (PSG), kelompok orangtua yang anaknya autis. Mereka melakukan kegiatan di rumah secara bergiliran, saling berbagi pengalaman, memasak bersama, dan saling menguatkan. Perlahan semangat Wiwie berpijar.

Hingga usia Thomas 12 tahun, mereka mengaku masih gelap tentang masa depannya. Apalagi dengan banyaknya mata pelajaran di SD umum. Mereka lalu mencari SMP dengan mata pelajaran lebih sedikit. “Kami merasa rahmat Tuhan selalu beserta kami. Kepala Sekolah dan guru SMP merasa yakin, Thomas tidak perlu guru pendamping,” ujar Diddy yang lalu memutuskan pensiun dini dan mencari pekerjaan lain agar waktunya untuk Thomas lebih banyak. “Saya bersyukur, berangsur- angsur perkembangan Thomas makin pesat.”

Campur Tangan Tuhan
Wiwie dan Diddy terus bersyukur atas anugerah Tuhan; pun atas ketrampilan Thomas dalam membuat origami sejak TK. Thomas juga gemar melukis, bermain keyboard dan drum. “Ini berkat campurtangan Tuhan,” kata Diddy.

Awalnya, Thomas membuat origami dengan kertas koran, majalah dan kertas bekas lainnya. Saat mengetahui kegemaran Thomas, Wiwie mulai menyediakan kertas lipat di rumah dan kala bepergian. Thomas membuat origami figur binatang: kuda, gajah, dinosaurus, jerapah, kelinci, juga gangsing, pohon dan kandang Natal.

Kini usia Thomas sudah 16 tahun. Ia bersekolah di Beacon Light Community School Bumi Serpong Damai (BSD) kelas X, dan masih terus membuat origami. Ia sering diundang mengikuti pameran. Pada April 2014, ia diundang ikut pameran di Jakarta dan Yogyakarta dalam rangka Bulan Peduli Autisme. Saat SMP, Thomas pernah menjadi juara lomba lukis antar sekolah, juga juara lomba story telling. Pada 2012, ia juga membuat pameran lukisan di Mall Taman Anggrek, Jakarta. “Thomas ingin berprestasi, Ma. Thomas ingin memecahkan rekor MURI, menjadi anak dengan origami terbanyak,” demikian salah satu mimpi yang diungkapkan pada bundanya.

Pada Desember 2013, ia membuat paket Natal origami untuk dilelang di Gereja St Maria Regina Bintaro Jaya. Hasilnya digunakan untuk membantu anak-anak penderita kanker. “Hal ini menjadi salah satu cara untuk mengajarinya berbagi dengan orang lain,” ujar Wiwie.

Selain berbagi, Wiwie dan Diddy mengajarinya berdoa. Setiap memasuki masa Prapaskah, keluarga ini punya kebiasaan berdoa Rosario bersama. “Sekarang kami juga punya kebiasaan usai doa Rosario, kami saling memeluk dan mengucapkan I love You, I need You. Kesempatan seperti ini bukan hanya menjadi kesempatan mengajarkan iman, tapi juga saat untuk bicara, berinteraksi dan memperbaiki hubungan satu sama lain,” ungkap Diddy. Wiwie dan Diddy berharap, para orangtua dengan anak autis bisa terus mendampingi anak-anak mereka dan punya waktu yang cukup untuk mereka.

Segala sesuatu indah pada waktunya, demikianlah ungkapan yang turut menguatkan keluarga mereka. “Penderitaan yang kita alami membuat kita makin kuat. Anak ini adalah anugerah dari Tuhan. Thomas menjadi guru bagi kami untuk terus belajar dan berjuang. Belajar sabar, berkomunikasi dengan bahasa positif, dan belajar tegas tapi tidak marah,” tutur Diddy.

Wiwie mensharingkan, “Titipan Tuhan ini spesial. Saya juga bersyukur, suami mengingatkan dan menguatkan saya. Tuhan menitipkan Thomas pada kami karena kami dianggap mampu untuk mendampinginya.”

Maria Pertiwi

HIDUP NO.15 2014, 13 April 2014

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini