Ndherek Dewi Maria

818

HIDUPKATOLIK.com MATAHARI sudah bangun dari tidurnya. Pagi ini kudengar suara piano berdenting indah diiringi kicauan burung yang bersahutan. Aku yakin itu pasti Bunda. Bunda memang sangat mahir bermain musik, apalagi piano.

Musik sudah menjadi bagian dari hidup Bunda. Setiap pagi ia bermain musik sekitar 10 menit, bukan untuk pamer. Tetapi untuk berdevosi dan juga sebagai wujud syukur kepada Tuhan sebelum Bunda mengawali hari.

***

Nama aslinya adalah Tina Rahayu, tapi aku memanggilnya Bunda karena dia kuanggap layaknya ibuku sendiri. Aku bukanlah anak kandungnya. Empat tahun lalu – saat umurku 12 tahun – Bunda menceritakan semua hal yang belum pernah aku ketahui, namun, kini aku perlu mengetahuinya.

Mulai dari awal Bunda menemukanku di depan rumahnya, hingga saat di mana ia merawatku sampai saat ini. Sulit memang menerima kenyataan itu, namun, pada akhirnya aku mampu menerimanya.

Bunda tidak menikah. Di rumah, kami tinggal bertiga: Aku, Bunda, dan Tante Lina yang adalah adik Bunda. Aku merasa bahagia tinggal di keluarga ini. Bunda adalah guru musik di sebuah sekolah swasta di Magelang. Menurutku Bunda tidak hanya menjadi guru musik di sekolah, tapi juga guru musik pribadiku.

Sudah banyak penghargaan lomba musik yang kudapatkan, dan itu semua karena Bunda. Selain bermain musik, Bunda juga pintar memasak. Aku sangat suka saat ia memasak tahu crispy. Rasanya astaga, mungkin Farah Quin akan meminta Bunda untuk mengajarinya.

Bunda sangat sayang dengan murid-muridnya di sekolah. Bahkan, Bunda rela menggoreng tahu crispy dan membuat lotis untuk murid-muridnya yang kurang lebih sekitar 40 anak. Pernah Suatu kali, Bunda mengajakku pergi ke sekolah tempat ia mengajar. Saat itu belum banyak murid yang datang ke sekolah, wajar saja karena Bunda selalu datang lebih awal.

“Guru itu adalah digugu lan ditiru, kalau gurunya telat, nanti muridnya malah ikut-ikutan telat. Guru yang baik adalah guru yang memberikan teladan bagi murid-muridnya. Makanya Bunda harus datang awal supaya bisa beri teladan yang baik untuk murid-murid Bunda,” kata Bunda kepadaku.

Aku senang melihat murid-murid Bunda. Mereka seru, lucu, baik, dan juga mereka sama seperti aku, menganggap Bunda seperti Ibu mereka sendiri. Ada murid yang senang curhat dengan Bunda, ada juga yang senang memijit Bunda, bahkan ada pula yang memeluk Bunda begitu bertemu dengan Bunda.

Kalau ada muridnya yang masuk angin, Bunda akan ngeroki badan muridnya itu. Dari situ aku menyadari alasan mengapa Bunda sangat menyayangi murid-muridnya.

***

Bunda adalah orang yang kuat. Betapa tidak. Bunda berangkat pagi jam 6, dan pulang jam 7 malam. Belum lagi kalau dia diminta mendampingi orkestra sekolah, bisa saja Bunda pulang pukul 11 malam. Sebenarnya aku khawatir, tapi Bunda selalu mengatakan supaya aku tidak kawatir, karena Tuhan pasti mengirim Malaikat-Nya untuk menjaga Bunda.

Suatu hari, saat Bunda sedang bermain piano, tiba-tiba Bunda jatuh dari kursi dan mual-mual. Aku yang sedang berada di dekat Bunda segera memanggil Tante Lina. Kami pun segera membawa Bunda ke rumah sakit.

Selama di rumah sakit, aku memegang rosario sambil berdoa kepada Bunda Maria supaya selalu melindungi Bunda. Begitu dokter telah selesai memeriksa Bunda, Tante Lina  bertanya kepada dokter apa yang terjadi. Dengan penuh wibawa, dokter itu memberitahukan kepada kami bahwa Bunda terserang kanker rahim.

Aku dan Tante Lina terkejut, dan parahnya lagi kanker itu sudah mulai menyebar sehingga perlu ada tindakan secepatnya. Mulai saat itu, aku terus berdoa kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria agar Bunda dapat segera dipulihkan dari penyakitnya

***

Hari berganti hari, badan Bunda semakin kurus, tetapi Bunda tetap tersenyum seolah-olah dia tidak merasa sakit. “Floren bisa mainkan lagu buat Bunda?” pinta Bunda.
“Bisa Bunda. Sebentar ya..,” jawabku dengan semangat.

Aku mengantar Bunda untuk duduk di dekat piano. Lalu aku pun segera memainkan lagu kesukaan Bunda yaitu “Ndherek Dewi Maria”. Saat sedang tenggelam dalam melodi, tiba-tiba terdengarlah suara Bunda yang menyejukan hati. Mendengar Bunda bernyanyi, aku pun tergerak untuk ikut bernyanyi.

Akhinya kami pun bernyanyi bersama. Air mataku tiba-tiba terjatuh seusai bernyanyi. Bukan air mata kesedihan, tetapi air mata kebahagiaan.

“Floren, kamu perlu ingat bahwa bermain musik bukan hanya dengan pikiran saja. Tetapi juga perasaan. Perlu juga kamu ingat bahwa bermain musik bukan semata-mata demi diri kamu sendiri. Tetapi juga demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar.” Aku pun menangis sambil memeluk Bunda, begitu pula Bunda memelukku dengan hangatnya.

Penyakit Bunda menjadi semakin parah, kankernya terus menyerang sehingga Bunda hanya bisa terbaring di rumah sakit. Badannya semakin kurus dari sebelumnya, sehingga membuatnya berbeda dengan Bunda yang dulu.

***

Keadaannya yang semakin buruk membuatnya tidak bebas. Gerak sedikit saja, Bunda akan berteriak kesakitan. Bunda sudah tidak mampu membuat tanda salib karena sakitnya itu. Aku hanya bisa menangis dan berharap Bunda dapat segera pulih. Pernah sekali waktu, Bunda dijenguk oleh murid-muridnya, aku melihat Bunda tersenyum, namun itu tidak bertahan lama.

Akhirnya, Bunda diberikan Sakramen Pengurapan Orang Sakit oleh romo paroki. Bunda diajak berdoa bersama oleh romo paroki. Setelah berdoa bersama, dengan suara lirihnya, Bunda meminta kami menyanyikan lagu Ndherek Dewi Maria.

Saat kami sedang bernyanyi, tiba-tiba Bunda memanggilku. “Floren, Bunda pamit ya,” bisiknya. Aku tidak kuasa menahan tangisku. Aku memegang tangan Bunda dan mencium pipinya. Saat itu pula, terdengar suara pintu diketuk dan masuklah seorang wanita cantik bergaun putih nan indah.

Wanita  itu langsung masuk dan mengulurkan tangan ke Bunda. Aku terkejut karena Bunda segera bangun dari tempat tidurnya dan terlihat telah sehat kembali. Bunda menciumku lalu mengatakan, “Bunda pergi ya Floren. Doakan Bunda. Bunda juga akan selalu mendoakan Floren.”

Bunda mengusap air mataku sambil tersenyum. Sedangkan orang-orang lain masih menyanyikan lagu “Ndherek Dewi Maria”. Aku melihat wanita cantik itu memegang tangan Bunda dan hendak membawa pergi Bunda.

Aku pun mendapati tangan wanita itu dan bertanya siapakah dia. Wanita cantik itu tersenyum dan berkata, “Namaku Maria. Bunda Maria.” Setelah itu mereka pergi.

Lagu selesai dinyanyikan. Aku mendapati diriku sedang memegang tangan Bunda. “Bunda..? Bunda..?? Bunda sudah pergi.,???”

 

Christo Luntungan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini