HIDUPKATOLIK.com – “Agama bukan ladang keluh kesah mahkluk tertindas, bukan pula jantung dari dunia yang tak berperasaan”, ujar Anasztaz János Brenner O.Cist suatu hari.
Pastor János telah tiba. Teriak beberapa anak di salah satu sudut Kota Szombathely, Hongaria. Sambil berlari mengikuti motor yang dikendarai Pastor János, anak-anak itu terlihat begitu gembira. Teriakan itu disambut dengan bunyi lonceng sebagai tanda Misa segera dimulai. Ketika turun dari motornya, Pastor János membagikan permen, coklat, dan rosario. Mereka menikmati pemberian itu dengan sukacita.
Kehadiran pastor muda ini selalu ditunggu-tunggu umat. Sudah lama sekali mereka tak lagi dilayani oleh seorang imam. Invasi Uni Soviet ke Hongaria (1956) membuat rezim komunis menebar teror di Republik Soviet Hongaria. Gereja berkembang di bawah bayang-bayang komunis. Para pelayan pastoral yang ketahuan melayani berakhir di kamp konsentrasi atau dibunuh.
Wajar saja, kehadiran Pastor János di tengah situasi mencekam itu kembali mengubah kwalitas hidup rohani umat. Anak-anak memanggilnya Santa Klaus Magyarországról, ‘Santa Klaus dari Hongaria’. “Bila suatu saat saya tidak lagi membawa hadiah maka kalian harus tahu kepada siapa kalian meminta hadiah,” pesan Pastor János sambil menunjuk salib.
Candu Rakyat
Hongaria, layaknya mayoritas negara Eropa Timur lainnya, menganut ideologi komunis. Hongaria sempat berusaha keluar dari ideologi kiri ini tahun 1956. Akibatnya kehidupan yang tragis terjadi – Hongaria diinvasi Uni Soviet. Harapan revolusioner demokratis hanya sebatas mimpi, sebab nyatanya lebih dari tiga dekade Soviet berkuasa di Hongaria.
Matyas Rakosi (1892-1971) selaku pentolan dari Kommunistak Magyarorszagi Partja (Partai Komunis Hongaria) naik sebagai pemimpin baru atas restu Soviet. Selama kemepimpinannya, ribuan orang Hongaria yang tak sejalan dengannya ditangkap, disiksa dan dibunuh tanpa proses peradilan yang layak. Aktivitas penyensoran media dan larangan mengritik pemerintah juga diberlakukan. Kepemimpinan Rakosi juga ditandai dengan menurunnya perekonomian Hongaria. Kesalahan pengelolaan ekonomi terjadi karena kebijakan nasionalisasi lahan pertanian menitikberatkan pada industri berat dan mengabaikan kebutuhan dasar hidup.
Kebijakan-kebijakan ini membuat Rakosi pada gilirannya tidak populer di mata rakyat. Kendati demikian, tidak ada yang berani melawan. Para tokoh agama dianggap paling layak mengritik kehancuran Hongaria. Mereka dianggap “malaikat pelindung” di saat stabilitas kehidupan masyarakat akar rumput terabaikan.
Pastor János adalah satu dari sekian banyak imam yang menyuarakan ketidakadilan. Ia getol menolak rezim komunis yang membatasi kebebasan manusia berekspresi atas imannya. Salah satu ungkapan perasaan dalam buku berjudul, Magyar Kommunista Rezsim, János mengungkapkan, kekesalannya karena hidup beriman banyak orang terabaikan dengan hadirnya rezim komunis. Ia tidak sepakat dengan konsep Tuhan dalam pandangan komunis yang mengatakan Tuhan rezim komunis adalah diri mereka sendiri. Ia setuju konsep “agama sebagai candu masyarakat” (Karl Marx).
Cara kritik Pastor János tidak saja di atas mimbar tetapi juga memberi katekese kepada umat di mana pun. Ia mengatakan penderitaan religius pada saat bersamaan, tidak bisa disebutkan sebagai ekspresi dari penderitaan riil dan protes terhadap penderitaan riil tersebut. Agama bukan ladang keluh kesah makhluk tertindas, bukan pula jantung dari dunia yang tak berperasaan. Baginya, agama berarti menyadari diri bahwa hidup kita tak bisa berbuat apa-apa bila tanpa bersandar pada Tuhan.
Kritikan pedas kelahiran di Szombathely, 17 Desember 1931 ini membuat Rakosi menjadi marah. Ia menentang Rakosi agar bisa berdebat tentang Allah sebagai “Sang Pengada”. Kritikan pedasnya ini membuat Rakosi memasukan nama Pastor János dalam daftar target penentang kebijakan pemerintah.
Suatu malam di 15 Desember 1957, ia dibohongi bahwa ada seorang kerabatnya yang sangat membutuhkan Sakramen Orang Sakit karena sedang menunggu ajalnya. Tanpa banyak berpikir, Pastor János langsung mempersiapkan diri melayani orang sakit. Tetapi, ia tidak menyadari bahwa permintaan itu adalah ancaman bagi dirinya. Ia tahu bila memilih untuk tidak pergi berarti telah melanggar kaul ketaatannya.
Dengan sepeda motor bututnya, putra kedua dari tiga bersaudara ini menyusuri hutan Szombathely. Tetapi di tengah jalan, sedikitnya 10 orang suruhan Rakosi telah menunggunya. Saat itu juga, ia ditahan dan dibunuh di tengah hutan. Ia mati dengan 32 tusukan bertubi-tubi mendarat di tubuh kurusnya. Tidak ada yang melihat kejadian itu. Keesokannya beberapa petani menemukan mayat Pastor János yang tak bernyawa dengan tangan kanan tetap memegang hosti sementara tangan kiri memegang piala.
Pihak berwenang mencoba mencari tahu alasan kematiannya, tetapi hingga dikuburkan di Gereja Salesian Saint Quirinus, Hongaria, tidak ada titik terang. Kasusnya dianggap selesai. Bagi masyarakat Szombathely, kematian Pastor “Tarsisius dari Hongaria” ini karena kedengkian rezim komunis. Di atas makamnya tertulis, “Segala sesuatu yang kita kerjakan hanya untuk kebaikan Tuhan”.
Katolik Taat
Perjuangan János terhadap ketidakadilan sudah ditunjukan sejak kecil khususnya sejak menempuh pendidikan di Sekolah Menengah yang dikelola para imam Cistercian di Pécs (1941- 1946). Saat itu, János kerapkali membantu kakaknya Jozef untuk membagikan makan kepada orang miskin. Ia bahkan berniat untuk mengabdikan hidupnya kepada keutuhan hidup banyak orang khususnya yang terlantar.
Cita-cita menjadi bagian dari orang-orang terlantar membawanya sampai pada keputusan ingin menjadi imam. Baginya “memecahkan dan membagikan” dirinya seperti kurban Kristus di altar adalah jawaban atas penderitaan banyak orang. Ia lalu bergabung dengan Ordo Cisctercian (O.Cist)-sebuah ordo yang ketat menjalankan peraturan mati raga dan kesunyian.
János masuk novisiat Cistercian di Pécs tahun 1950. Dalam masa pembinaannya, ia merasakan perjuangan Gereja Katolik yang hidup di bawah tekanan komunis. Beberapa bulan dalam biara, János dan teman-temannya harus diungsikan ke aparteman oleh Kepala Biara Pastor Lawrence Sigmond O.Cist. Dalam apartemen itu, formasi calon imam dijalani oleh János dan kolegianya. “Tidak ada sukacita yang lebih besar selain hidup manusia dimusnahkan dalam Kristus dan membenamkan diri dalam dunia yang penuh dosa,” tulisnya kala itu.
Dari apartemen itu, János dipindahkan ke Budapest kemudian menjalani formasi di Györ, Hongaria. Ia ditahbiskan sebagai pastor di Katedral Szombathely oleh Mgr Sándor Kovács (1893-1972) pada 19 Juni 1955 dengan moto tahbisan dari Roma 8:28.
Setelah ditahbiskan, Mgr Kovács mengirimnya untuk melayani umat di pinggiran kota Szombathely, yang saat itu sedang mengalami penderitaan karena rezim komunis. Beberapa bulan bertugas, Mgr Kovács memintanya kembali demi menyelamatkan dirinya. Pastor János dibunuh karena dianggap terlalu mengkritik rezim komunis.
Proses beatifikasinya dibuka oleh Paus Yohanes Paulus II (1920-2005) pada 14 Februari 2001. Proses penyelidikan di Keuskupan Szombathely dibuka pada 3 Oktober 1999. Paus Fransiskus menyetujui proses beatifikasinya. Ia dibeatifikasi pada 1 Mei 2018 di Kota Szombathely oleh Kardinal Angelo Amato SDB.
Yusti H. Wuarmanuk