Pelayan Sebenar-benarnya

278
Pastor Bonifacio (duduk) bersama beberapa Orang Muda Katolik (OMK) di Tugu Perbatasan Indonesia.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Berkarya di Mansalong mengingatkan kembali bahwa panggilan sejati seorang imam adalah sebagai seorang pelayan.

Hutan yang membentang di Kalimantan Utara seakan tiada ujung. Hamparan hijau membentang dihiasi burung-burung tropis yang hinggap di dahan pohon. Namun, keindahan itu menyembunyikan medan yang sulit, terutama bagi para imam yang berkarya di Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong, Nunukan, Kalimantan Utara.

Paroki ini tercatat sebagai paroki paling utara di Keuskupan Tanjung Selor. Pusat paroki terletak di Mansalong. Soal medan, jangan ditanya, untuk mencapai stasi-stasi terdalam para imam dan pelayan pastoral harus melewati jalan darat, air, dan udara yang sudah pasti berat.

Dari Pelabuhan Tengkayu Tarakan, untuk sampai ke Mansalong dapat ditempuh dengan kapal cepat hingga tiba ke pelabuhan Malinau. Dari Malinau perjalanan dapat dilanjutkan dengan transportasi darat selama satu jam hingga sampai di Paroki Mansalong. Ada 35 stasi yang berada di bawah pastoral paroki ini. Stasi-stasi ini umumnya dapat dijangkau dengan jalur air dengan ketinting atau kapal tempel. Selebihnya dengan jalan darat.

Pastoral Dayak Agabag
Umat Paroki Mansalong kebanyakan berlatar belakang Suku Dayak Agabag. Suku Dayak Agabag sendiri memiliki nama asli sebagai Dayak Tingalan yang berarti ‘tertinggal’. Generasi selanjutnya menyadari penggunaan sebutan Dayak Tinggalan ini mengandung pengertian ‘yang tidak diharapkan’. Maka, generasi masa kini lebih memilih menyebut diri mereka sebagai suku Dayak Agabag.

Sekilas bersinggungan dengan Suku Dayak Agabag, kesan masyarakat yang tertutup dan pemalu akan segera tertangkap dibandingakan dengan suku Dayak lainnya. Namun, kesan ini seakan menunjukkan kesederhanaan mereka. Dalam kenyataannya, mereka hidup dalam ikatan kekeluargaan yang kuat.

Berdasarkan letak geografis, letak stasi-stasi Paroki Mansalong tersebar di sepanjang Sungai Sembakung dan Sungai Lumbis. Sungai Sembakung ini berhulu di wilayah Malaysia sedangkan muaranya berada di Kecamatan Sembakung, Nunukan. Meski berada di tengah lebat hutan Kalimantan, bukan berarti mereka bebas sama sekali dari geliat modernitas. Nilai-nilai luhur budaya dan kearifan lokal mereka pun ikut tergerus.

Ketika Pastor Dionesius Adi Tejo Saputra pertama kali melangkahkan kaki ke Mansalong pada awal tahun 2014, ia sama sekali tidak memiliki bayangan akan kondisi alam dan umat yang akan dilayaninya. Sebagai tenaga yang diperbantukan dari Keuskupan Bogor untuk Paroki Mansalong, ia mulai kerasulannya benar-benar hanya berbekal iman Katoliknya. “Saya benar-benar buta dengan kondisi disana tapi saya jalani saja,” ungkap Pastor Dion, panggilan akrabnya.

Kendati menujukkan perkembangan yang signifikan, Pastor Dion menilai pastoral di Mansalong mendapatkan tantangan yang tidak sedikit. Pada masa awal ia bertugas, hanya sedikit imam yang berkarya di wilayah ini. Jumlahnya tidak sebanding dengan luas wilayah paroki.

Langkah pertama, Pastor Dion berusaha mencermati karakteristik umat. Tak berapa lama, ada satu fakta menarik yang ia temukan. Ia mendapati, banyak umat merupakan pindahan dari Gereja Protestan. Perpindahan yang dialami ini bukan semata karena pengalaman iman, tetapi lebih karena unsur sosial ekonomi. “Berbicara tentang umat Katolik Dayak mereka masih baru,” tuturnya .

Pastor Dion melanjutkan, perpindahan ini berlatar alasan yang sederhana. Misalnya saja, di Gereja yang lama, mereka dituntut oleh banyak kewajiban. Umat yang mayoritas keluarga sederhana akhirnya memiliki keengganan saat tuntutan itu menyangkut hal-hal finansial. Karakter Gereja Protestan ternyata lebih otonom, di mana umat dituntut mampu memenuhi kebutuhan dana bagi kehidupan Gereja dan juga para pelayannya. “Salah satu tuntutannya adalah persepuluhan dan tuntutan pembiayaan untuk pendeta. Dengan tutuntan yang demikian, mereka harus memikirkan jumlah keluarga satu desa. Jumlah ini sangat sedikit sehingga mereka merasa tak sanggup,” ujar Kepala Paroki Mansalong ini.

Perkembangan Awal
Akibat tuntutan yang kian berat maka pada tahun 2004, stasi paling ujung, Tau Lumbis memutuskan untuk bergabung dengan Gereja Katolik. Pada mulanya wilayah Tau Lumbis terdapat 10 desa yang semua masyarakatnya bergabung dengan Gereja Protestan.

Perpindahan umat ke dalam iman Katolik dimulai dengan masuknya tiga desa. Desa-desa ini mengundang pastor untuk datang ke tempat mereka. Umat di sana menulis surat yang menyatakan bahwa mereka pindah bukan karena paksaan, melainkan keinginan pribadi. Setelahnya, persiapan baptis dan pembaptisan pun dilakukan.

Masyarakat ketika itu melihat, bahwa para imam Katolik yang bermisi, yang berasal dari Tarekat Oblat Maria Imakulata (OMI) terlihat lebih banyak membantu. Para imam yang berasal dari Eropa selalu berusaha membantu umat dalam banyak hal. Namun, kebiasaan ini juga membuat umat selalu meminjam (baca: meminta) dari para pastornya. Ini membuat mental mereka tidak mandiri. “Alasannya sederhana, mereka melihat pastor Katolik, para pastor bule dari OMI, lebih banyak membantu dan memberi daripada meminta,” ujar Pastor Dion.

Pastor Dion menyampaikan, tugas di Mansalong turut memurnikan kembali panggilannya sebagai seorang imam. Ia belajar sebuah prinsip melayani tidak untuk dihormati. Sebagai seorang imam, ia adalah seorang pelayan dan bukan pemimpin yang harus dihormati. “Tugas ini mengingatkan kembali bahwa saya adalah seorang pelayan.”

Sedangkan, Pastor Rekan Paroki Mansalong Saverius Pery terkesan dengan keramahan masyarakat Suku Dayak Agabag saat menyambut seorang tamu. Pada saat ini seluruh keperluan makanan dan minuman ditanggung bersama. “Mereka itu seperti dalam pepatah, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Saya bisa melihat semangat jemaat perdana disini.”

Secara umum, kesadaran umat Paroki Mansalong masih amat kurang. Pastor Rekan Paroki Mansalong, Bonifacius van Dau bercerita, sewaktu pertama kali datang di bulan Februari 2018 ke Mansalong, ia mengalami tekanan batin yang luar biasa. Ia harus melakukan segala sesuatu sendiri, mulai dari membersihkan gereja, menyiapkan peralatan Misa, menyiapkan lagu Misa, bahkan mencuci jubah.

Pastor Bonifacius bercerita, saat itu ia hampir menyerah. Ia bahkan sempat ingin pulang saja ke Keuskupan Bogor, tempat asalnya. Dalam sebuah percakapan via telepon dengan seorang teman di Bogor, ia mendapat anjuran untuk pulang ke Bogor. “Ya sudah pulang saja,” begitu Pastor Bonifacius menirukan sahabatnya.

Namun, Pastor Bonifacius memilih bertahan. Kalau ia pulang, itu berarti ia telah kalah dalam peperangan. Ia sadar dengan keterbatasan ia dilatih menjadi imam Kristus. “Dengan keterbatasan ini saya diminta melepaskan semua kenyamanan. Saya tidak mau kalah perang.”

Felicia Permata Hanggu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini