HIDUPKATOLIK.com – SAAT Jepang menancapkan kuku kekuasaan di Indonesia (1942-1945), misi Gereja Katolik mengalami krisis berat. Banyak tenaga pastoral diinternir. Praktis, pelayanan sakramen untuk umat nyaris tak berdenyut.
Demikian ungkap Pastor Simon Petrus L. Tjahjadi di aula Paroki Regina Caeli Pantai Indah Kapuk, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu, 22/8. Laporan yang disampaikan oleh imam Keuskupan Agung Jakarta itu berdasarkan hasil risetnya selama sekitar tiga tahun di Indonesia dan Jepang.
Hasil penelitian itu juga diperkaya dengan arsip dari sejumlah keuskupan. “Mgr Aerts dan delapan imam serta empat bruder Tarekat Hati Kudus (MSC) di Langgur, Kepulauan Kei, dituduh berkolaborasi dengan tentara Australia. Tanpa pembuktian dan pengadilan formal, mereka dieksekusi,” kata Pastor Simon.
Banyak gereja dan sekolah Katolik, lanjut Pastor Simon, juga dibekukan dan dialih-fungsikan karena dianggap “meracuni” anak-anak dengan pendidikan Barat. Namun, karya misi di bidang sosial dan medis tetap dibiarkan. Di balik kesuraman dan kepiluan, ada inspirasi yang bisa dipetik.
Dalam kepemimpinan internal Gereja, indonesianisasi Gereja Katolik bergerak semakin progresif di kalangan klerus. Tahbisan imam-imam pribumi di Jawa dan Flores dipercepat. “Tanggung jawab, rasa ikut memiliki, partisipasi aktif dan daya merasul kaum awam pun ikut menguat dan merata di seluruh Nusantara.
Dari Vikariat Medan hingga Vikariat Langgur-Papua, umat bahu-membahu menjadi gembala bagi sesamanya pada masa susah. Kiranya tak berlebihan jika Gereja zaman pendudukan Jepang disebut sebagai Gereja awam,” ungkapnya.
Namun, Pastor Simon menekankan, Gereja bertahan bukan karena kehadiran Jepang, tapi karena Kristus senantiasa menyertai Gereja-Nya sampai akhir zaman, meski saat itu mengalami represi hebat.
Hermina Wulohering