Beda antara Patuh dan Mengikuti Keinginan

648

HIDUPKATOLIK.com – Hallo Bu Nilam, mohon penjelasan Ibu, apa perbedaan taat dan patuh kepada perintah orangtua dan mengikuti keinginan orang tua?

Intan Nuraini, Jakarta

Hallo juga Mba Intan Nuraini, terima kasih untuk pertanyaanmu. Perkembangan dan pertumbuhan sikap serta perilaku anak pada lima tahun pertama sangat penting bagi fisik, emosi, dan sosial. Salah satunya indikator anak mengalami perkembangan optimal adalah berhasil melakukan tugas perkembangan.

Havighurst (1953) menguraikan tugas perkembangan pada anak kelompok umur 0-6 tahun berbeda dengan kelompok 6-12 tahun. Tugas kelompok 6-12 menjadi lebih kompleks yaitu mengembangkan nurani, moralitas, dan skala nilai serta memperoleh kebebasan pribadi di antara serangkaian tugas lain.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, patuh dan taat adalah suka menurut pada perintah atau suatu aturan. Perlu saya uraikan mengenai kepatuhan dan ketaatan mengikuti konsep moral untuk menjawab pertanyaanmu. Saat lahir anak tak membawa aspek moral.

Tahap perkembangan moral dijelaskan secara baik oleh Kohlberg, meliputi tingkat satu (pra-konvensional), cirinya harus patuh agar tidak dihukum serta faktor pribadi yang relatif dan prinsip kesenangan. Tingkat dua (konvensional) agar menjadi anak yang baik, perbuatannya harus diterima masyarakat serta menyadari kewajibannya untuk ikut melaksanakan norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya keberadaan norma-norma.

Tingkat tiga (post-konvensional) perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial, berbuat baik agar diperlakukan baik serta berkembangnya norma etik (kata hati) untuk menentukan perbuatan moral dengan prinsip universal. Maka, semakin tinggi tahap perkembangan moral, semakin terlihat perbuatan-perbuatan moral yang lebih mantap dan bertanggungjawab. Agar mencapai ini anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif misal mendengarkan pesan orang dewasa soal perilaku bermoral.

Apakah seorang anak harus taat dan patuh kepada perintah orangtua tiap saat? Pada perkembangan anak terjadi kesatuan tingkah laku yang timbal balik, artinya berada dalam interaksi sosial. Perkembangan yang baik ditandai dengan berkurangnya sikap “autism” (menyendiri atau menutup diri) gerak-gerik atau perbuatan yang terpusat untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sebaliknya hubungan sosial timbal balik menjadi meningkat.

Jika semula identifikasi pada tokoh ibu sangat berperan memperkenalkan anak pada lingkungan, maka seiring perkembangannya, ketergantungan secara emosional mulai dilepaskan. Pada tahap anak memasuki sekolah, ketergantungan tidak terbatas lagi pada orangtua, namun menjadi lebih luas misalnya kepada guru.

Lambat laun, pola-pola semakin berubah menjadi lebih realistis sesuai dengan tuntutan teman sebaya dan pengaruh dunia global saat ini, di mana pengaruh informasi dan teknologi sangat dekat dengan kehidupan anak sehari-hari. Pola positif akan diteruskan dan pola-pola negatif, setelah disesuaikan dengan lingkungan akan dihilangkan.

Ketika pola negatif tak menghilang, bakal menetap sebagai kepribadian anak setelah dewasa. Kemampuan anak untuk menguasai dan mengatur kebebasan seharusnya seimbang dengan keinginan akan kebebasan. Kalau dia bisa mengatur dirinya sendiri, dia juga akan bisa mengatur pengaruh teman lain terhadapnya. Lingkungan hidup menjadi jelas bagi anak di mana kebebasan untuk berlaku semaunya menjadi sangat berkurang.

Ketaatan dan kepatuhan menjadi lebih luas dalam identifikasinya, bukan semata-mata bersumber dari orangtua, tapi juga dari lingkungan, guru, tetangga, norma-norma lingkungan sosial.

Apakah seorang anak yang tak mengikuti keinginan orangtua dianggap bersalah? Suatu saat kita pernah menginginkan agar anak mengikuti pilihan kita, misal memilih sekolah, pasangan hidup atau tempat tinggal. Perlu dipahami, ketika orangtua menuntut anak mengikuti keinginannya, dia menjadi sangat tergantung sebab merasa tak aman di lingkungan lain.

Anak sebagai individu dengan entitas utuh perlu senantiasa dikembangkan sebagai individu modern yang mampu menentukan moral sendiri untuk melakukan perbuatan yang bertanggungjawab. Marilah kita, para orang tua, berperan untuk mendampingi anak untuk mengambil keputusan yang bertanggung jawab terhadap sesama dan kepada Tuhan.

Anastasia Ursila Nilamsari M.Si Psi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini