Benedictus Soedibyo : Lebih dari Empat Dasawarsa

477
Mahasiswa ATMI menyalami Mbah Dib.
[HIDUP/Yanuari Marwanto]

HIDUPKATOLIK.com – Dia berkarya lebih dari empat dasawarsa di Politeknik ATMI Surakarta. Alumni dan para mahasiswa memanggilnya, Mbah Dib, the legend.

Tangan Benedictus Soedibyo tak berhenti bergerak. Padahal, dia tak sedang beraktivitas dengan salah satu organ tubuhnya itu. Mbah Dib, demikian mahasiswa dan alumni Politeknik ATMI Surakarta memanggilnya, mengakui bahwa dirinya terkena tremor. “Saya mengalami ini sejak SMP. Waktu muda dulu belum terlalu terasa seperti sekarang.
Itu perjuangan saya yang paling berat”, ungkapnya, kala ditemui di ATMI Surakarta, Jawa Tengah, Januari lalu.

Kendati mengalami gangguan itu, Mbah Dib tak pernah mengeluh atau meratapi kondisi fisiknya. Dia menerima lapang dada. Sikap penerimaan itulah yang membuatnya bersahabat dengan penyakit tersebut. Lantaran hal itu, banyak yang tak menyangka, meski tremor merundung, Mbah Dib mampu mengukir prestasi di angkatannya.

Dari 25 mahasiswa, Dibyo meraih nilai tertinggi kedua dalam mengikir. Praktik tersebut merupakan keterampilan dasar dan wajib bagi mahasiswa ATMI. Mengikir itu tak mudah, butuh presisi. Bila salah mengikir, produk takkan terpakai. Dengan tingkat kesulitan tersebut, serta kondisi fisik yang tak sempurna dibandingkan para koleganya, Dibyo mampu mengatasi keterbatasannya. Tak hanya itu, ATMI juga memberikan beasiswa kepadanya untuk mencicipi pendidikan di Swiss.

Manfaat Menabung
Dibyo merupakan anak kedua dari sepuluh bersaudara. Sang ayah berprofesi sebagai guru. Menurut Dibyo, ayahnya juga mengurus koperasi. Pekerjaan itu dia lakoni agar sanggup menopang kehidupan keluarga serta pendidikan anak-anaknya. “Bapak punya program, anak-anaknya minimal mengenyam pendidikan hingga Diploma tiga”, kenang pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 21 Desember 1952 ini.

Soal mengatur finansial, ada satu teladan baik Sang Ayah yang amat menginspirasi Dibyo. Kelak hal serupa juga dia temukan dalam rupa guru, pemimpin, sekaligus rekan kerjanya di ATMI yakni Romo Johann Balthasar Casutt SJ (1926-2012). Baik ayah maupun Romo Cassut rajin menabung.

Kebiasaan itu yang terus dihidupi oleh mantan Pembantu Direktur Bidang Akademik ATMI Surakarta sejak menikah hingga berkarya untuk kedua kali di almamaternya. Mbah Dib sempat purnakarya tahun 2009. Tapi, lantaran ATMI membutuhkan kemampuan dan keterampilannya, penyuka teka-teki silang dan sudoku ini kembali digandeng menjadi pengurus yayasan dan dosen mata kuliah Mekanika Dinamika.

Dibyo sungguh merasakan manfaat menabung. Cicilan rumah dan tanah bisa lebih cepat dia tutup dari tenggat waktu. Dari semua keutungan, satu peristiwa yang amat membekas dan membuat mantan Direktur HRD ATMI Surakarta terharu sekaligus bangga adalah menyekolahkan kedua putranya berkat hasil tabungannya bersama istri.

Dosen paling senior di ATMI itu tak pelak selalu menasehati anak-anaknya untuk menabung sejak dini. “Kepada mereka (anak-anak) saya selalu mengatakan, prinsip mengatur keuangan itu, yakni sepertiga pendapatan untuk mencicil rumah, sepertiga untuk kebutuhan hidup dan pendidikan, sepertiga lain khusus untuk ditabung”, beber Dibyo.

Tradisi menabung itu pula yang membuat Dibyo tak kuatir menikmati masa senja bersama istri tercinta, Theresia Suhartiti. “Bekal” yang mereka bawa untuk melintasi lorong waktu yang tersisa dirasa cukup. Kedua anaknya telah “menetas” dan mengikuti jejak sang ayah sebagai pendidik. “Semua sudah cukup. Saya tak lagi punya banyak kebutuhan”, ujarnya.

Jadi PNS
Sebuah tawaran datang kepada Dibyo menjelang purnakaryanya. Sebuah universitas swasta di Jakarta menawarkan jabatan prestisius sekaligus gaji dengan nilai fantastis kepadanya. Tapi, umat Paroki St Paulus Kleca, Kesukupan Agung Semarang itu tak silau dengan materi.

Mbah Dib ingin menikmati masa tuanya dengan tenang di Solo, sembari tetap berkontribusi kepada sesama. Bila datang ke Jakarta, dia harus beradaptasi dengan situasi yang amat sekali baru, terutama menghadapi macet, banjir, dan bising. Meskipun dia sadar, melepaskan kesempatan bekerja di Jakarta berarti menanggalkan peluang duduk di kursi salah satu pimpinan plus gaji nan aduhai.

Mantan Ketua Wilayah St Yakobus sekaligus prodiakon itu bergeming. Dia mantap dengan keputusannya untuk terus berada dan berkarya di Politeknik ATMI Surakarta. ATMI, kata Mbah Dib, adalah pelabuhan terakhir hidupnya. “Hati saya sudah tertambat di sini. Sampai kapan? Yayasan yang memutuskan nanti,” ujarnya.

Saking paling lama berkarya di ATMI, serta banyak buku yang dia hasilkan, alumni dan para mahasiswa memberikan gelar non formal di belakang namanya; Mbah Dib, the legend. Kesibukan Mba Dib selepas pensiun sudah jauh berkurang. Dalam sepekan, dia hanya mengajar delapan jam. “Mengajar itu hiburan. Saya bisa bercanda dengan para mahasiswa,” ungkapnya seraya tersenyum hingga terlihat giginya yang tak lagi lengkap.

Sejak purnakarya, Mbah Dib juga kian rutin jalan pagi. Dia juga menjadi PNS sejak tak lagi bekerja sepenuh waktu di ATMI. PNS bukan singkatan Pegawai Negeri Sipil, tapi paguyuban nuntun segawon (kelompok penuntun anjing), kelakar Mbah Dib. Aktivitas itu berlangsung setiap pagi berbarengan dengan jalan pagi.

Mbah Dib mengakui, selama hampir setengah abad di ATMI, ada nilai yang berusaha dihidupi dan dirawat olehnya, yakni kesetiaan. Katanya, bila orang setia kepada jabatan maka tak ada korupsi. Jika tiap pasangan merawat kesetiaan takkan terjadi perselingkuhan. Nilai kesetiaan itulah yang selalu ditanamkan kepada para mahasiswanya.

Sebelum kegaitan belajar-mengajar berlangsung, Mbah Dib mengajak seluruh isi kelas, termasuk dirinya, untuk membuat komitmen. Satu di antaranya adalah mematikan mode dering telepon genggam. Tujuannya agar tak menggangu mahasiswa lain. Bila ada yang melanggar, tak segan dia mengeluarkan mahasiswa dari kelas. “Kita belajar kesetiaan dari hal-hal kecil,” terang katekis paroki ini.

Dua Benda
Menjadi tua adalah keniscayaan. Mbah Dib mengamini hal itu. Selain itu, raganya pun tak lagi sebugar dulu. Namun, semangatnya tak pernah padam. Mbah Dib ingin mengabdikan sisa waktu hidupnya untuk berbuat suatu bagi orang lain. “Kalau besok saya ‘pulang’, apakah saya bisa mempertanggungjawabkan talenta yang Tuhan berikan kepada saya,” tanyanya, retoris.

Pada hari yang semakin beranjak senja, Mbah Dib tetap setia menjalankan rutinitas serta aneka tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Di setiap litani kehidupannya itu, hampir tak pernah dia meninggalkan dua benda yang berada dalam kantong celana dan dompetnya, yaitu Rosario sebagai sarananya berdoa kepada Tuhan serta sekeping uang logam Swiss keluaran tahun 1968. Pada tahun itu ATMI Surakarta berdiri.

Dua benda itu amat berharga bagi Mbah Dib. Rosario merupakan pemberian rektor saat dia berada di SMP Seminari Mertoyudan. Sementara koin, dia dapat kala kuliah di Swiss sekitar tahun 1978. Dua barang tersebut seakan menjadi representasi cinta dan setianya kepada iman Katolik serta almamater sekaligus ladang karyanya.

Yanuari Marwanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini