“Menara” Bisnis Penguasa Dolar

151
Protes masyarakat Papua terkait kelapa sawit.
[David Maturbongs]

HIDUPKATOLIK.com – De facto, “sawitisasi” hutan Indonesia terus meningkat. Pemerintah diminta bersikap tegas terhadap investor yang hanya menggaruk keuntungan dan mengabaikan lingkungan.

Selama puluhan tahun, industri sawit di Indonesia berkembang pesat dengan pusat utama di Sumatera dan Kalimantan. Kebanyakan kawasan hutan di Indonesia Barat itu, kini telah berdandan bagi industri sawit. Namun, di daerah ini luas perkebunan sawit telah sampai pada batasnya. Investor saat ini mulai mengincarlahan di Indonesia Timur. Daerah yang sebagian “kering kerontang” pun disikat investor.

Sampai tahun 2005, di Papua hanya ada tujuh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kini di sana ada sedikitnya 41 perusahaan sawit yang beroperasi. Luasan perkebunan ini akan bertambah, sebab puluhan perusahaan lain juga sudah mengantongi izin lokasi.

Perkembangan industri sawit yang cepat ini membawa dampak buruk untuk masyarakat adat Papua. Masyarakat adat dirugikan karena tanah ulayat sudah berubah. Tanah menjadi rusak dan diubah menjadi perkebunan. Tanaman-tanaman asli pelan-pelan berkurang, diganti dengan sawit.

Hegomoni Sawit
Dalam buku berjudul Atlas Sawit Papua, lembaga peneliti PUSAKA bekerjasama dengan Lembaga Awas MIFEE, Sawit Watch, Jerat Papua, serta Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP KAM), dan beberapa lembaga lainnya menyebutkan grup perusahaan kelapa sawit di Papua dimiliki pengusaha- pengusaha kaya Indonesia versi Majalah Forbes (2014). Lebih dari satu anak perusahaan dengan luas tanah sebesar 163 ribu hektar dimiliki perusahaan-perusahaan tersebut.

Pastor Anselmus Amo MSC selaku Direktur SKP Keuskupan Agung Merauke mengatakan, hampir semua wilayah di Papua sudah terkontaminasi dengan perkebunan sawit. Perusahaan Modal Asing (PMA) asal Korea Selatan, Malaysia, HongKong, Sri Lanka, dan Yaman tak hentinya beroperasi di hampir seantero Papua. Mereka tidak saja mengusahakan perkebunan sawit tetapi juga pembalakan kayu, seperti di Kabupaten Boven Digoel dan Nabire. Di Sorong, khususnya Kabupaten Maybrat, lanjut Pastor Amo, beberapa perusahaan telah beroperasi. Banyak perusahaan “cari muka” dengan mendekati masyarakat adat, tetapi ujungnya, hutan-hutan di kabupaten ini diubah menjadi industri sawit skala besar. Di Sorong pula, dua perusahaan sawit sudah membabat hutan sementara beberapa perusahaan dalam proses pengoperasian. Bahkan dua perusahaan ini “disegani” dan terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia. Perusahaan yang sama juga tergabung dalam Perusahaan Modal Asing (PMA)

Pastor Amo ingat pada sebuah ungkapan di Papua, “di bawah tanah ada minyak dan gas bumi, di atas pohon ada minyak sawit, tetapi bukan milik kita”. Masyarakat Teluk Bintuni misalnya, dampak perkebunan sawit sudah terlihat. Saat tahun 1996 sawit masuknya di Teluk Bintuni, pada saat itu langsung dibuka tiga blok perkebunan masing-masing seluas 6.460 hektar, 5.510 hektar, dan 5.300 hektar.

Perusahaan ini berhasil mendapat surat yang ditandatangani oleh tujuh ketua marga, berisi penyerahan hak atas tanah yang luasnya berkisar antara 15.000 dan 40.000 hektar. Miris, surat itu mereka dapat hanya dengan ganti rugi 10 juta. Surat ini diragukan keabsahannya dan ditengarai kental penipuan. Setelah diselidiki, ternyata beberapa ketua marga yang dimaksud, sudah berusia lanjut dengan penglihatan yang rabun atau bahkan buta huruf. Maka, mustahil memahami isi surat itu. Selain itu, terdapat keraguan bahwa para ketua marga ini adalah pemegang hak ulayat sesungguhnya.

Pastor Amo bercerita dalam penelitian tahun 2009, perusahaan yang sama memakai cara picik. Perusahaan memberikan uang ganti rugi sebesar 100 juta atas tanah seluas 3.300 hektar. Ini berarti, harga setiap satu hektar hanya Rp 30.000. Tidak hanya itu, perusahaan ini melarang mereka menuntut kembali tanah mereka hingga generasi cucu mereka nanti. “Tetapi masyarakat tak mau dibodohi lagi. Masyarakat adat di sekitar Tofoi, Teluk Bintuni tanpa kenal lelah menuntut kompensasi layak atas kerugian yang harus mereka tanggung, meliputi kayu yang dikuasai juga tempat keramat yang dihancurkan. Mereka juga menuntut atas hilangnya satwa liar khas yang hilang dari wilayah ini, serta intimidasi yang kerap dilakukan oleh aparat terhadap warga.”

Y.L Franky tim peneliti dari PUSAKA mengatakan, di Manokwari umumnya merupakan daerah pegunungan dengan tingkat kemiringan curam, namun di kaki pegunungan sisi barat kota, terbentang tanah datar memanjang sejauh 100 kilometer. Persis di dataran rendah inilah terdapat dua perkebunan kelapa sawit yang sudah beroperasi. Awalnya, pembukaan lahan sawit ini sebagai fasilitas para transmigran yang datang dari wilayah lain seperti Pulau Jawa, Bali, dan Timor Barat. Akibatnya, banyak lahan transmigrasi di daerah ini merupakan program lahan plasma.

Kini Hak Guna Usaha (HGU) di wilayah ini sudah kadaluarsa. PT Perkebunan Nusantara II justru melelang aset kebun kelapa sawit yang sudah memiliki HGU seluas 3.000 hektar dan satu pabrik minyak kelapa sawit senilai 85 miliar kepada sebuah perusahaan asal Cina dengan harga 87,3 miliar. “Proses lelangnya terbilang ganjil, tidak sesuai prosedur dan nilai penjualannya masih dibawah perhitungan yang seharusnya sebesar Rp. 114 miliar,” ujar Franky.

Surga Sawit
Realitas sawit Papua juga tak kalah heboh di daerah lain. Terkait kelapa sawit, Kalimantan dijuluki, “surga kedua” dan “neraka pertama” hutan alam indonesia. Meskipun luas perkebunan kelapa sawit di Sumatera dua kali lipat dari Kalimantan, namun potensi terbesar terjadinya perluasan lahan justru ada di Kalimantan. Dari data Statistik Perkebunan Indonesia (2013-2015) yang dijelaskan dalam Forest Watch Indonesia (FWI) total area sawit di Kalimantan berkisar 3.471.843 hektar dengan laju pertumbuhan 4,76 persen dan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dari sisi perizinan, FWI mencatat sampai tahun 2014, Izin Usaha Perkebunan yang diterbitkan sudah mencapai 9,14 juta hektar (bisa bertambah), meskipun baru sekitar 2,78 juta hektar yang telah mengantongi HGU. Data dari World Resources Institute (WRI) menyebutkan sektor kehutanan Indonesia menjadi penyumbang emisi korban terbesar yang dilepaskan sebagai akibat deforestasi dan degradasi hutan.

Tahun 2011 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden No. 61/2011 mengenai Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca 2010-2020. Kemudian juga Indonesia meratifikasi Paris Agreement dengan Undang-undang No. 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Terkait peraturan ini, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi dengan kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030. Usaha ini dilakukan melalui sektor kehutanan dan pertanian.

Tapi nyatanya sejarah kehutanan Indonesia tak lain adalah sejarah deforestasi. Periode 1970-an Food and Agriculture Organization (FAO) mengatakan laju deforestasi di Indonesia mencapai 300 ribu hektar per tahun. Kemudian periode 1990-an laju deforestasi meningkat menjadi satu juta hektar per tahun. Analisis FWI tahun 2001 memperlihatkan, bahwa laju deforestasi terus meningkat, menjadi dua juta hektar per tahun periode 1996-2000. Selanjutnya menjadi 1,5 juta hektar per tahun periode 2001-2010 dan periode 2009-2013 lajunya sebesar 1,1 juta hektar.

Realitas bisnis sawit ini diperparah dengan sejumlah kasus seperti di Kalimantan dan Sumatera. Sawit yang pertama kali diperkenalkan pemerintah Hindia Belanda tahun 1848 akhir-akhir ini sangat market oriented. Sawit menjadi komoditas primadona bagi sejuta investor untuk datang ke Indonesia. Dengan potensi kondisi ekologi yang mendukung, Kalimantan dan Sumatera menjadi sasaran strategis bagi pemerintah. Melonjaknya harga minyak bumi, kelapa sawit diharapkan dapat menjadi sumber energi alternative yang terbarukan.

Berkaca dari sejarah, krisis ekonomi nasional tahun 1998 lalu memberi andil bagi pertumbuhan sawit. Pasalnya, krisis ekonomi nasional juga diikuti dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika. Hal ini menjadikan ekonomi nasional kian terpuruk. Setahun berikutnya, (1999-2000), pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika telah menguatkan usaha perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan minyak sawit mentah (CPO) untuk pasar global.

Perbaiki Produktivitas
Kendati persoalan sawit di Kalimantan dan Sumatera tidak dapat dilihat dari satu sisi saja. Persoalan ini umumnya laksana dua sisi mata uang. Pro dan kotra dari berbagai kalangan sering menimbulkan konflik dalam skala besar. Ketua Umum Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono mengungkapkan, permasalahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terjadi karena kesalahan sistem yang tidak tepat. Ia memberi contoh, perusahaan membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya, namun sering melakukan pemecatan dalam skala besar. Tidak saja itu, penyebab utama kerusakan hutan juga menjadi hal yang terus dipermasalahkan. Sengketa lahan, isu emisi karbon, alih fungsi hutan, serta soal korupsi juga dilakukan beberapa perusahaan besar dalam mengatur keuangan mereka.

Supriyono memaparkan, realitas industri sawit di tanah air masih dihadapkan pada tiga masalah utama: rendahnya produktivitas tanaman, tingginya biaya produksi serta sejumlah kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang kontraproduktif. Joko mengakui, salah satu pemicu tingginya biaya produksi di Indonesia yakni munculnya biaya keamanan, biaya sosial yang sulit dihilangkan. Pemerintah sudah melakukan deregulasi tetapi investasi masih lamban.

Menurut Joko, para investor perlu bermitra dengan pemerintah terutama dalam penyusunan kebijakan atau regulasi sehingga nantinya tidak merugikan industri sawit dalam negeri. “Ini adalah peluang bagi sawit Indonesia agar menciptakan pertumbuhan ekonomi dan menyejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia. Jika tidak terus memperbaiki produktivitas, iklim usaha dan daya saing maka sulit mengambil peluang,” ujar Joko.

Terkait hal ini, Pastor Amo berharap Pemerintah Pusat dan daerah mengadopsi Undang-Undang dan prosedur untuk melindungi, menghormati, dan menjamin hak-hak masyarakat. Dengan kata lain, pemerintah tidak memberikan persetujuan secara bebas tanpa intimidasi, didahulukan dan diinformasikan atas seluruh usulan dan aktivitas pemanfaatan lahan dan tanah adat masyarakat, sebagaimana prinsip-prinsip free, prior, informed consent. “Pemerintah perlu melakukan peninjauan kembali atas berbagai izin dan aktivitas perusahaan perkebunan skala besar yang dilakukan tanpa persetujuan masyarakat,” ujar imam Misionaris Hati Kudus Yesus ini.

Yusti H. Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini