Paroki Maria Ratu Para Rasul Pamekasan: Beriman Teguh Di tengah Perbedaan

1310
Jalan sehat dalam peringatan ulan tahun ke-70 Paroki Maria Ratu Para Rasul, Pamekasan. [Dok.Paroki Pamekasan]

HIDUPKATOLIK.com Di sini beriman sebagai umat Katolik itu luar biasa!

SUASANA mencekam masih terasa di benak masyarakat Pulau Madura. Orang tinggi berkulit putih berseliweran di jalan-jalan sambil memegang senjata. Saat itu adalah masa perang. Di tengah usaha bangsa Belanda mengaitkan cakarnya di bidang pemerintahan dan perusahaan garam di daerah Kalianget dan Sumenep, mereka juga menjadi pemeluk agama Katolik yang aktif.

Di tengah situasi tegang itulah, Sumenep dipilih menjadi pusat pertama kegiatan para misionaris di Madura. Paroki Pamekasan lahir pada tahun 1948. Paroki ini merupakan pemekaran dari Paroki Sumenep.

Pastor Vissers memulai ladang pewartaan dari Sumenep hingga Bangkalan. Pastor berkebangsaan Belanda ini melayani Madura dan seluruh Jawa Timur seorang diri. Pamekasan pun mendapat kunjungan dua kali sebulan oleh Pastor dibantu para Suster Darah Mulia.

Pada bulan Agustus 1923, Ordo Karmelit mengambil alih daerah Jawa Timur bagian Selatan dan Madura, Sebelum perang kemerdekaan, umat Pamekasan dilayani oleh Paroki Probolinggo lewat kapal karena jalur kereta api Kamal-Kalianget memakan waktu perjalanan lama.

Pada pertengahan 1930-an sampai 1941, Pamekasan dilayani dari Paroki Sumenep oleh Pastor W Ards O.Carm. Luwesnya pelayanan pun dipecahkan dengan kedatangan pasukan Jepang. Dengan cepat tentara Dai Nipon menguasai Madura, membuat semua pelayanan pastoral berkebangsaan Belanda terancam dan terusir dari Madura.

Masa perang menjadi menyedihkan bagi Gereja. Berkat rahmat Tuhan, pada 8 Mei 1948, Pamekasan diresmikan menjadi Paroki dengan nama pelindung “Maria Ratu Para Rasul”. Pastor Q Kramer O.Carm menjadi pastor paroki pertama.

Kini, Paroki Pamekasan telah mencapai usia 70 tahun ditengah geliat perbedaan yang kian kental di kalangan masyarakat. Daerah Madura identik dengan budaya Muslim dan membutuhkan proses panjang untuk melebur bersama budaya itu.

Pastor Paroki Pamekasan, Pastor Franciscus B Deddy Sulistya yang akrab disapa Pastor Deddy berujar, “70 tahun bukan usia yang singkat. Jika berbicara soal iman, bisa bertahan 70 tahun itu luar biasa, tidak sekadar tinggal di Jawa yang toleransinya tinggi. Di sini beriman sebagai orang Katolik itu luar biasa.” Pastor Deddy melanjutkan refleksinya, mengingat perumpamaan di dalam Injil mengenai biji sesawi.

Dari benih yang kecil itu bisa bertumbuh menjadi pohon besar yang menjadi tempat bernaungnya burung-burung di udara. “Benih-benih yang sudah ditanam oleh pendahulu itu tidak sia-sia. Buahnya dapat kita saksikan yang lahir dari pergulatan iman yang kita alami bertempat tinggal di area seperti ini.”

Berdasarakan Data Umat Katolik (DUK), Paroki Pamekasan memiliki umat sebesar 518. Sebagai bentuk ucapan syukur perjalanan panjang Paroki, pengucapan syukur dimulai dengan pemberkatan rumah. Dalam dua bulan hampir 150 rumah sudah dikelilingi oleh para pastor.

Dalam sehari, pastor bisa mengunjungi 15 hingga 20 rumah. Gereja pertama-tama bukan dibangun dengan bata melainkan iman umat, maka hal ini menjadi dasar dimulainya perayaan dengan pemberkatan rumah. Pemberkatan ini sekaligus menjadi pengingat bahwa Gereja tidak berarti tanpa umat beriman.

“Tuhan hadir dalam keluarga. Tuhan memberkati setiap pribadi dan dari situ membentuk sebuah persekutuan yakni Gereja. Tuhan yang hadir dalam keluarga itu memberi berkat dan berkatnya luar biasa yakni Paroki yang berusia 70 tahun,” ucap Pastor Deddy.

Selain itu, diadakan perkumpulan lansia lintas agama. Tujuannya memperkenalkan wajah damai Gereja. “Lansia lintas agama kita undang. Memberi penghiburan, pengharapan bahwa Tuhan masih berkarya dalam diri mereka. Jika tidak ada mereka, tidak ada kita.”

 

Felicia Permata Hanggu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini