Penting, Pedagogi bagi Pendidik

192

HIDUPKATOLIK.com – Kasus kekerasan seksual yang terjadi pada siswa Taman Kanak-Kanak (TK) di Jakarta International School (JIS) telah membuka mata dan hati kita, terutama terhadap persoalan “keamanan anak-anak” saat berada di lingkungan sekolah. Selain kekerasan seksual, kekerasan (bullying) juga bisa dialami anak-anak. Kekerasan fisik, kekerasan psikologis, serta kekerasan verbal bisa dilakukan teman sekelas, guru, atau karyawan.

Dari ulasan para ahli pendidikan anak di berbagai media, kekerasan bisa dalam bentuk yang sangat halus: memelototi anak, mempermalukan di depan umum, menjemur di lapangan, atau berdiri di luar kelas sepanjang jam pelajaran. Lalu apa dampak kekerasan pada anak?

Kekerasan bisa berdampak langsung pada kepribadian anak, misal anak menjadi tidak percaya diri, trauma, dan tidak dapat konsentrasi. Gambaran diri ini disimpan dalam bawah sadar yang sering disebut program mental yang selalu bisa aktif sepanjang hidup. Terkadang gambaran diri negatif ini membuat anak tidak bersemangat belajar, menjadi anak yang destruktif, serta memicu perilaku antisosial. Anak merasa senang bila orang lain menjadi susah. Maka, ada dorongan untuk melawan aturan dan memberontak.

Untuk mencegah terjadi kekerasan, baik fisik, verbal, maupun psikologis ini, para guru perlu menguasai keterampilan mengelola kelas atau manajemen kelas dengan positif. Kekerasan bisa dihindarkan, ketika guru mampu melaksanakan fungsi sebagai pendidik dan pembimbing anak. Robert Mills Gagné (1985) dalam bukunya The Conditions of Learning mengemukakan bahwa pendidik perlu menciptakan kondisi belajar yang efektif bagi anak didiknya.

Bila anak didik mengantuk, bosan, tidak mau belajar, ribut, memberontak, tidak bersemangat, maka kesempatan bagi guru untuk melakukan refleksi. Inilah penerapan paradigma pedagogi reflektif (PPR) yang sekarang sedang digalakkan sekolah-sekolah yang dikelola Serikat Yesus. Kompetensi pedagogi yang perlu dilatih bagi setiap guru adalah kepekaan membaca tanda-tanda keadaan peserta didik. Ketika peserta didik gelisah, merasa bosan, maka guru perlu menciptakan suasana kondisi kelas yang dapat menghilangkan kegelisahan dan kebosanan tersebut.

Dalam sebuah program pendidikan Living Values Educational Program (LVEP) yang sudah diterapkan di 83 negara, para pendidik dilatih untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif, di mana setiap peserta didik menghidupi nilai universal seperti saling menghargai satu sama lain, latihan disiplin, tanggung jawab, toleran, dan menciptakan damai di kelas masing-masing. Inti program ini adalah mengajak setiap siswa berlatih saling menghargai dan memperhatikan kebutuhan teman-teman. Guru harus menjadi role model.

Tentu saja, bila setiap guru selalu memperhatikan dengan penuh kasih setiap anak didik, kasus anak TK di JIS tidak akan terjadi. Sebenarnya, ketika anak kembali dari kamar mandi, guru pasti dapat memperlihatkan dan melihat wajah anak yang takut, gelisah, dan kesakitan. Tapi ternyata guru hanya sibuk memperhatikan lesson plan atau pencapaian target, dan bukan mendidik “pribadi” manusia.

Apa yang bisa kita pelajari dari peristiwa JIS? Bagi pendidik dan pengelola sekolah Katolik perlu membaca ini sebagai tanda-tanda zaman. Perlu meningkatkan kompetensi pedagogi setiap pendidik, yakni kemampuan mengajar dengan hati, sebuah kemampuan melayani dengan tulus penuh kasih.

Evaluasi diri perlu dilakukan terus-menerus. Setiap hari, bersama kepala sekolah perlu melakukan evaluasi. Kita juga perlu membuka mata hati untuk mendengar masukan dari orangtua, ahli, dan selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik. Intinya, menciptakan sebuah suasana pendidikan di mana setiap orang bisa merasakan kasih, aman, dan nyaman. Bukankah ini merupakan ciri-ciri nilai kekatolikan sejati?

Fidelis Waruwu

HIDUP NO.19, 11 Mei 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini