Belajar di Pedalaman Mentawai

430
Elizabeth Juwita sementara mengajar anak-anak di Dusun Atateite, Kabupaten Mentawai. [Dok. Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com Para mahasiswa yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik menjalani praktik di pedalaman Mentawai. Mereka belajar mengalami hidup nyata bersama masyarakat kecil.

MENGINJAK kaki di Kepulauan Mentawai menjadi pengalaman baru bagi Elizabeth Juwita. Dari Kota Padang, Sumatera Barat, Juwita dan 41 temannya yang berasal dari berbagai universitas tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) menyeberangi lautan selama satu jam lebih dan tiba di Desa Katurai, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

Mereka lalu diutus ke lima dusun di desa itu, yakni Dusun Atateitei, Dusun Matobat, Dusun Tiop, Dusun Malilimok, dan Dusun Sarasau. Dusun Atateitei menjadi tujuan pelayanan Juwita dan enam orang temannya dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN) APTIK Peduli Mentawai 2018.

Dusun ini masih minim sarana dan prasarana. Pasokan listrik belum masuk ke daerah itu. Hanya beberapa rumah yang dialiri listrik menggunakan genset, sementara rumah lainnya masih menggunakan penerangan lampu minyak tanah.

Jalanan sebagian dicor semen, sebagian lagi masih jalan tanah. Dusun ini dihuni 56 keluarga dengan jarak rumah satu dengan yang lain cukup jauh. Di sini, masyarakat lebih mengandalkan kaki sebagai sarana transportasi.

Mengikuti Tradisi
Selama sebulan mengabdi, terhitung Senin, 2/7- Minggu 5/8, Juwita tinggal dalam asuhan keluarga barunya. Dia tinggal di rumah keluarga Suku Sabolak. “Masyarakat Dusun Atateitei sangat terbuka.

Bahkan Bapak dan Mamak (di rumah tempat tinggalnya) tidak mau lihat aku susah. Tidak hanya Bapak dan Mamak, saudara-saudara mereka juga sangat menyayangi kami. Kami diterima seperti keluarga sedarah mereka,” tutur mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Katolik Musi Charitas Palembang ini.

Tradisi sesuku masih kental di Desa Atateitei. Masyarakat di sini masih sering berburu. Hasil buruan akan dibagi di rumah adat masing-masing suku. “Temanku keturunan Tionghoa, tapi dia sudah dianggap sesuku dengan keluarga barunya. Maka waktu mereka berbagi buruan, hanya temanku yang boleh datang sementara kami tidak boleh,” kisah Juwita.

Setiap hari, Juwita dan teman-temannya disibukkan dengan berbagai kegiatan. Para peserta KKN APTIK Peduli Mentawai mesti menjalankan lima modul yang ditentukan APTIK, yakni modul pendidikan atau rumah belajar, modul kesehatan ibu dan anak atau posyandu, modul MCK, modul Pamsimas, dan modul ekonomi masyarakat.

Modul pendidikan diselenggarakan di Balai Pemuda setiap Selasa dan Kamis. Anak-anak diajar berbahasa Inggris, membaca, menulis, berhitung, dan aneka keterampilan. Modul kesehatan dan anak diwujudkan dengan pelayanan ke Posyandu setempat.

Masyarakat diedukasi tentang cara mencuci tangan yang benar dan mengolah aneka makanan sehat, seperti bubur kacang hijau. Di dusun Atateitei, modul MCK diwujudkan dengan membangun toilet umum, sedangkan di dusun lain yang sudah memiliki toilet umum, masyarakat diedukasi tentang cara MCK yang bersih.

Modul Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) dilaksanakan guna memudahkan masyarakat desa mendapatkan pelayanan air minum dan sanitasi berkelanjutan. Air minum dan sanitasi yang baik akan menjadikan masyarakat sehat.

Lomba kreatifitas makanan olahan bahan lokal diadakan dalam modul ekonomi masyarakat. “Tujuannya agar ada oleh-oleh khas Mentawai. Kami mengajar ibu-ibu di dusun membuat nugget ikan, dodol kojo dari buah mangrove, dan dodol durian toktuk. Kita melihat mereka kaya akan potensi alam, tetapi tidak tahu cara memanfaatkannya,” kata perempuan kelahiran Medan, 2 Juli 1997 ini.

Selain itu ada juga program pribadi mengajar Bina Iman Anak Katolik (BIAK). Masyarakat Desa Atateitei mayoritas beragama Katolik. Sebanyak lebih dari 100 orang anak ikut dalam BIAK yang dikemas dengan susunan yang berbeda-beda setiap minggunya.

Meski sibuk dengan aneka kegiatan, Juwita tidak pernah lupa pulang waktu makan siang dan malam. “Mereka tidak akan mulai makan kalau anggota keluarga belum lengkap. Aku belajar makan apapun yang orangtuaku masak dan aku makan dalam porsi banyak. Sehabis makan, kalau aku ke tempat temanku yang lagi makan, aku makan lagi. Aku paling suka makan sagu dan durian toktuk,” kenangnya sembari tersenyum.

 

Kristiana Rinawati (Palembang)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini