Antisipasi Politisasi Agama dalam Elektoral

180
Yenny Wahid (keempat dari ujung kiri) bersama perwakilan aktor non-negara yang tercatat mendukung kebebasan beragama dan berkeyakinan. [HIDUP/Hermina Wulohering]

HIDUPKATOLIK.com Politisasi agama meningkat jelang pemilihan umum. Semua kalangan harus mengantisipasi.

SALAH satu permasalahan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia adalah masih belum terselesaikannya kasus pelanggaran yang dialami kelompok minoritas. The Wahid Institute/ Wahid Foundation mencatat, kasus-kasus pelanggaran tersebut telah berlangsung beberapa tahun, namun belum ada kepastian penyelesaiannya, meski pemerintah sesungguhnya mengetahui terbengkelainya berbagai permasalahan itu.

Dalam Laporan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan dan Politisasi Agama 2017, disebutkan, masyarakat Indonesia umumnya menyadari bahwa perbedaan agama dan keyakinan merupakan kenyataan bangsa Indonesia.

Namun, fenomena politisasi agama, seperti dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 lalu, menunjukkan bahwa masalah utama bukan karena masyarakat alergi terhadap perbedaan agama.

Direktur Wahid Foundation, Yenny Zannuba Wahid, mengatakan, masalah terbesar dalam politisasi agama paling kurang terjadi karena dua hal. Pertama, penggunaan idiom atau simbol agama secara eksesif dan tak tepat di ruang-ruang politik.

“Kedua, adanya usaha-usaha sebagian kelompok dalam memanfaatkan perasaan tidak suka, rasa terancam, dan kebencian terhadap kelompok yang berbeda untuk meraih dukungan politik,” ungkap Yenny, di Kawasan Senayan, Jakarta, Rabu, 8/8.

Dia menambahkan, analisis tersebut didukung oleh hasil Survei Nasional pada 2017 di mana ketidaksukaan dan kebencian dalam survei menjadi salah satu faktor yang berpengaruh langsung bagi aksi-aksi intoleransi.

Kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan meningkat jelang elektoral. Sepanjang pilkada 2017 di Pulau Jawa, Wahid Foundation mencatat, 28 peristiwa politisasi agama dengan 36 tindakan. Perbedaan jumlah dan tindakan ini mengandaikan jika dalam satu peristiwa terjadi beberapa tindakan.

Peristiwa pelanggaran itu paling banyak terjadi di DKI Jakarta dengan 24 peristiwa menjelang putaran satu dan dua. Nomor dua terbanyak adalah Jawa Barat dengan tiga peristiwa, kemudian Banten dengan satu peristiwa. “…Basuki Tjahaja Purnama mengalami sepuluh tindak pelanggaran. Menyusul, Ridwan Kamil di Jawa Barat dan Rano Karno di Banten.

Anies Baswedan juga tercatat sebagai korban karena dituduh sebagai pengikut Syiah,” bebernya. Dari 28 peristiwa pelanggaran, hanya satu peristiwa yang dilakukan aktor negara, sementara 27 lainnya dilakukan oleh aktor non-negara.

Front Pembela Islam terlibat dalam enam tindakan. Selebihnya para pengelola rumah ibadah dan aktor-aktor lain. Sebagai upaya mencegah peningkatan kasus politisasi agama menjelang pemilihan presiden dan legislatif pada 2019 mendatang, Wahid Foundation memberikan sejumlah rekomendasi.

Salah satunya adalah menyiapkan sistem deteksi dini untuk mengantisipasi peningkatan ujaran kebencian. “Kepada organisasi masyarakat sipil, kami mengimbau agar terus mendorong dialog-dialog yang produktif membangun toleransi dan menghormati perbedaan,” ujar Yenny.

Sejak 2008, lembaga yang digagas oleh Gus Dur ini merilis laporan hasil pemantauan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Menginjak tahun kesepuluh, analisis secara khusus dilakukan pada kasus-kasus politisasi agama dalam pilkada serentak di Pulau Jawa.

 

Hermina Wulohering

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini