“Pastoral Kereta Api” di Negeri Beruang Merah

236
Sr Jose Agustina SSpS (duduk keempat kanan) bersama umat di Yashkino, Kemerovo, Rusia.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Di negeri Beruang Merah, para misionaris dari Indonesia harus berjuang mempelajari bahasa yang termasuk paling sulit. Semangat misi dalam diri merekalah yang membuat mereka tak patah arang.

Hari itu, 5 Januari 2000 musim dingin masih menyelimuti Rusia, tak terkecuali Kota Moskwa. Di ibu kota Negeri Beruang Merah ini salju memenuhi di sepanjang jalan dan pekarangan-pekarangan rumah. Hamparan putih salju seakan tiada habisnya terlihat di setiap inchi kota.

Saat itu malam belum begitu larut, saat Pastor Baltazar Luken SVD berjalan di sekitar Moskwa. Dia bersama seorang sahabat bermaksud menghabiskan Rabu malam itu dengan melihat-lihat suasana kota. Baru tiga bulan menjadi penduduk Moscow, ia ingin lebih mengenal suasana kota. Jangankan orang, tempat-tempat di sekitar Moskwa pun hanya beberapa yang telah ia datangi.

Di kota inilah, Pastor Baltazar menjalankan misi pertamanya setelah ditahbiskan sebagai imam Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD). Meski salju dimana-mana namun suasana hati Pastor Baltazar bahagia malam itu. Hamparan salju semacam ini tentu saja baru baginya. Di kampung halamannya di Manggarai, Nusa Tenggara Timur tak pernah ia jumpai pemandangan semacam ini. Setiap sudut kota mengundang decak kagum di matanya. Apa saja yang ia lihat, semuanya terlihat sebagai sesuatu yang baru.

Malam Kelabu
Namun, apa yang terjadi malam itu akhirnya tidak akan pernah dilupakan Pastor Baltazar. Saat langkahnya sampai di salah satu sudut kota, di hadapannya ada sekelompok anak muda yang baru kali itu ia lihat. Saat hanya berjarak dua meter, tiba-tiba ia diserang oleh sekumpulan anak muda itu. Belakangan diketahui, mereka adalah bagian dari kelompok Skin Head yang berafiliasi dengan kelompok Nasionalis Rusia yang memang sangat anti dengan orang asing. “Awalnya mereka seperti menginterogasi kami, lalu setelahnya mereka menyerang,” kenang Pastor Baltazar.

Hanya sedikit kata bahasa Rusia yang dipahami Pastor Baltazar saat itu. Sehingga, ia pun tak paham apa yang dikatakan sekumpulan pemuda itu. Anak-anak itu memukulnya membabi buta. Pikirannya kalut, ia tak tahu apa yang akan terjadi dalam hidupnya saat itu. Perjalanan malam itu pun berakhir di kantor polisi.

Di kantor polisi, Pastor Baltazar kebingungan saat akan memberi penjelasan perihal naas yang dialaminya. Dengan bahasa Rusia yang masih “nol besar” ia tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, ia pun mencoba memberi penjelasan dalam bahasa Inggris yang untungnya bisa dimengerti oleh polisi yang saat itu menangani kasusnya. Beruntung, ia akhirnya dibebaskan.

Itulah satu pengalaman yang dialami Pastor Baltazar pada masa awal menjalankan karya misi di Rusia. Ia diutus sebagai angkatan pertama imam Provinsi SVD Ende untuk menjalankan karya misi di Rusia. Saat itu, ia tak sendiri, ia diutus bersama Pastor Laurentius Lemdel SVD.

Pastor Baltazar menuturkan, bahasa awalnya menjadi “momok” baginya. Menurutnya, bahasa Rusia termasuk bahasa yang sulit. Tahun pertama di Moskwa dihabiskannya untuk belajar bahasa. Karena hanya memiliki visa (izin tinggal) sebagai imam, maka ia tidak dapat belajar bahasa di universitas-universitas di Moskwa. Satu-satunya pilihan adalah belajar bersama seorang guru privat yang setiap hari datang di rumah tempat ia tinggal. “Sebagai seorang misionaris kami tidak boleh mengeluh meskipun sulit kami tetap mencoba untuk secepatnya dapat menguasai bahasa Rusia.”

Kesulitan lain yang dihadapi Pastor Baltazar adalah sulitnya administrasi untuk dapat tinggal dan menetap di Rusia. Ia menceritakan, untuk seorang misionaris yang baru datang, hanya akan mendapat izin tinggal yang hanya sekitar tiga bulan. Karena itu, setiap misionaris baru harus berulang kali mengurus visa untuk dapat melanjutkan karya misi di Rusia. Ia sendiri baru pada tahun 2015 mendapatkan izin tinggal di Rusia. “Saya menunggu sampai 15 tahun untuk dapat izin tinggal di Rusia.”

Ortodoks dan Katolik
Hingga saat ini, Pastor Baltazar sudah berkarya 18 tahun di Rusia. Saat ini, ia berkarya sebagai salah satu formator di Rumah Pendidikan Filsafat dan Teologi SVD St Petersberg. Selain itu, ia juga membantu sebagai pastor rekan di Paroki St Maria Mengunjungi Elisabeth St Petersberg. Ia mengakui, untuk jumlah baptisan yang pernah dilakukannya masih bisa dihitung dengan jari. Begitu juga, ia baru sekali memimpin sebuah Misa pernikahan selama karyanya di Rusia.

Pastor Baltazar mengungkapkan, penduduk Rusia secara tradisional adalah penganut Ortodoks Rusia. Umat Katolik hanya sekitar satu persen atau sekitar 773.000 orang. Dengan perbandingan semacam ini, maka umat Katolik hanyalah minoritas. Umat Katolik sendiri terdiri dari beragam latar belakang bangsa, mereka banyak berasal dari Polandia, Slovakia, Esthonia, Latvia, dan negara-negara di sepanjang pesisir laut Balkan.

Pastor Baltazar menceritakan ada pasang surut relasi antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Rusia selama ia berkarya. Hal ini juga menjadi salah satu tantangan bagi karya misi yang ia jalankan di Rusia. Ia mengingat, di masa-masa awal ia bertugas kadang ia menemukan ada umat Ortodoks Rusia yang menilai kehadirannya ingin melakukan upaya Katolikisasi. “Awal saya di sana kadang menjumpai umat Gereja Ortodoks yang curiga pada karya misi kami.”

Paus Yohanes Paulus II membentuk empat keuskupan di Rusia pada tahun 2002 yaitu Keuskupan Agung Moskwa, Keuskupan Saratov, Keuskupan Irkutsk, dan Keuskupan Novosibirsk. Tindakan ini memicu ketegangan antara Gereja Katolik dan Ortodoks Rusia. Pastor Baltazar mengisahkan umat Ortodoks seakan “disaingi” dengan pembentukan keempat keuskupan ini.

Meski begitu berangsur-angsur hubungan antara Katolik dan Ortodoks Rusia berkembang semakin baik. Pastor Baltazar mengalami sendiri, dalam berbagai perjumpaan dengan umat Ortodoks, ia sering hanyut dalam sebuah percakapan layaknya saudara. Awalnya, ia mengakui, masih ada kecurigaan, untuk mengatasi hal ini, ia berusaha mencari topik diskusi yang dapat menyatukan keduanya. “Biasanya saya mengarahkan agar kami berdiskusi tentang cinta kasih atau tentang tema yang lain agar perjumpaan kami bisa menjadi sebuah perjumpaan persahabatan.”

Pastoral Kereta Api
Saat berpergian ke suatu tempat, atau ke kota tertentu baik untuk tugas pastoral atau untuk bentuk pelayanan yang lain, Pastor Baltazar biasa menggunakan moda kereta api. Ia menuturkan, dengan kereta api ia dapat berjumpa dan berdialog dengan masyarakat di Rusia. “Saya selalu senang di dalam kereta api karena di sana saya bertemu dengan banyak orang dari beragam latar belakang.”

Pastor Baltazar menyebut perjumpaannya dengan orang-orang di dalam kereta api ini sebagai “Pastoral Kereta Api”. Saat dalam perjalanan, ia berusaha untuk dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di gerbong yang sama. Dalam perjumpaan ini, menjadi kesempatan baginya untuk bersaksi sebagai orang Katolik. “Mereka umumnya akan menanyakan saya ini siapa. Saya lalu menjelaskan bahwa saya adalah imam dari Gereja Katolik,” tutur imam yang ditahbiskan tahun 1998 ini.

Pastor Baltazar mengakui meskipun secara tradisional orang Rusia adalah Ortodoks, namun ia juga mendapati ada sebagian dari mereka yang ateis. Di dalam kereta api ini juga, ia kadang menjumpai dan berdiskusi dengan mereka. Untuk itu, di sinilah menjadi kesempatan untuk bisa mewartakan Kristus. Ia mengakui, perjumpaan semacam ini tidak serta merta menjadikan ateis akhirnya mau dibaptis. Namun, di sinilah kesempatan baginya untuk mewartakan kebaikan-kebaikan iman Katolik.

Satu hal yang kadang menjadi kekhawatiran Pastor Baltazar adalah kecenderungan masyarakat yang asyik dengan gadget. Di mana saja, termasuk juga di dalam kereta api, banyak orang cenderung hanyut dengan alat komunikasi mereka. Meski begitu, ia tidak mau ikut dalam kebiasaan ini. Setiap kali ia bepergian, ia akan menanggalkan gadget-nya dan melancarkan “pastoral kereta api”. “Saya senang berkomunikasi, saat di kereta saya matikan HP dan berusaha berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar.”

Empat Kata
Saat mengawali tugasnya di Rusia, Sr Jose Agustina SSpS hanya bermodal menguasai tiga kosa kata bahasa Rusia “спасибо”, “да”, dan “нет”, ‘terima kasih, iya dan tidak’. Ia memulai misi di Rusia tahun 2010. Tentu, dengan penguasaan bahasa semacam itu amatlah jauh dari cukup untuk bisa bekerja di antara umat. “Syukurlah bahwa ada kesempatan dari kongregasi untuk kursus bahasa Russia secara formal di sebuah universitas negeri selama 10 bulan. Kemudian masih ditambah kira-kira satu tahun belajar secara individu dua kali seminggu dengan guru privat,” tutur suster kelahiran Surabaya ini

Di Rusia, Kongregasi Abdi Roh Kudus (Servae Spiritus Sancti/SSpS) berkarya di empat kota dan tiga keuskupan yang ada negara itu. Sebanyak tiga komunitas berada di Siberia dan satu komunitas di Kota Tambov, sekitar 480 km arah selatan Moskwa. Dari 13 Suster SSpS yang berkarya di sana, selain Indonesia, mereka berasal dari India, Slovakia, dan Polandia.

Tahun kedua di Rusia, sambil meneruskan belajar bahasa Sr Jose ditugaskan di sebuah kota kecil bernama Abakan. di kota dengan penduduk kira-kira 165 ribu jiwa ini, ia melihat hanya sekitar 25 orang yang datang mengikuti misa mingguan. Saat musim panas, jumlah ini bahkan berkurang karena umat pergi untuk mengurus kebun mereka. Tidak jauh beda di musim dingin, ketika suhu udara mencapai minus 40 derajat, sangat sulit bagi umat yang tidak memiliki kendaraan untuk datang ke gereja. “Situasi inilah yang saya hadapi ditahun awal saya bertugas di Rusia.”

Sr Jose mengakui, sebagai suster muda dengan segudang mimpi awalnya ia sulit berada pada situasi ini. Apalagi dengan kemampuan bahasa yang terbatas, ditambah lagi perbedaan cara kerja dengan para misionaris dari negara lain, rasanya ia ingin pulang saja. Pada masa-masa ini, kadang ia kesulitan untuk menjawab pertanyaan dari sahabat atau keluarga di Indonesia, saat mereka menanyakan apa tugasnya di Rusia? “Semakin sedih ketika ada pertanyaan datang, ‘Kamu kerja apa disana?’”

Di Abakan, Sr Jose tinggal bersama dua suster lain. Di rumah itu masih memakai tungku asli gaya Rusia. Pada saat ini, ia sudah mulai mendapat tugas membantu karya pelayanan di Paroki Abakan. Selain itu, ia mengisi hari-hari dengan bercocok tanam dimusim panas. “Menyalakan tungku pemanas ruangan dan membersihkan salju-salju disekitar rumah di musim dingin adalah bagian juga dari pekerjaan yang kami lakukan disamping kegiatan rutin di paroki.”

Pengalaman belajar hal-hal baru dan sederhana seperti ini juga memberi warna tersendiri dalam komunitas. Sr Jose mengungkapkan, cerita-cerita lucu banyak tercipta dan tidak habis untuk diingat dan dikisahkan kembali.

Satu hari Sr Jose bersama dua sahabatnya pergi ke kebun untuk menanam kentang. Semua sudah siap tinggal aksi, tiba-tiba salah satu suster bertanya, “Siapa yang tahu bagaimana caranya menanam kentang?” Saat itu, semua saling berpandangan dan tertawa karena memang tidak ada satu pun dari mereka yang tahu.

Salah satu suster kemudian berkata, bahwa ia pernah lihat tetangga menanam kentang. Begitulah akhirnya mereka menanam berdasarkan “pengelihatan” itu. “Kentang tumbuh besar dan setelah tiga bulan kami bisa memanen.”

Promosi Diri
Sr Jose menyadari agar kehadirannya Gereja lebih berarti bagi lebih banyak orang, tak cukup mereka berhenti hanya dengan tetangga sekitar rumah. Mereka lalu pergi ke sekolah-sekolah dan instansi pemerintah untuk mencoba merintis sebuah karya di bidang sosial. Awalnya ketika pemerintah mengetahui ia sebagai biarawati dari Gereja Katolik, mereka berjanji untuk memberikan informasi. Sayang, janji ini hanya tinggal janji. “Setelah berbulan-bulan informasi itu tidak kami dapatkan juga.”

Tidak berhasil dengan itu, Sr Jose dengan anggota komunitas lain mencoba mempromosikan les privat bahasa Inggris. Syukur, akhirnya ada beberapa murid yang tertarik mengikuti les. “Saya yang bertugas mengajar mereka di komunitas kami,” kenang Sr Jose.

Tujuan pertama memang bukan untuk mengkatolikan mereka. Sr Jose menjelaskan, usaha ini untuk menjalin kontak dengan lebih banyak orang. Seiring waktu, jumlah peminat semakin bertambah. Karenanya dipertimbangkan untuk memindahkan tempat mengajar di salah satu ruangan gereja paroki. Sayang, ketika niat ini disampaikan ke orang tua, sebagian besar dari anak-anak itu tidak lagi datang belajar hari berikutnya.

Saat ini Sr Jose bertugas di Tambov. Semakin hari, ia menyadari bahwa bukan “kerja” yang utama dari tugas seorang misionaris. Tetapi ketika ia berani seperti Maria, yang memilih bagian yang terbaik; duduk bersimpuh di dekat Yesus dan mendengarkan Dia. Ia meyakini, jika ia adalah misionaris-Nya, maka ia seharusnya melakukan pekerjaan-Nya. “Saya tidak pernah tahu kecuali saya mendengarkan Dia, dalam hening, doa dan kepercayaan. Pekerjaan-Nya tidak untuk kemuliaan saya, tapi kebahagiaan dan keselamatan umat-Nya.”

Antonius E. Sugiyanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini