HIDUPKATOLIK.com – Perempuan ini prihatin melihat industri perfilman Indonesia yang sempat mati suri. Ia bertekad memproduksi film bermutu yang menginspirasi banyak orang. Sebagai produser, ia mendedikasikan hidup untuk melahirkan film-film berkualitas.
Melakoni pekerjaan sebagai produser sama sekali tak pernah melintas dalam benak Ursula Warsokoesoemo Tumiwa. Semua berawal saat Ula -sapaannya- berkunjung ke Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam ini Ula terkesima tatkala menonton film dokumenter bertajuk “Shine A Light”. Film ini berkisah tentang perjalanan grup musik rock legendaris, The Rolling Stone.
Sepulang dari Amerika, Ula mencoba menelusuri industri perfilman di Indonesia. Perempuan kelahiran Jakarta, 23 Oktober 1968 ini terkejut. Ia mendapati film-film dokumenter amat kurang diproduksi. “Masak sih di Indonesia belum ada film tentang grup musik,” protes anak kedua dari tiga bersaudara ini saat ditemui di kawasan Pejaten Barat, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Keprihatinan ini menerbitkan niat dalam hati Ula untuk memproduksi film-film dokumenter. Ia bertekad dan bermimpi mengadaptasi konsep film “Shine A light” di Indonesia.
Generasi Biru
Demi menggapai mimpi, bersama dengan sebuah production house, Ula memutuskan membuat film Generasi Biru pada 2008. Film ini mengangkat kisah grup musik Slank. Garin Nugroho didaulat sebagai sutradara film ini. Sebagai produser, Ula mengurus semua hal yang berkaitan dengan pembuatan film ini. Ia bertemu dan berdiskusi dengan anggota group musik Slank, mencari investor untuk mendanai film, sampai membentuk kru film.
Dalam film Generasi Biru, Ula mencoba mengabungkan dua unsur, bisnis dan seni. Generasi Biru berbeda dari film yang lain, karena diangkat berdasarkan kisah nyata, cerita jatuh bangun grup musik Slank dalam industri musik Indonesia. “Film ini bukan film fiksi, tetapi film yang ber dasarkan kisah nyata, sehingga dapat menginspirasi anak muda atau seniman lain. Dalam memproduksi film ini, saya belajar banyak hal,” ujar ibu dua anak ini.
Setelah berhasil memproduksi sebuah film, Ula merasa ketagihan. Selang dua tahun, ia kembali membidani sebuah film dokumenter berjudul Metamorfoblus. Film ini sebenarnya berasal dari potongan- potongan gambar yang sudah tidak terpakai lagi dalam film Generasi Biru. Metamorfoblus berkisah tentang para penggemar group musik Slank yang rela datang dari luar negeri demi bertemu idola mereka. Film ini mendapat penghargaan khusus dari dewan juri untuk Film Dokumenter Terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2011.
Selain itu, Ula bersama tim juga mendistribusikan film secara independen. Film-film ini tidak beredar di bioskop, tetapi didistribusikan secara langsung dengan mengunjungi 20 kota besar di Indonesia. Bagi dia, pola pendistribusian film secara independen lebih menguntungkan. Jika film didistribusikan lewat bioskop, ada kecenderungan “permainan” di belakang, seperti film yang tidak diputar, digeser, atau diganti dengan film lain yang lebih unggul. “Apalagi saat ini, kami bisa medistribusikan film lewat media sosial,” tandas alumna Fakultas Teknik Elektro Universitas Trisakti Jakarta ini. Satu tahun kemudian, 2011, Ula kembali memproduksi film dokumenter bertajuk Di Balik Frekuensi. Film ini bertutur tentang perkembangan media komunikasi saat ini.
Rumah Pohon
Sembari terus memproduksi film, pada 2010 bersama ketiga temannya, Ula mendirikan Rumah Pohon Indonesia, untuk mewadahi para sineas muda. “Dari pohon kita bertumbuh, dan rumah tempat kita bernaung. Jadi, Rumah Pohon Indo nesia merupakan ide yang lahir dari para senias muda. Kami hanya berusaha merealisasikan ide mereka. Di sini kita bisa saling berbagi,” tutur umat Paroki Ratu Rosari Jagakarsa, Jakarta Selatan ini.
Ula menyelipkan pesan bagi orang-orang muda yang ingin terjun dalam industri perfilman di Indonesia, agar tidak mudah menyerah dan terus berupaya dengan semangat yang tinggi. Ia juga menaruh harapan, agar pemerintah memberikan peluang-peluang bagi orang muda untuk berkreasi dalam dunia perfilman. Saat ini, menurut Ula, content film Indonesia sudah mulai bagus. “Pemerintah seharusnya menambah lebih banyak bioskop dan mengutamakan film-film Indonesia. Selain itu, memberikan tempat bagi film-film dokumenter Indonesia,” kata Ula.
Film Kasimo
Kini, Ula sedang mempersiapkan film dokumenter yang berkisah tentang perjalanan hidup Pahlawan Nasional, Ignatius Joseph Kasimo. Ia sudah melakukan focus group discussion dengan beberapa tokoh Katolik, lembaga swadaya masyarakat, serta berjumpa dengan keluarga I.J Kasimo. “Tetapi proses produksi belum berjalan, karena ada keterbatasan biaya,” ucapnya. Selain itu, Ula juga masih membutuhkan beberapa narasumber yang kuat dan mengenal dekat sepak terjang Kasimo.
Bagi Ula, Kasimo adalah pribadi panutan, seorang awam yang dengan setia me layani Gereja. “Ia berbeda dengan Mgr Soegijapranata. Mgr Soegijapranata, seorang uskup yang bertugas menjadi gembala. Tetapi Kasimo adalah seorang awam. Ia orang biasa, seperti kita juga,” tandas founder dan board member Goelali Children Festival ini.
Ula berharap, proses produksi film dokumenter Kasimo ini dapat segera selesai, sehingga bisa dinikmati masyarakat, tidak hanya untuk kalangan Katolik saja. “Rencana, saya ingin membuat film ini sebelum dia dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, tetapi sudah tidak mungkin. Tahun ini, proses produksi juga tersendat, karena ada Pemilu. Doakan saja ya, semoga film dokumenter Kasimo ini dapat segera selesai,” kata Ula.
Ursula Warsokoesoemo Tumiwa
TTL : Jakarta, 23 Oktober 1968
Suami : Robert Tumiwa
Anak : Artisa Theresia Tumiwa dan Ardias Antony Tumiwa
Pendidikan :
• SMP Tarakanita 1 Jakarta
• SMA Tarakanita 1 Jakarta
• Fakultas Teknik Elektro Universitas Trisakti Jakarta
Karya :
• Produser film Generasi Biru (2009)
• Produser film dokumenter Metamofoblus (2010)
• Produser film dokumenter untuk memperingati Yap Thiam Hien (2010)
• Produser video pendidikan Paman Syarif di TVRI (2010)
• Produser film dokumenter Di Balik Frekuensi (2011)
• Produser film pendek tentang air bersih di Bawamataluo-Nias untuk ILO (2012)
• Produser film dokumenter The Road,prosesi Tuan Ma di Larantuka-NTT(2013)
Aprianita Ganadi
HIDUP NO.20, 18 Mei 2014