HIDUPKATOLIK.com – Berulang kali mengajukan permohonan untuk bermisi di tanah asing, berulang kali pula ia ditolak karena alasan kesehatan. Akhirnya, kerinduan bermisi itu terjawab. Ia menumpahkan darah kemartiran di medan karya.
Pekik peperangan dan denting senjata tajam antara Suku Huron dengan Suku Iroki mengubah malam di Wilayah St Maria dan St Ignatius, Wendake, Wendat (kini: Provinsi Ontario, Kanada) menjadi riuh. Para perempuan, anak-anak, dan manula berteriak histeris. Sementara itu, kaum pria bertempur mempertahankan tanah leluhur mereka. Kekuatan pasukan Iroki tak mampu dibendung. Berbekal kekuatan yang lebih besar dan kemahiran dalam berperang, penduduk Huron berhasil dikalahkan. Mereka yang selamat terpaksa pergi dari tanah kelahiran.
Kemenangan yang dipetik Suku Iroki di dua tempat itu tak menghentikan dahaga kekuasaan. Mereka terus menebar ancaman dan meluluhlantahkan daerah lain termasuk Wilayah St Luis yang berjarak 4 mil di sebelah Selatan St Ignatius. Memang kabar pertempuran di Wilayah St Ignatius sudah terdengar sebelumnya. Namun penduduk St Luis bersikukuh untuk menghadapi musuh dan mempertahankan tanah leluhur mereka, meski nyawa menjadi taruhannya.
Di St Luis, ada dua misionaris Jesuit yang berkarya, yakni Pater Gabriel Lalemant SJ dan Pater Jean de Brébeuf SJ. Dua Jesuit itu siap menerima konsekuensi apa pun yang bakal terjadi. Kehadiran mereka sebenarnya menjadi sumber kekuatan masyarakat setempat untuk mempertahankan tanah kelahiran hingga titik darah penghabisan. Pagi harinya, terdengarlah pekik perang orang-orang Iroki. Mereka menaiki pagar dan langsung membunuh semua warga St Luis yang berani melawan. Dalam waktu singkat, wilayah St Luis sudah takluk di bawah Iroki.
Jalani Siksaan
Pater Lalemant bersama Pater de Brébeuf dan sebagian umatnya dijadikan tahanan. Mereka menerima aneka bentuk penyiksaan: dipukuli, dikuliti, ditarik kuku-kuku jari mereka, lalu jemarinya pun dihancurkan. Mereka dipaksa berlari telanjang melintasi lapangan salju. Orang-orang Iroki kemudian menggantung Pater de Brébeuf. Pater Lalemant mula-mula harus menyaksikan kekejaman yang dialami oleh kolega seserikatnya itu, sebelum akhirnya orang-orang Iroki itu mulai menyiksanya pada sore hari.
Mereka mulai menyalakan api pada kaki Pater Lalemant agar menggeliat kesakitan. Tubuhnya lalu dicap dengan kapak besi yang masih membara. Mereka menyiram kepalanya dengan air mendidih, memotong kedua lengannya, mencukil matanya. Belum puas dengan penyiksaan yang mereka lakukan dan agar korbannya tidak lekas mati, penyiksaan pun dihentikan sementara. Keesokan paginya, mereka kembali menyiksa Pater Lalemant. Mulut sang misionaris disumpal dengan bara arang. Orang-orang Iroki terus menyiksa Pater Lalemant.
Dengan tak kenal ampun, mereka membelah dadanya, memotong hatinya, dan memakannya. Mereka beranggapan, dengan cara itulah mereka bisa punya keberanian seperti yang dimiliki sang misionaris itu. Berbagai siksa keji yang dialami Pater Lalemant mengakhiri hidupnya yang masih berusia 36 tahun.
Tubuh dua Pater ini ditemukan rekan-rekan Jesuit. Jenazah mereka dibawa ke Sainte-Marie, lalu dimakamkan di dekat pintu kapel. Tahun 1650, relikwi kudus itu dipindahkan ke Québec. Pater Lalemant dibeatifikasi pada 21 Juni 1925 oleh Paus Pius XI dan dikanonisasi oleh Paus yang sama pada 29 Juni 1930. St Gabriel Lalemant dirayakan bersama para martir Amerika Utara lainnya tiap 10 Oktober.
Semangat Misi
Gabriel Lalemant lahir di Paris, 10 Oktober 1610. Anak ketiga dari enam bersaudara ini berasal dari keluarga bangsawan. Sejak dini, semangat rohaninya sudah terlihat amat berkobar. Benih kerohanian itu memang ditanamkan dengan begitu getol dalam keluarganya. Tak heran, keluarga ini menghasilkan lima orang religius: Lalemant menjadi Jesuit, kakaknya menjadi rahib Kartusian, dan tiga saudarinya menjadi suster.
Lalemant menjalani pendidikan di Kolese Clermont. Usai tamat kolese, ia masuk Novisiat Serikat Jesus, 24 Maret 1630. Setelah mengikrarkan kaul pertamanya sebagai Jesuit, ia melanjutkan studi filsafat dan mendalami teologi di Universitas Borgias. Ia menerima tahbisan imamat pada 1638.
Selama beberapa tahun setelah tahbisan, Pater Lalemant berkarya sebagai pengajar. Ia menjadi dosen filsafat di Moulins, lalu pindah ke La Fleche. Meski berkecimpung di dunia pendidikan, semangatnya untuk bermisi tetap berkobar di dalam hatinya. Konon, ketika mengucapkan kaul dalam Serikat, ia menambahkan satu kaul untuk menjadi misionaris di tanah asing. Namun, kerinduannya itu seolah terus menuai halangan. Beberapa kali Lalemant mengutarakan maksudnya pada pembesar. Berkali-kali pula keinginannya ditolak dan membuatnya kecewa.
Kekecewaan atas penolakan demi penolakan itu tak pernah memadamkan bara semangat misionernya. Tiap tahun ia senantiasa mengulangi permohonannya. Tiap tahun pula pembesarnya selalu punya pandangan dan rencana lain bagi perutusannya. Penolakan itu didasarkan pada kondisi kesehatannya yang kurang mendukung untuk bermisi. Pembesarnya menilai, Pater Lalemant lebih cocok menjadi pengajar di Perancis ketimbang menghabiskan waktu di hutan belantara bersama suku Indian.
Kerinduan Pater Lalemant akhirnya terjawab. Pada 1646, Pater Provinsial mengutusnya untuk pergi ke Misi Huron. Kemungkinan, izin itu diberikan karena Superior Misi Huron diampu oleh pamannya, Hieronimus. Bersama dengan dua imam dan seorang bruder Jesuit, ia berlayar dari La Rochelle, 13 Juni 1646. Mereka akhirnya sampai di Québec pada 20 September 1646. Karena masih asing dengan Bahasa Huron, ia melewati dua tahun pertamanya di Sillery untuk mempelajari bahasa dan adat-istiadat bangsa Indian.
Pater Lalemant berangkat ke Misi Hurona pada Agustus 1648 bersama orang-orang Huron yang datang untuk berdagang bulu binatang di perkampungan orang Perancis. Pada September 1646, ia tiba di Sainte-Marie. Selama beberapa bulan, ia masih bertekun belajar bahasa. Awal 1649, ia menjadi rekan kerja Pater Jean de Brébeuf SJ dalam perjalanan mingguan mengunjungi komunitas Indian di sekitar Sainte-Marie. Dengan demikian, ia mendapat seorang guru yang amat baik karena tahu bagaimana cara berhubungan dengan orang-orang Indian. Namun, misi Lalemant di tengah orang Huron hanya berlangsung sekitar enam bulan. Ia bersama koleganya yang menemani Suku Huron justru menjadi korban keganasan Suku Iroki.
Berita kemartiran Pater Lalemant sampai di telinga ibundanya. Sebagai seorang ibu, ia begitu terpukul mendengar berita kematian anaknya. Namun, ibunya sadar, kematian menjadi salah satu konsekuensi misionaris –yang juga telah dipahami oleh putranya. Ia yakin, putranya sudah menyiapkan diri menanggung risiko itu. Terbukti, Lalemant tetap bersikukuh minta diutus merasul di tanah misi. Sejak kepergian putranya, sang bunda membenamkan diri dalam rekoleksi. Ia menjalani hari dalam kesunyian dan doa, hingga ajal menjemputnya.
A. Benny Sabdo/Yanuar Marwanto
HIDUP NO.21, 25 Mei 2014