Medan Berat Pastoral Pedalaman

539

HIDUPKATOLIK.com – Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong. Bagi pembaca, nama ini mungkin masih asing. Paroki ini berada di wilayah Keuskupan Tanjung Selor. Secara pemerintahan, Mansolong sebagai ibu kota kecamatan, terletak di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Paroki ini memiliki 35 stasi. Sebagian besar stasi harus dijangkau dengan perahu melalui sungai-sungai yang berliku-liku.

Misalnya saja, dari Mansalong ke Tau Lumbis, stasi paling utara. Stasi ini harus ditempuh enam jam dengan perahu dari pusat paroki. Dari Tau Lumbis masih terdapat stasi lain yang langsung berbatasan dengan Malaysia, yakni Stasi Labang, ditempuh dengan perahu selama empat jam. Rata-rata perjalanan membutuhkan biaya sekitar dua juta rupiah. Biaya yang tidak murah bila misalnya dibandingkan dengan persembahan yang diberikan oleh umat stasi setempat.

Sebagaimana Keuskupan Agung Jakarta yang memiliki paroki misi di Papua, Mansalong merupakan paroki misi Keuskupan Bogor. Paroki ini dilayani oleh tiga imam. Mereka memerlukan waktu rata-rata sekitar tiga bulan supaya setiap stasi dapat dikunjungi untuk memberikan pelayanan pastoral seperti merayakan Ekaristi, Baptisan Bayi (Sakramen Permandian), Sakramen Perkawinan, katekese, dan lain-lain.

Kita bisa membayangkan tantangan pastoral yang dihadapi para imam, suster-suster, atau pun katekis yang berkarya di paroki ini. Yang menggembirakan adalah jumlah umat Katolik di Mansalong tergolong cukup besar, sekitar enam ratus kepala keluarga atau dua ribuan jiwa. Dan, Paroki Mansalong adalah salah satu contoh dari paroki-paroki atau stasi-stasi di pedalaman Kalimantan. Mugkin saja kondisi yang sama atau medan pastoral yang jauh lebih berat terdapat di parkoki di keuskupupan lain yang masih terisolir karena sarana transportasi dan infrastruktur yang belum memadai. Katakanlah di keuskupan-keuskupan di Papua, sebagian di Sumatera, dan Maluku.

Kondisi alam dan pembangunan yang belum merata berdampak pada reksa pastoral. Di satu sisi, sebagian umat telah berada di era pasca modernitas dengan era digitalnya, namun di sisi lain, terdapat umat yang masih terbelakang. Baik secara ekonomi, pendidikan, budaya, maupun sosial. Di Mansalong misalnya, dari sudut ekonomi, kebanyakan umat berada di zona ekonomi menengah dan bawah. Dari segi pendidikan, kebanyakan masih di tingkat SD, SMP, dan SMA, kendati sudah ada juga yang sampai pendidikan tinggi. Dari sisi budaya, warga tergolong homogen. Mereka merupakan masyarakat Dayak yang sudah turun-temurun bermukim di kawasan ini.

Melihat kondisi seperti ini, para pelayan pastoral harus berupaya keras menemukan metode katekese yang mampu menyentuh umat sesuai dengan karakter sosial-ekonomi-budaya mereka, baik di pusat paroki maupun di stasi-stasi pedalaman. Pengaruh modernitas pasti tidak bisa dihindari. Walaupun tinggal di pedalaman, satu-dua orang sudah bersentuhan dengan teknologi komunikasi dan informasi dengan pengaruhnya multidimensi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini