Beata Maria Felicia Guggiari y Echeverria : Kisah Cinta Bunga Lily Karmelit

1489
Beata María Felicia Guggiari y Echeverría OCD saat diterima dalam biara.
[lanacion.com.py]

HIDUPKATOLIK.com – Ia jatuh cinta pada orang yang tepat. Cinta sejati tidak harus memiliki tetapi harus dibagikan. Ia tahu cinta itu akan dibalas oleh kekasih Ilahinya.

Ycuamandyju, sebuah pedesaan di San Pedro, Paraguay heboh. Seorang bayi yang baru lahir meninggal. Namun setelah sejam tiba-tiba hidup lagi. Ángel Ramón, sang bayi dinyatakan meninggal setelah tali pusatnya dipotong. Segala cara telah dibuat oleh dokter dan perawat di klinik pedesaan itu, tetapi hasilnya sama saja. Tiga puluh menit berlalu, Ángel meninggal.

Orang tua bayi menelan duka yang mendalam atas peristiwa ini. Hampir 10 tahun menikah, Tuhan baru mengabulkan permohonan pasutri ini. Harapan melihat bayi yang lucu, menggendong dan merawat seorang anak seakan sirna. Sang ibu tak kuasa menahan kesedihan ini. Semua orang di klinik tersebut terdiam, bisu, dan bersedih hati.

Blanca Durante, perawat yang menyaksikan kejadian itu lalu mengambil rosario dan berdoa dengan perantaraan Sr María Felicia Guggiari y Echeverrí OCD. Blanca yakin Tuhan akan mengabulkan permohonannya lewat Sr María. Usai berdoa, mukjizat terjadi. Ramón yang masih dalam pelukan sang ibu tiba-tiba menendang wajah ibunya. Berselang tiga menit, suara tangis bayi kelahiran 2002 itu memecah seisi ruang klinik itu. Ramón hidup lagi.

Mukjizat inilah yang membuka lebar proses beatifikasi Sr Maria. Sekitar 60 ribu umat menyemut di Stadion General Pablo Rojas Asuncion. Kumpulan umat itu ingin mengikuti Misa beatifikasi yang dipimpin Paus Fransiskus pada 23 Juni 2018.

Cinta Pertama
Uskup Agung Assunción, Paraguay, Mgr Edmundo Ponziano dalam Catholic News Agency meneruskan, Sr María adalah sosok orang muda yang teguh dalam iman, lembut dalam kasih. Ia menjadi wanita muda yang bisa mengubah hati orang berdosa jadi bertobat. Hatinya penuh kasih, kata-katanya menyelamatkan. Sr María menjadi model kesucian bagi kaum muda Paraguay. Conferencia Episcopal Paraguaya (CEP) ‘Konferensi Uskup Paraguay’ mengangkat Sr María menjadi pelindung kaum muda Paraguay.

Wanita kelahiran Villarica del Espiritu, Guairá, Paraguay, 12 Januari 1925 ini sejak kecil sudah tertarik menjadi biarawati. Kendati begitu tantangan utama adalah persetujuan dari Ramón Guggiari, sang ayah, yang disebut-sebut beragama Muslim. Tetapi sang ibu, Maria Arminda Echeverría, sangat mendukung keinginan puteri sulungnya ini. Syukurlah berkat Arminda, semua anaknya, termasuk María dibaptis secara Katolik di Katedral Villarrica pada 28 Januari 1929. Mereka pun menerima Komuni Pertama pada 8 Desember 1937.

Suatu hari María bersama tiga adiknya: Federico Augusto Ramón Guggiari Echeverría, María Teresa Arminda, dan Mañica González Raveti pernah membujuk sang ayah agar mengizinkan María masuk biara, tetapi sang ayah tetap bersikeras. “Chiquitunga, ‘wanita langsing’, panggilan khas sang ayah kepada María tidak bisa menjadi biarawati. Sebagai anak sulung, dia harus membantu ekonomi keluarga,” tegas Ramón berkali-kali.

Agar tidak kehilangan harapan, wanita yang hanya mengecap pendidikan dasar di Sekolah Mary Help of Christian Assuncion ini bergabung dengan karya kerasulan awam di parokinya. Pada usia 16 tahun, María berkomitmen untuk melayani orang-orang miskin dan berdedikasi terhadap karya kerasulan awam di negara Amerika Selatan ini. Dalam karya itu, ia bertemu pembimbingan rohaninya Pastor Julio Cesar Duarte Ortella pada Februari 1941.

Perang Saudara yang meletus tahun 1947 membuat sang ayah dan saudaranya Federico harus meninggalkan keluarga untuk menjalani wajib militer. Sang ayah akhirnya dideportasi ke Posadas, Argentina. Kesulitan ekonomi kemudian menyusul menghampiri keluarga Maria. Kondisi ini membuat sang ibu terpaksa menggadaikan rumah mereka.

Studi lanjut María terganggu lantaran nama belakang sang ayah yang melekat padanya. Nama ini mengingatkan orang pada José Patricio Guggiari, mantan presiden Paraguay dan anggota Partai Liberal, yang tidak disukai masyarakat.

Hal ini membuat keluarga Guggiari terpaksa pindah ke Assunción. Di situ, ia bergabung dengan sebuah kelompok sosial berlatar Gereja Katolik. Di sini, Maria bertemu Ángel Sauá Llanes, alumnus kedokteran dan putra seorang imigran Muslim dari Suriah. Beberapa kali María terlibat dalam kebersamaan dengan Sauá dalam pelayanan lintas iman kepada
orang miskin.

Pada situasi itu, María jatuh cinta dengan Sauá. Ia ingin menyampaikan perasaan cintanya, tetapi selalu takut kalau-kalau perasaannya ditolak. Ternyata Sauá pun merasakan hal yang sama tetapi takut kepada Manuel, sang ayah, yang ingin Sauá bisa menyelesaikan studi Pasca-sarjananya di Spanyol.

Cinta Sejati
Pada 1 Oktober 1947, Sauá menemani sang ayah ke Suriah kemudian dilanjutkan ke Madrid, Spanyol untuk pengurusan pendidikannya. Terpisah jarak membuat Maria benar-benar merasa rindu dengan pemuda idamannya itu. Ia memasrahkan seluruh pergulatan, cinta, dan perasaannya kepada Tuhan. Di lain tempat, Sauá sementara berjuang menentukan pilihan hidup menikah, studi atau taat pada pelayanannya.

Dalam pergumulan itu, María menemukan Tuhan menginginkan sesuatu yang lain atas dirinya. Ia selalu bertanya kepada Tuhan apakah Sauá adalah orang yang pantas untuk dinikahinya ataukah siapa? Pada Mei 1951, dalam sebuah pertemuan yang sudah diatur, Sauá memberitahukan sesuatu yang mengejutkan hati gadis itu. “Aku ingin menjadi Katolik dan tetap melayani.”

María sangat terkejut dengan pengakuan itu. Tetapi, ia malah senang dan berjanji akan mendukung keinginan cinta pertamanya ini. “Saya akan tetap di sisimu dan berdoa untukmu siang dan malam. Saya akan menyimpan rahasia cinta kita hingga maut memisahkan.”

Dalam pergumulan ini, María yakin Sauá bukan cinta sejatinya. Ia yakin ada rencana Tuhan bagi dirinya. Rasa yang berkecamuk ini justru bersumber dari pesan Sauá yang pernah diucapkan pria itu. “Bila engkau mendengar suara itu, pergi dan ikutilah, maka engkau akan menemukan kedamaian”.

Dalam doanya, María mendengar suara Tuhan baginya untuk menjadi biarawati. Pada 2 Februari 1955, ia bergabung dengan Ordo Berefot Karmel atau Ordo Karmel yang Disucikan dari Perawan Maria Yang Terberkati di Gunung Karmel (Order of the Discalced Carmelites of the Blessed Virgin Mary of Mount Carmel/OCD). Setahun kemudian, pada 15 Agustus 1956, Maria mengikrarkan kaul sementara dan mengambil nama Suster María Felicia dari Yesus dalam Sakramen Maha Kudus.

Dia hidup selama tiga tahun dengan semangat kesucian, persekutuan dengan Tri Tunggal. Ia berkarya dengan pengorbanan diri dalam sukacita kesunyian. Dia mengorbankan cintanya pada Sauá demi Gereja dan keselamatan banyak orang. Ia menjadi suster yang peduli pada keheningan batin untuk mencapai kesucian hidup.

Sr Maria Felicia mengenyam kehidupan biara hanya tiga tahun setelah menderita Penyakit Hepatitis pada Januari 1959. Penyakit ini mengakibatkan infeksi paru-paru akut. Pada Minggu Paskah, 28 Maret 1959, di hadapan seluruh koleganya, Sr María menghadap cinta sejatinya. Ia meninggal dalam sukacita dan dihantar bertemu kekasih Ilahi-nya lewat doa dan keheningan. Sang kekasih Ilahi menjemputnya saat usianya 34 tahun. “Yesus aku sayang Kau. Betapa manisnya Perawan Maria. Jemputlah aku dalam keheningan,” begitu kata-kata menjelang akhir hidupnya.

Proses beatifikasi Sr Maria Felicia dimulai saat Paus Yohanes Paulus II (1020- 2005) pada 17 Juli 1997. Nihil Obstatnya keluar dari Kongregasi Penggelaran Kudus Vatikan pada 13 Desember 1997. Proses ini mendapat validasi pada 22 Februari 2002. Pada 27 Maret 2010, Paus Emeritus Benediktus XVI menggelarinya venerabilis. Paus Fransiskus menyetujui mukjizat kesembuhan yang dialami oleh Ángel Ramón dan menggelarinya beata dan Misa beatifikasi digelar pada 23 Juni 2018. “Ia jatuh cinta pada orang yang tepat. Cinta sejati tidak harus memiliki tetapi harus dibagikan. Ia tahu cinta itu akan dibalas dengan pelukan mesra sang kekasih Ilahi,” tulis Sauá.

Yusti H. Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini