Michael Utama Purnama : Rencana Indah Tuhan

2270
Michael Utama Purnama : Bersyukur: Michael Utama bersama istri dan buah hati mereka.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Menginjak usia 70 tahun, semangat pelayanannya masih berkobar. Sebagai awam, ia ingin memberikan diri bagi sesama. Ini merupakan salah satu wujud syukur atas semua anugerah Tuhan yang telah diterimanya.

Di tengah padatnya aktivitas sebagai usahawan, Michael Utama Purnama tetap menyediakan diri untuk melayani di lingkungan Gereja. Ia menjadi inisiator dan pendiri beberapa lembaga kategorial di lingkungan Gereja. Memasuki usia 70 tahun, Michael demikian ia biasa disapa terus melibati kegiatan di lingkungan Gereja dan di kancah masyarakat pada umumnya. Semangatnya untuk melayani tak pernah padam. Ia mengaku, dirinya merasa bahagia atas segala anugerah Tuhan yang telah diterimanya.

Melalui lika-liku perjalanan hidup yang ditempuh, karir, dan rumah tangganya, Michael sebenarnya ingin memberikan kesaksian secara konkret. Ia tak henti mengucap syukur atas berkat dari Tuhan yang melimpah untuk keluarga dan dirinya. “Itu semua karunia Tuhan,” ungkapnya.

Pergumulan Hidup
Dalam menjalani peziarahan hidupnya, Michael sempat mengalami pergumulan hebat. Ketika itu, ia berstatus sebagai seorang imam. Ia merasakan pergumulan paling berat dalam hidupnya kala harus memutuskan untuk melepaskan imamatnya dan kembali ke status awam.

Di tengah bimbang yang menyelimuti hatinya, upaya meminta nasihat rohani pun ia lakukan. Michael mendatangi dua imam Jesuit: Pater Ferdinandus Hama SJ dan Pater Josephus Beck SJ. Selain itu, ia juga meminta masukan dari psikolog dan psikiater. Hal itu dilakukanya karena dalam menyelesaikan permasalahan ini, ia tak boleh gegabah mengambil keputusan. Akhirnya, semua saran yang didapatkan sama. “Mereka memberikan advis kepada saya, lebih baik mengundurkan diri sebagai imam,” ujar Michael.

Jika tidak mengundurkan diri sebagai imam, Michael akan diistilahkan seperti ulat yang tak bisa menetas menjadi kupu-kupu akibat konflik internal yang dihadapinya. Persoalan yang ia hadapi dengan atasannya saat itu memang sudah tak mungkin dapat diselesaikan secara baik.

“Tahun 1979 saya mengundurkan diri secara baik-baik. Surat dispensasi dari Paus baru turun tahun 1984,” kisah Michael. Selama lima tahun menunggu, ia hidup di luar biara (eksklausura), mengikuti proses hukum Gereja yang berlaku.

Dalam proses penantian tersebut, Michael mengabdikan diri sebagai dosen psikologi di Universitas Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Ia juga menjadi konselor di psikoterapis yang ada di Pusat Konseling Universitas Satya Wacana. Baginya, berkecimpung di dunia pendidikan seperti panggilan jiwa, di mana ia tetap dapat memuliakan nama Tuhan Yesus.

Setelah surat dispensasi ia terima, Michael kemudian pindah ke Surabaya, Jawa Timur. Ia tetap berkecimpung dalam dunia pendidikan. Sampai suatu saat, ia diminta oleh mantan anak didiknya untuk bergabung di perusahaan rokok. “Anak tersebut membawa amanat bapaknya, untuk mencari imam Utama. Mereka dulu memanggil saya imam Utama,” bebernya.

Ketika bekerja di perusahaan rokok, Michael membantu di bidang distribusi dan pengembangan usaha (business development). Ia bekerja sampai pensiun di sana. Selama bekerja, ia memegang prinsip untuk senantiasa ‘memanusiakan manusia’ pada seluruh karyawan. “Ini adalah semboyan hidup saya. Sama seperti waktu saya menjadi dosen, saya menjadikan mahasiswa itu sebagai subyek, bukan obyek,” tandasnya. Michael mengungkapkan, ia berusaha menanamkan keadilan sosial di manapun ia menjalani tugasnya. Ia berusaha untuk melaksanakan Ajaran Sosial Gereja secara konkret.

Perjalanan hidup sebagai awam membuatnya bermetamorfosa laksana ulat yang telah menyelesaikan fase kepompongnya dan menjadi kupu-kupu. Dengan mengepakkan sayapnya di dunia usaha, Michael tak hanya membesarkan perusahaan, melainkan dirinya pun ikut melambung. Setelah pensiun dari perusahaan rokok, ia menangani berbagai bidang usaha dan semua berjalan baik.

Terus Melayani
Di celah padatnya aktivitas pekerjaan, Michael banyak menggagas aktivitas kerohanian. Di lingkaran Gereja, ia turut meretaskan berbagai kelompok kategorial. Tahun 1977, ia mendirikan Pembaruan Karismatik Katolik Keuskupan Surabaya. Ia pun membidani lahirnya komunitas Profesional Usahawan Katolik (PUKAT) Surabaya pada 1989. Satu tahun berselang, ia mendirikan PUKAT Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) dan menjadi salah satu pengurusnya. Selain itu, ia berusaha memberikan diri dan terlibat sebagai Pengurus Lembaga Daya Dharma/Tri Asih. “Waktu itu, Mgr Leo Soekoto SJ meminta saya untuk aktif di KWI, ” tuturnya.

Michael juga ambil bagian sebagai Pengurus Yayasan Bhumiksara, DPU Komunitas Tritunggal Mahakudus, pendiri dan pengurus Gaudium et Spes Community (GSC), BOD Oikocredit (Micro Finance milik Dewan Gereja Sedunia & Vatikan).

Sementara dalam bidang pendidikan, Michael terlibat sebagai Dewan Penyantun Unika Widya Mandala Surabaya dan Dewan Penyantun Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Selain itu, ia masih terlibat dalam Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI).

Ketua I dalam Paguyuban TNI Mabes Angkatan Darat ini mengaku senang bisa melakukan sesuatu bagi sesama. Michael tak mau berpamrih atas apa yang ia lakukan. Ia selalu bersyukur, “Ini semua anugerah Tuhan!” Baginya, hidup itu waktu untuk terus belajar. Ia mengaku banyak belajar dari Frans Seda dan Anton Moelyono.

Tak Henti Bersyukur
Memasuki usia 70 tahun pada 8 Juni 2014, Michael tak henti bersyukur atas semua anugerah Tuhan dalam hidupnya. Ia merasakan, apapun yang menetas dan berbuah sungguh tak lain adalah rahmat Tuhan.

“Semoga saya masih diberi umur panjang. Saya merasa, ada cita-cita yang belum kesampaian. Dulu, saya, Gus Dur, dan Romo Mangun ingin mendirikan pesantren lintas agama yang bertujuan untuk saling mengenal dan menghormati. Belum sempat terlaksana, kedua teman saya itu sudah meninggal. Saya juga berharap bisa ada televisi Katolik dengan wawasan pluralis kemanusiaan. Dengan diberi umur panjang ini, saya akan tetap melakukan usaha. Bagi Tuhan tak ada yang mustahil,” tutur Michael.

Dalam hidup berkeluarga, ayah tiga anak ini pun senantiasa bersyukur –termasuk lima tahun terakhir ini ketika tak ada pembantu di rumahnya. Michael yang kini tinggal dengan istri dan putra bungsunya ini menikmati kebersamaan, pun dalam berbagi tugas di rumah. Sementara itu, dua buah hatinya yang lain sudah berkeluarga. Bersama si bungsu, ia bertugas membersihkan rumah dan mengepel lantai. Sang istri mendapat jatah untuk mencuci pakaian dan menyetrika.

Meskipun tak meneruskan langkah sebagai imam, Michael tetap bersyukur bisa menjadi awam yang terlibat dalam banyak kegiatan Gereja dan tetap bisa melayani sesama. Saat diperkenankan menjadi imam, ia merasa menerima rahmat Tuhan yang paling berharga dalam hidupnya. “Saya bahagia, tidak pernah kecewa. Masalah keluar itu pribadi. Tuhan punya rencana indah buat saya,” tandasnya.

Michael menambahkan, “Sebagai awam, saya diberi keluarga yang baik, istri serta anak-anak. Dan, saya tetap boleh melayani di dalam Gereja.” Rahmat keluarga ini terus dirasakannya sebagai rencana indah Tuhan bagi hidupnya. Ia berharap tetap bisa melayani, khususnya bagi Gereja.

Angela Rianti

HIDUP NO.23, 8 Juni 2014

1 KOMENTAR

  1. Apakah saya boleh mendapatkan nomor kontak bapak Michael Utomo, ingin bertemu beliau offline or online, saya pernah dibantu beliau tahun 1975 setelah tamat SMAK St. Louis, untuk melanjutkan kuliah. Terima kasih

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini