Diutus dalam Perlindungan

185

HIDUPKATOLIK.com Minggu 5 Agustus 2018, Renungan Minggu XVIII, Kel 16:2-4, 12-15; Mzm 78:3, 4bc, 23-24, 25, 54; Ef 4:17, 20-24; Yoh 6:24-35.

Dengan semakin kerap merayakan Ekaristi, tentunya kita semakin banyak menerima
Roti Hidup, dan semakin kita menghayati bahwa Kristuslah yang menguasai hidupku, tingkah lakuku dan perbuatanku.

PASTILAH tak seorangpun mau mati kelaparan. Banyak orang tentunya akan merasa lebih nyaman kalau mati kekenyangan. Tentulah, soal makanan bisa menjadi salah satu faktor terpenting untuk menentukan hidup-mati. Seperti dialami oleh bangsa Israel di padang gurun dalam perjalanan dari Mesir menuju Israel Tanah Terjanji.

Ketika mereka kehabisan makanan, mereka bersungut-sungut kepada Tuhan. Dulu di Mesir mereka biasa menghadapi kuali penuh daging dan tidak kekurangan roti dan minuman anggur. Situasi perjalanan yang panjang dan lama menjadikan mereka tidak tahan lagi akan penderitaan yang disebabkan karena kekurangan makanan dan minuman.

Tuhan segera menjawab kebutuhan pangan mereka. Melalui Musa Allah menyampaikan: ”Pada waktu senja kamu akan makan daging dan pada waktu pagi kamu akan makan roti sampai kenyang. Maka kamu akan mengetahui, bahwa Akulah Tuhan, Allahmu.” (Kel 16:11-12) Itulah mukjizat roti manna yang terjadi dalam perjalanan itu.

Mereka merasakan bantuan Allah yang menjadikan mereka tetap hidup dan mampu meneruskan perjalanan ke Tanah Terjanji. Yesus menghadapi orang-orang Israel yang mengikuti-Nya beberapa waktu. Mereka juga merasakan lapar dan Yesus membuat mukjizat penggandaan roti dan ikan.

Rupanya, hal inilah daya tarik bagi orang banyak. Mereka mencari Yesus dan mau mengikuti-Nya, karena mendapatkan makanan. Namun, Yesus mengetahui isi hati dan motivasi yang mendasari kemauan mereka. Mereka ingin memperoleh makanan untuk memuaskan rasa lapar tanpa harus bekerja. Oleh karena itu, Yesus meluruskan keinginan mereka, agar mereka bukan mencari makanan untuk hidup yang dapat binasa, melainkan untuk hidup kekal.

Yesus mengingatkan, bahwa nenek moyang mereka telah makan roti manna, namun mereka juga telah mati. Maka Yesus mengajak mereka bekerja untuk hidup yang tak dapat binasa, yang akan diberikan oleh Anak Manusia, karena Dialah yang telah disahkan oleh Allah Bapa. Tentu ajakan Yesus ini tidak mudah untuk dimengerti oleh orang banyak. Mereka pun bertanya: untuk itu apa yang harus dilakukan?

Yesus menjawab singkat: agar mereka percaya kepada-Nya, karena Dia Utusan Allah. Selanjutnya agar mereka lebih paham lagi Yesus yang mewahyukan Diri: ”Akulah Roti yang turun dari surga. Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi” (Yoh 6:35). Sabda Yesus ini, di satu pihak tidak langsung bisa ditangkap dan dimengerti dengan akal budi; namun di lain pihak harus dipercaya dan diimani dengan hati yang terbuka akan kebenarannya.

Apa yang disampaikan oleh Yesus ini selanjutnya diwariskan di dalam Gereja melalui para rasul. Pada Perjamuan Malam Terakhir sebelum sengsara dan wafat-Nya Yesus mengadakan perjamuan dengan mereka. Ketika memecah-mecahkan roti, dan memberikannya kepada para rasul Yesus menegaskan Diri-Nya sebagai Roti Hidup.

Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagimu dan inilah Darah-Ku yang ditumpahkan bagimu. Perjamuan ini menjadi dasar dan akar Perayaan Ekaristi selanjutnya. Melalui Ekaristi, Yesus mewariskan Diri-Nya sebagai Roti Hidup yang menyelamatkan bagi mereka yang beriman kepada-Nya. (bdk. Mat 26:26-29).

Dalam perkembangan Gereja Perjamuan Terakhir Yesus itu menjadi Perjamuan Ekaristi. Ajaran Gereja secara resmi menegaskan bahwa Ekaristi mengaktualkan kehadiran Kristus secara nyata dan menjadi santapan untuk hidup kekal orang beriman. Dengan menyantap Tubuh-Nya umat semakin diarahkan dan dibentuk menjadi serupa dengan Kristus.

Sama seperti St. Paulus dapat mengatakan: ”Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus hidup di dalam diriku” (Gal 2:20). Dengan semakin kerap merayakan Ekaristi, tentunya kita semakin banyak menerima Roti Hidup, dan semakin kita menghayati bahwa Kristuslah yang menguasai hidupku, tingkah lakuku dan perbuatanku.

Peranan Ekaristi menjadikan kita orang beriman yang penuh syukur karena memperoleh bekal untuk hidup yang kekal. Berdasarkan Sabda Yesus sendiri kita semakin yakin akan pentingnya makna Ekaristi untuk mempengaruhi dan mengarahkan kehidupan kita sehari-hari menuju perjamuan abadi di Rumah Bapa.

 

Mgr. A. M. Sutrisnaatmaka MSF
Uskup Palangkaraya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini