Mengelola Ingatan

174

HIDUPKATOLIK.com – Ada anggapan orang Indonesia pendek ingatan, cepat lupa. Buktinya bisa dilihat di media massa. Jika ada satu kasus mencuat, televisi, koran, tabloid, habis-habisan membahas, seperti tak ada perkara lain yang lebih mendesak. Begitu ada isu baru, kasus lama pun menguap begitu saja. Tak ada lagi yang menengok, bagaimana kasus itu dituntaskan. Lupa masa lalu bukan monopoli orang Indonesia. Tak jarang satu bangsa menghindar untuk mengingat masa lalu yang gelap, seperti Jepang ketika menghadapi tuntutan Iu Gun Ian Fu di daerah yang pernah diduduki di pada masa Perang Dunia II. Para ahli menyebut, amnesia sejarah atau gejala penolakan.

Berbeda dari media massa dan pemerintah, tidak semua warga dengan mudah menghapus ingatan yang menyakitkan. Korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, yang ganti ruginya diabaikan, membuat patung sosok yang mereka anggap paling bertanggung jawab atas ledakan lumpur sebagai tanda protes. Paguyuban Korban Mei 1998 pun menjahit boneka kecil untuk mengumpulkan ingatan pilu tentang anak dan perempuan yang menjadi korban. Ingatan kekerasan yang tersebar dari Aceh, Ambon, Kalimantan, sampai Papua masih menggerogoti ikatan sosial sehari-hari bangsa ini.

Mengingat masa lampau yang pedih, bukan tanpa risiko. Masa lalu dapat menjerat dan melumpuhkan. Psikolog, psikater, dan relawan pendamping tahu betapa susah mengatasi trauma. Derap langkah, baju dengan warna tertentu, membuat kaki orang yang pernah diciduk aparat negara gemetar, keringat bercucuran, dan mata terjaga semalam suntuk. Pemenang Nobel, novelis Toni Morrison, menyamakan kata mengingat dalam bahasa Inggris, to remember dengan re-member, mengumpulkan kembali angota tubuh yang terpotong-potong, dismembered oleh luka masa lalu. Morrison mengacu pada ingatan perbudakan yang mencabik-cabik tubuh manusia, yang membuat pelaku dan korban hilang kemanusiaan.

Tapi risiko lupa juga tidak kalah berat. Ada pepatah, hanya keledailah yang jatuh dua kali di tempat yang sama. Ternyata manusia rentan melakukan. Bukankah di kamar pengakuan dosa, kita juga mengulangi daftar yang itu-itu saja? Ingatan pendek dan keinginan mencari jalan pintas dari masalah masa kini bisa menyesatkan. Bandul sejarah cenderung berayun dari satu kutub ke kutub lain. Hiruk pikuk demokrasi diganti belenggu kekuasaan yang otoriter, cengkraman penguasa diurai dalam kebebasan yang “kebablasan”. Lalu, bagaimana kita bisa belajar dari masa lampau dan menjadi lebih arif lagi?

Diperlukan penyembuhan luka batin agar keluar dari jeratan masa lampau. Dalam novel Morrison, komunitas yang saling memaafkan dan memberdayakan adalah jalan keluar dari jepitan trauma. Diperlukan kebesaran hati dan kekuatan untuk mengubah skenario hidup dari posisi korban menjadi posisi penyintas. Untuk luka kolektif, diperlukan proses rekonsiliasi, agar kejahatan negara diakui, korban dipulihkan, dan rasa keadilan diberikan. Dengan begitu, babak baru bagi semua pihak bisa dimulai. Diperlukan sukacita untuk mensyukuri masa kini, iman dan semangat untuk mengubah masa depan.

Dari mana kekuatan besar untuk belajar dari dan berdamai dengan masa lampau itu datang? Dalam tradisi Gereja, sejarah amat penting. Perjanjian Lama bukan diingat sebagai fakta, melainkan dimaknai dalam paradigma baru yang memungkinkan tranformasi diri. Dalam keseluruhan misi penyelamatan yang mengatasi ruang dan waktu itu, Roh Kudus bekerja dalam diri manusia yang membuka hati untuk mengubah dunia.

Kekerasan hati dan pengorbanan manusia yang berpuncak pada penyaliban dihadirkan kembali dalam Ekaristi. Ekaristi bukan sekadar “peringatan”, tetapi pemulihan persatuan Allah dan umat dalam Gereja, dalam menjalani masa kini dan menata masa depan. Semoga kita bisa mengelola masa lalu dengan arif untuk menjawab tantangan masa kini dan menghadirkan Kerajaan Allah di dunia..

Melani Budianta

HIDUP NO.24, 15 Juni 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini