HIDUPKATOLIK.com – Yer. 13:1-11; Ul. 32:18-19,20,21; Mat. 13:31-35
INJIL Matius ditulis sekitar tahun 85-90, saat umat Kristen Perdana berhadapan dengan kebangkitan Yudaisme pasca penghancuran Kota Yerusalem tahun 70-an. Saat itu, baik Yudaisme maupun kekristenan sedang mengalami krisis identitas.
Berbekal pengalaman Perang Yahudi-Roma (tahun 66-73) dan hancurnya Yerusalem (bdk. Mat 22:7), Matius menekankan kekuatan tangan Allah yang melebihi upaya manusia. Itulah ciri utama Kerajaan Surga (dalam Matius 32 kali), yang melalui karya dan pewartaan Yesus tumbuh dan berkembang di luar perhitungan manusiawi.
Melalui perumpaan biji sesawi (Yun.sinapsis) yang sangat kecil, ditunjukkan bahwa Kerajaan Allah berkembang tidak hanya melampaui segala jenis sayuran (Yun. lachanon) lainnya, tetapi bahkan menjadi pohon (Yun. dendron) (ay. 32).
Lalu, dengan memakai gambaran pohon yang memberi naungan dari Yeh. 17:23 dan 31:6, Yesus menunjukkan bahwa di pohon sesawi itulah “burung-burung di udara datang dan bersarang pada cabang-cabangnya” (ay 33). Inilah gambaran arus manusia yang akan datang “dari Timur dan Barat untuk duduk makan bersama dengan Abraham, Ishak dan Yakub di dalam Kerajaan Sorga” (Mat. 8:11).
Ada warna optimisme iman akan karya Allah di saat krisis identitas, karena proses transformasi yang diciptakannya itu bagaikan ragi yang “dipendam (Yun. egkruptó) di dalam terigu” (ay.33); ia bertumbuh secara luar biasa!
Pertanyaannya, apakah kita bersedia menerima proses tersebut seperti yang diyakini oleh Paulus dalam 2 Kor. 4:7, yaitu bahwa “telah menjadi nyata kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami.” Atau sebaliknya, kita tetap mengandalkan kemampuan dan kekuatan diri sendiri seperti yang dilakukan oleh yudaisme menjelang akhir abad pertama?
Menjadi Kristen adalah membuka diri pada karya Ilahi; itulah makna doa “datanglah Kerajaan-Mu, jadikanlah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” (Mat. 6:10).
Henricus Witdarmono
M.A. Rel. Stud. Katholieke Universiteit te Leuven, Belgia