Petrus Suryo Pramono : Menerima Gelap untuk Menjadi Terang

457
Berbagi: Suryo mengajar komputer bicara untuk para tuna netra di Yayasan Mitra Netra Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Kehilangan penglihatan membuatnya kehilangan harapan hidup. Bertemu sesama tuna netra, semangatnya pulih, tak tenggelam dalam keterpurukan. Kini ia memantapkan langkah untuk ambil bagian melayani sesama tuna netra.

Tahun 1999, Petrus Suryo Pramono menempuh pendidikan di jurusan Manajemen Informatika, Universitas Gunadarma Jakarta. Ketika memilih jurusan itu, ia bercita-cita bisa membuat operating system sendiri.

Setahun berselang, penglihatannya mengalami penurunan. Ia berpikir itu hanya masalah mata yang akan teratasi dengan kacamata. “Ternyata dalam kurun setahun, penurunan penglihatan saya sangat cepat. Mata sebelah kiri sama sekali tidak bisa melihat. Mata sebelah kanan bisa melihat tapi kabur,” ungkap Suryo.

Pada 2001, Suryo pun memeriksakan diri ke dokter mata. Dokter menjelaskan, ia mengalami glaukoma, penyakit pada syaraf penglihatan yang menyebabkan luas pandangan menyempit dan dapat berakhir dengan kebutaan.

Mendengar penjelasan dokter, Suryo tak dapat menahan air matanya. Keyakinan bisa sembuh terselip di antara rasa sedih yang menyelimuti hatinya. “Saya ingin bisa sembuh. Awalnya, saya tidak tahu kalau penyakit itu tak bisa disembuhkan. Yang saya yakini, saya akan bisa melihat kembali. Harapan saya habis ketika saya tahu bahwa saya tidak bisa melihat. Saya putus asa,” ujarnya.

Meskipun sempat mengalami masa krisis, terpuruk, dan putus asa, perlahan semangat untuk menapaki jalan hidupnya tumbuh. Suryo pun bisa menerima keadaannya dan ambil bagian untuk melayani kepada sesama tuna netra, dengan cara berbagi apa yang ia mampu.

Tunas Harapan
Kehilangan penglihatan, menyisakan perasaan tak menentu, stres, tertekan, dan sedih. Baginya, tahun 2001-2002 menjadi masa transisi. Suryo menarik diri dari pergaulan dan memilih tinggal di rumah. Kuliahnya pun terbengkalai.

Kala itu, dukungan keluarga dan teman-teman di Muda-Mudi Katolik (Mudika, kini Orang Muda Katolik/OMK) Paroki St Aloysius Gonzaga Cijantung, Jakarta Timur terus mengalir. Dengan setia, mereka mendampingi dan menemaninya. “Harus ada satu orang yang membantu saya jika saya terbangun dari tidur karena saya tidak mengetahui hari masih malam atau sudah pagi. Keluarga bergantian menjaga saya dan menemani tidur. Teman-teman Mudika waktu itu juga ikut giliran menginap dan menemani saya,” kata anak ketiga dari empat bersaudara ini. Untuk mengisi waktunya di rumah, sang kakak mengajarkan membuat tas dari manik-manik dan rosario.

Pada Februari 2003, Suryo mendengarkan siaran radio mengenai pendidikan bagi kaum tuna netra. Semangatnya untuk belajar seolah terpompa. Ia menghubungi pihak radio untuk menanyakan nomor telepon bintang tamu atau pembicara dalam acara tersebut. Tapi harapannya memudar. Ia tak bisa mengantongi nomor telpon sang pembicara. Hingga suatu hari, Mas Adi –demikian Suryo menyapa pembicara itu– menghubungi dan menanyakan keperluannya. Suryo menceritakan keadaannya.

Bertemu Mas Adi menjadi babak penting dalam hidupnya. Semangat untuk maju dan bangkit dari keterpurukan kian bergelora. Suryo diajak bergabung dengan Laetitia, Biro Pelayanan Penyandang Cacat Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung Jakarta (BPPC LDDKAJ).

Pada Maret 2003, Suryo bergabung dengan Laetitia. Ia perlahan belajar huruf Braille dan bersosialisasi dengan anggota Laetitia yang lain. Ia juga menjadi anggota koor. Bertemu dengan teman-teman baru menciptakan kebahagiaan dan menumbuhkan tunas harapan di hatinya. Ia merasa dikuatkan dan memperoleh kepercayaan diri. Pun dapat menerima keadaan dirinya. “Saat berkenalan dengan teman- teman di Laetitia, saya mengetahui teman tuna netra bisa sekolah juga ya…dan bisa senang-senang seperti yang lain,” ujarnya sambil tertawa.

Turut Mendampingi
Selain di Laetitia, Suryo belajar komputer lagi di Yayasan Mitra Netra Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Inilah organisasi nirlaba yang memusatkan program pada upaya meningkatkan kualitas dan partisipasi tuna netra di bidang pendidikan dan lapangan kerja. Di sana, para tuna netra mendapat layanan rehabilitasi, pendampingan, pelatihan, kursus komputer bicara, ketenagakerjaan, belajar orientasi arah, dll.

Sejak Mei 2006 hingga kini, Suryo menjadi instruktur komputer bicara. Ia turut mendampingi para tuna netra bermain angklung. “Saya beri dasar-dasarnya. Baru pada 2012 saya mengajar bermain angklung. Hal ini juga menjadi sarana rehabilitasi,” tutur laki-laki kelahiran Jakarta, 4 November 1981 ini. Bermain musik bersama, lanjut Suryo, bisa menjadi metode untuk konseling dan menumbuhkan rasa kebersamaan. “Melalui kelompok, kita bisa saling menguatkan,” tandasnya.

Meskipun mendampingi para tuna netra di Yayasan Mitra Netra, Suryo tetap menyediakan waktu jika diminta bantuan Laetitia. Misal, untuk membantu sosialisasi mengenai penyandang disabilitas di Gereja. “Saya lahir dari sana (Laetitia-Red). Kalau di sana membutuhkan bantuan, pasti saya sediakan waktu,” kata trainner di Pusat Disabilitas Universitas Indonesia, Jakarta ini.

Jalan Tuhan
Dalam menjejakkan langkah mengarungi hidup, Suryo merasa ada babak-babak dalam hidupnya. “Kalau mau dibagi, seolah ada pembagian masa yang saya alami dalam hidup ini. Ada masa transisi atau masa krisis dan masa pemulihan. Saat ini saya refleksikan sebagai masa untuk melayani. Ini jalan Tuhan,” ungkapnya.

“Jalan hidup saya ini aneh… Tapi, saya berserah pada Tuhan. Saya percaya, dalam tiap rintangan dan masalah, pasti ada jalan,” tandas anggota tim quality control pembuatan alat bantu atau template surat suara dalam huruf Braille untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 ini.

Menghadapi segala masa dalam babak hidupnya, doa menjadi kekuatan penopang. Biasanya Suryo berdoa Rosario Peristiwa Mulia dan doa pribadi pada pukul 01.00 atau 02.00. Selain itu, ia mendaraskan Koronka pada pukul 15.00 bersama ibunya.

Suryo berharap, masa pelayanan ini bisa ia isi dengan pemberian diri bagi orang lain, khususnya tuna netra. “Saya merasa sangat bahagia ketika bisa mengubah pikiran negatif teman-teman menjadi pikiran positif. Proses membantu mengubah pikiran negatif hingga bisa menjadi positif itu yang saya nikmati. Itu kepuasan tersendiri bagi saya.”

Keinginan untuk terus melayani ini membuatnya berkeputusan untuk menempuh studi S-1 jurusan Bimbingan Konseling di Universitas Indraprasta PGRI, Jagakarsa, Jakarta Selatan (2008- 2012). Ia ingin membantu para tuna netra untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Juga untuk membantu rehabilitasinya.

Di balik pelayanan, ada keprihatinan yang mengetuk pintu hatinya. Suryo berharap, para tuna netra bisa berpenghidupan layak dengan mendapatkan pekerjaan layak. Selain itu, ia menggantung mimpi ingin membangun tempat yang bisa memberdayakan tuna netra, karena ada tuna netra yang punya keahlian tapi tak bekerja sesuai dengan keahliannya. Suryo terus menghidupi mimpi ini. Ia menyelipkan doa: “Tuhan, mampukan saya, untuk bisa membantu teman-teman tuna netra.”

“Saya juga berharap masyarakat bisa mengubah cara pandang terhadap tuna netra. Tuhan tak pernah menyediakan formulir menjadi tuna netra. Kami butuh dukungan. Semoga masyarakat bisa memanusiakan para tuna netra.”

Maria Pertiwi

HIDUP NO.27, 6 Juli 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini