Gendam Digital

203

HIDUPKATOLIK.com – Di era digital ini hidup manusia diringkas sedemikian rupa menjadi hanya selebar sabak. Di dalam sabak digital itu apa apa tersedia, dari teknologi hingga teologi, dari sekedar hiburan hingga bisnis milyaran, dari kebutuhan makan untuk hidup sampai peti untuk mati, semua tersedia. “Tuhan” dan setanpun bisa dihadirkan hanya dengan seguliran jari jempol.

Begitu ringkasnya kehidupan ini, hingga seolah manusia tak lagi butuh kehadiran fisik orang lain. Kehadiran mereka bisa didigitalkan melalui beragam media sosial dengan berbagai model dan fiturnya. Media sosial kini menjadi ajang eksistensi diri manusia. Aku ber-medsos maka aku ada.

Celakanya media sosial kini telah dijadikan medan perang bagi para pemburu kekuasaan. Peluru perang nafsu itu berwujud hoax. Karena fokus perhatian kita hanya seluas sabak, banyak di antara kita yang larut menjadi bagian dari milisi hoax. Kondisi inlah yang disebut gendam digital.

Gendam adalah sebuah upaya merekayasa level kesadaran orang lain, sampai titik tertentu hingga bisa dipengaruhi atau diarahkan agar melakukan perbuatan tertentu. Dahulu penggendam beroperasi di pusatpusat keramaian seperti di pasar pasar. Pada dekade yang lau penggendam beroperasi melalui telpon SMS dan surat. Sekarang gendam dilakukan secara masif melalui media sosial.

Tulisan ini hendak membahas mekanisme kerja gendam digital dari perspektif mekanisme kerja otak, dan sekelumit solusi bagaimana menghindarinya.

Hoax adalah sejumput informasi yang oleh pembuatnya diharapkan dikonsumsi oleh batang otak manusia, bukan neo cortex-nya. Informasi itu langsung dicerna oleh sekumpulan anyaman syaraf di batang otak. Otak reptil itu bertugas mendorong individu untuk lari atau menyerang sebagai respons atas stimulus dari lingkungan kita. Sedang neo cortex adalah sebuah tempat di kuncung kepala kita yang oleh nenek moyang disebut sebagai rumahnya hening, wening, bening, dimana logika bisa ditumbuhkan. Ketika informasi itu langsung dilalap otak reptil, maka dipastikan zonder logika.

Hoax itu mengandung “shortcut” yang mampu mem-by pass kesadaran (logika) manusia. Apa bentuk “short cut” itu ? Bentuknya adalah informasi yang mengaduk aduk afeksi seperti, rasa marah, takut, jijik dan emosi lainnya. Perasaan perasaan itu jika memuncak akan memudahkan gendam digital memengaruhi perilaku kita.

Langkah paling penting yang utama adalah memberikan jeda antara paparan informasi dan reaksi. Umumnya, hoax melibas orang orang yang tidak memberi jeda antara paparan informasi dengan reaksi. Dalam tingkat yang lebih mengenaskan bahkan diantara milisi hoax tidak membaca tuntas informasi yang diperolehnya, langsung menyebarkannya.

Memberikan jeda antara paparan informasi dengan reaksi setidaknya akan mengakibatkan dua hal, yaitu menurunnya eskalasi parasaan yang terinfeksi informasi itu dan selanjutnya akan merangsang berfungsinya neo kortex yang eling, hening bening tadi. Dengan memberikan jeda, kualitas respon yang kita berikan diharapkan akan menjadi lebih baik.

Ketika melakukan penjedaan, tariklah nafas dalam-dalam supaya otak kita kepenuhan dengan oksigen. Rasa gemuruh didalam dada setelah membaca sebuah informasi hoax menyerap bagitu banyak energi dan melahap kesadaran kita. Dengan memberikan asupan oksigen yang cukup, otak kita kembali berfungsi dengan normal, jantung tak lagi berdebam debam, otot lebih rilek dan kesadaran kita kembali pulang.

Bukankah kita selalu diingatkan untuk selalu kembali ke ke-DIAM-an. Kediaman juga berarti rumah. Jika kita percaya tubuh ini adalah rumah Allah, maka dengan sejenak diam, kita memberi waktu kepada Allah untuk bekerja atas tubuh kita.

R Budi Sarwono

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini