Wilhelmus Dumatubun : Nabo Waru yang Tulus Berbagi

315
Ambil Bagian: Wihelmus Dumatubun saat melayani sebagai prodiakon.
[Agustinus Belyanan]

HIDUPKATOLIK.com – Ia tidak tega melihat orang yang mengalami kesulitan. Perjalanan hidupnya ia hayati sebagai panggilan perutusan. Putra seorang katekis ini ingin menapaki jalan cinta, sebagaimana telah diteladankan Sang Guru yang rela sengsara.

Ketika duduk di bangku SMP, keinginan menjadi pastor sempat terbersit di benak Wilhelmus Dumatubun. Keinginan itu perlahan memudar. Cita-cita menjadi seorang guru justru kian memenuhi angan dalam hatinya.

Ketertarikan Wim, sapaannya, menjadi guru bukan semata karena ingin mengikuti jejak sang ayah yang mendedikasikan diri sebagai guru agama dan katekis. Angan itu menyeruak karena rasa prihatin yang menyembul di hatinya tatkala mengetahui tenaga guru di Kabupaten Mappi, Papua amat minim. Belum lagi, masalah buta huruf mengangkangi kehidupan masyarakat.

Dengan bulat hati, Wim memutuskan untuk melanjutkan pendidikan menjadi guru. Ia memeluk keyakinan, menjadi guru adalah panggilan Allah untuk menolong sesama, meskipun bukan menjadi guru agama dan katekis seperti ayahnya.

Kelahiran Kepi, Papua, 26 Agustus 1956 ini, ingin ambil bagian dan mengabdikan diri demi kemajuan masyarakat di kampung halamannya. Semangat pengabdian inilah yang mengantarkannya kemudian menduduki beberapa jabatan penting di pemerintahan, hingga dipercaya sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Mappi (2013-sekarang).

Bagi Wim, jabatan yang ia emban merupakan tugas yang dipercayakan Allah sendiri padanya. “Tuhan mempercayakan tugas-tugas ini karena Dia mencintai saya. Karena itu, saya harus mencintai tugas-tugas itu dengan penuh tanggung jawab supaya orang lain juga mengalami cinta Tuhan dalam pelayanan saya,” tandas Pembina SD-SMA Yohanes Paulus II Kepi ini. Wim berharap bisa terus melayani di manapun ia berada, baik dalam tugas kedinasan, Gereja maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Mengasah Kepedulian
Wim, sulung dari 14 bersaudara. Sejak kecil, ia diajari untuk belajar mandiri dan bisa membantu untuk mengurus adik-adiknya. Memasuki usia sekolah, sang ayah memasukkannya ke asrama yang dikelola para Suster Kongregasi Putri Bunda Hati Kudus (PBHK). Ayahnya mendaftarkan Wim di Sekolah YPPK Kepi sejak SD hingga SMP.

Kala itu, batin Wim sempat memberontak. Ia merasa keputusan sang ayah tidak tepat: jarak rumahnya ke sekolah sangat dekat dan baginya asrama hanya cocok untuk anak- anak dari kampung, bukan untuk dirinya. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa taat pada keputusan ayahnya.

Perlahan Wim mulai menikmati kehidupan di asrama. Pengalaman melakukan segala sesuatu secara bersama meninggalkan kesan tersendiri di hatinya. Berdoa bersama, makan bersama, susah dan senang bersama. Pengalaman hidup berasrama pun akhirnya menginspirasi Wim untuk belajar menjadi pribadi yang tidak egois, mandiri dan disiplin. Pengalaman hidup berasrama itu juga turut mengasah kepedulian dan kepekaannya terhadap keadaan orang lain. Ia tetap tinggal di asrama hingga menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru( SPG) YPPK Merauke, Papua dan menjadi seorang guru.

Usai lulus SPG, tugas pertama yang ia emban adalah mengabdi sebagai guru SD di kampung Gayu Kali Mappi (1976-1980). Dengan riang hati, Wim menerima tugas itu. Isu adanya perang dan pengayauan (kanibalisme atau berburu kepala manusia) antarsuku bahkan antarkampung yang marak terjadi–tak menyurutkan sedikit pun semangat Wim untuk mengabdi di sana. Masyarakat di kampung Gayu Kali Mappi menerimanya dengan baik dan ramah. Tahun 1980- 1983, ia dipindahkan dan bertugas sebagai guru di SD Inpres Kepi. Tiga tahun berselang, ia diangkat sebagai Kepala Sekolah di SD tersebut (1983-1994).

Setelah itu, Wim dipercaya menjadi Penilik (pengawas) Sekolah Dasar (1994-1997) dan menjadi Kepala Kantor Pendidikan dan Kebudayaan (Kandepdikbud) Obaa-Mappi (1998-2003). Beberapa jabatan di Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Mappi pun dipercayakan padanya: kepala bidang, sekretaris, hingga kepala dinas. Ia berusaha melaksanakan semua tugas dengan penuh tanggung jawab.

Di celah kesibukkannya, Wim menyediakan waktu untuk hening dan bertelut dalam doa. Ia selalu menyempatkan diri untuk memohon kekuatan dari Tuhan.

Wujud Kasih
Selain mengabdikan diri dalam dunia pendidikan, Wim juga ambil bagian dalam kegiatan di lingkungan dan Gereja. Ia termasuk salah satu aktivis Paroki Kristus Raja Kepi, Kevikepan Mappi, Keuskupan Agung Merauke. Bukan hanya terlibat dalam kegiatan dan doa lingkungan, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Mappi (2009-2012) ini aktif melayani sebagai prodiakon sejak 2006 hingga sekarang.

Sebagai prodiakon, Wim merefleksikan bahwa ketika sedang melayani untuk membagikan Komuni Kudus, ia merasa Tuhan sedang mengajaknya untuk terus berbagi dengan sesama yang kurang beruntung. Ini bukan sekadar menjadi refleksinya, melainkan sungguh mewujud dalam tindakannya. Pintu rumahnya senantiasa terbuka siang dan malam, menerima masyarakat sekitar yang kerap datang untuk sekadar minta makan dan minum atau bantuan lainnya. Dengan tangan terbuka, ayah dua anak ini menyambut mereka.

Terkadang hal itu menimbulkan protes dari keluarganya. Suatu ketika, anak sulungnya meminta sejumlah uang. Alih-alih mengabulkan permintaan si sulung, Wim justru menolaknya dengan tegas tapi juga memberikan penjelasan. Sejurus kemudian, Wim memberi sejumlah uang pada seseorang yang datang ke rumahnya. Orang itu kehabisan uang dan tak bisa melanjutkan perjalanan. Mengetahui hal itu, si anak merasa cemburu. Wim pun memberi pengertian pada anak dan keluarganya. Hal itu dilakukannya bukan karena ia melalaikan tugas sebagai orangtua. Ia malah ingin keluarganya bisa belajar untuk memprioritaskan nilai-nilai keselamatan.

“Saya mencintai keluarga saya, dan mereka sangat berarti dalam hidup saya. Namun, saya tidak tega melihat orang lain menderita dan membutuhkan pertolongan. Saat saya memiliki kemampuan untuk menolong, ya…kenapa tidak?! Saya tahu kepentingan anak saya tidak dalam keadaan mendesak. Karena itu, saya memilih mana yang lebih utama ditolong,” kata laki-laki yang melabuhkan hatinya pada Christina Sirken dan menikah pada 6 Januari 1985 ini.

Berusaha membantu mereka yang menderita dan butuh uluran tangan, menjadi nilai yang terus dihayati Wim sedari tinggal di asrama. “Yesus menebus seluruh manusia dengan sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya tanpa terkecuali karena cinta-Nya terhadap manusia. Sebagai pengikut-Nya, kita juga harus belajar mencintai semua orang sebagai saudara. Cinta itu dianugerahkan Tuhan bukan untuk dimiliki, tapi untuk dibagikan. Tidak penting apa yang kita miliki, tapi sejauh mana hidup kita penting bagi orang lain dengan apa yang kita miliki,” paparnya. Karena kepedulian dan kepekaannya, julukan “Nabo Waru” (Bapa Sayang) pun disematkan oleh masyarakat asli Papua padanya. Sementara, pada pendatang sering menyebut Wim sebagai Dewa Fortuna atau Malaikat Penolong.

Selain membantu masyarakat di sekitarnya, Wim juga berkontribusi untuk parokinya. Ia menyerahkan sebidang tanah miliknya sebagai aset paroki. Ia juga turut ambil bagian dalam pembangunan arca Kristus Raja di Kampung Lama Kepi (2002) dan Gua Maria di Stasi Aham, Paroki Kristus Raja yang diresmikan pada Oktober 2010.

Wim berharap bisa terus memberikan diri dalam pelayanan. Juga terbuka untuk berbagi berkat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya untuk sesama. Ia menandaskan, dirinya tak ingin hidup melulu demi kepentingan pribadi. Ia ingin mengabdikan diri dengan penuh kasih bagi Tuhan, Gereja dan masyarakat pada umumnya.

Agustinus Belyanan

HIDUP NO.30, 27 Juli 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini