Konsistori Kardinal Baru 2018: Wajah Universal Gereja Baru

875
Paus Fransiskus menyapa Uskup Agung Emeritus Xapala Meksiko Kardinal Sergio Obeso Rivera saat Konsistori 29 Juni 2018.
[www.thedialog.org]

HIDUPKATOLIK.com Paus Fransiskus setia berjibaku melukis wajah Gereja Universal dengan mengangkat para penasihat utamanya. Mereka ini dipilih dari berbagai latar dengan berbagai kejutan dan makna mendalam.

KABAR suka cita menyusup masuk relung hati Gereja Katolik di Pakistan. Umat Katolik yang hanya berkisar satu persen dari total populasi penduduk di negara itu seolah dirangkul Paus Fransiskus. Bapa Suci mengangkat Uskup Agung Karachi Mgr Joseph Coutts menjadi Kardinal.

Keputusan ini dinilai sebagai suatu bentuk penghormatan Paus terhadap minoritas Gereja Katolik Pakistan yang hidup di tengah 209 juta jiwa mayoritas umat Islam. Menanggapi pengangkatannya, Mgr Coutts –seperti dilansir cruxnow.com–mengungkapkan, bahwa kegembiraan tidak hanya dirasakan oleh umat Katolik di Pakistan, tetapi juga umat non-Katolik yang mengetahui arti seorang Kardinal.

Belarasa umat non-Katolik ini merupakan buah perjuangan Mgr Coutts bersama Gereja Katolik di Pakistan, yang setia menyuarakan kasih, persaudaraan, dan damai di tengah umat Muslim. Uskup Agung kelahiran Amritsar, Punjab, India bagian barat laut, 21 Juli 1945 ini telah menyemai bibit persaudaraan dengan umat Muslim hampir tiga dekade terakhir sejak diangkat sebagai Uskup Koadjutor Hyderabad, 5 Mei 1988.

Imam Keuskupan Agung Lahore ini cukup dikenal di kalangan para pemuka umat Islam ketika menduduki Takhta Keuskupan Hyderabad pada 1 September 1990. Mgr Coutts adalah Kardinal kedua Pakistan. Sebelumnya, Pakistan memiliki seorang Kardinal yang diangkat oleh Paus Paulus VI pada 5 Maret 1973, yaitu Kardinal Joseph Marie Anthony Cordeiro (1918-1994), Uskup Agung Karachi kala itu.

Kardinal Cordeiro wafat pada 11 Februari 1994 dan sejak saat itu Pakistan tak lagi memiliki Kardinal. Kini, selang 24 tahun, Takhta Keuskupan Agung Karachi akhirnya mendapatkan “topi merah” lagi.

Suka cita Gereja “Pinggiran” 
Persekusi terhadap umat Allah–bahkan lebih parah–juga dialami Gereja di Irak. Kondisi ini menjadi perhatian Paus Fransiskus sehingga ia pun menganugerahi satu Kardinal baru bagi Irak.

Nama sang Kardinal baru ditempatkan di urutan pertama dari 14 Kardinal yang ia angkat, sesaat setelah mendoakan Regina Caeli bersama para peziarah di Vatikan, 20 Mei lalu. Dialah Patriark Babilonia, Louis Raphaël I Sako. Pengumuman yang jatuh pada Hari Raya Pentakosta itu seolah menjadi tanda lahirnya Gereja.

Memaknai kelahiran Gereja ini, Bapa Suci ingin menunjukkan sisi universalitas Gereja melalui pilihan Kardinal baru yang dicomot dari berbagai belahan dunia, di mana Gereja hidup, bahkan sedang berjuang dalam penganiayaan. Inilah yang dialami Gereja di Irak sejak invasi Amerika Serikat tahun 2003 ke negeri ladang minyak tersebut.

Saat invasi terjadi, umat Kristiani di Irak berjumlah sekitar enam persen atau 1,5 juta jiwa dari total populasi 37 juta penduduk. Namun, kini jumlah itu mungkin tinggal tersisa separuh.

Sambutan hangat pengangkatan Patriark Sako sebagai Kardinal ini menghiasi berbagai media internasional. Dalam sejarah, Patriark Sako merupakan Kardinal ketiga dari Irak. Kardinal pertama asal Irak adalah Patriark Antiokhia (Gereja Katolik Siria) Ignace Gabriel I Tappouni (1879-1968); dan yang kedua adalah Patriark Babilonia (Gereja Katolik Khaldea) Emmanuel III Delly (1927-2014).

Banyak pihak menilai bahwa pengangkatan Patriark Sako merupakan bentuk apresiasi dan dukungan Takhta Suci terhadap perjuangan Gereja di Irak. Patriark kelahiran Irak, 4 Juli 1948 ini tak kenal lelah menyerukan perdamaian dan rekonsiliasi di Irak.

Ia juga mengutuk segala bentuk teror yang dilakukan ISIS, dan berani menyuarakan dengan tegas agar negara-negara Islam tidak tinggal diam menghadapi terorisme global.

Uskup Agung Baghdad (Khaldea) ini menerima Defensor Fidei Prize (2008) dan Pax Christi Award (2010) atas perjuangannya mempertahankan iman dan menegakkan perdamaian.

Saat ini, Patriark Sako memikul tanggung jawab sebagai Kepala Sinode Gereja Katolik Khaldea sedunia dan Kepala Majelis Para Uskup Irak. Kegembiraan yang senada juga dirasakan umat Katolik di Jepang. Dengan populasi umat Katolik yang kecil seperti
di Irak dan Pakistan, mereka dianugerahi Kardinal baru.

Uskup Agung Osaka Kardinal Thomas Aquinas Manyo saat bertemu dengan dua orang suster berkebangsaan Jepang seusai konsistori. [www.thecourierexpress.com]
Bapa Suci mengangkat Uskup Agung Osaka Mgr Thomas Aquino Manyo Maeda. Kardinal keenam dalam sejarah Gereja Katolik Jepang ini juga menjabat sebagai Wakil Ketua Konferensi Waligereja Jepang sejak 2016.

Tiga Kardinal baru dari Asia ini menunjukkan pilihan Paus Fransiskus terhadap komitmen dan perhatiannya pada Gereja di Asia. Setidaknya, ia telah menjejakkan kaki di Asia dalam kunjungan apostolik sebanyak empat kali sejak duduk di Takhta St Petrus, yaitu di Korea Selatan, Filipina, Sri Lanka, Myanmar, dan Bangladesh.

Populasi minoritas umat Katolik yang mendapat anugerah Kardinal baru adalah Madagaskar. Uskup Agung Toamasina, Mgr Désiré Tsarahazana menjadi Kardinal pertama di Toamasina dan Kardinal keempat asal Madagaskar. Selama ini, biretta merah jatuh pada Uskup Agung Antananarivo.

Ketua Konferensi Waligereja Madagaskar ini menggembalakan umat Katolik di tengah mayoritas jemaat Protestan di negara pulau yang terletak di sebelah Tenggara Afrika ini.

Pilihan Solidaritas
Pilihan Kardinal dari pinggiran bukanlah kebiasaan para pendahulunya, seperti Irak, Pakistan, Jepang, Madagaskar, Peru, Polandia (Italia dan beberapa pejabat Vatikan).

Menurut Bapa Suci, pilihan ini menunjukkan universalitas Gereja, yang terus menggemakan cinta dan belas kasih Allah hingga ke ujung bumi. Jika mengikuti tradisi yang selama ini berlangsung, lebih mudah Paus Fransiskus memilih para Kardinal dari takhta-takhta keuskupan metropolit besar di Eropa dan Amerika.

Misalnya, Uskup Agung Milan, Italia Mgr Mario Enrico Delphini justru dilewati. Bapa Suci lebih memilih Uskup Agung L’Aquila Mgr Giuseppe Petrocchi sebagai Kardinal baru. Padahal, Milan merupakan keuskupan metropolit yang telah menghasilkan beberapa Paus, seperti Paus Alexander II (1018-1073), Paus Pius IV (1499-1565), Paus Pius XI (1857-1939), dan Paus Paulus VI (1897-1978).

Namun, L’Aquila justru dipilih untuk menguatkan hati umat akibat gempa bumi yang beberapa tahun terakhir mendera Gereja di sana. Hal yang sama terjadi bagi Uskup Leiria-Fátima, Portugal Mgr António Augusto dos Santos Marto. Wakil Ketua Konferensi Waligereja Portugal inilah yang menyambut kedatangan Paus Fransiskus ketika kunjungan apostolik ke Fátima pada 12-13 Mei 2017, dalam rangka kanonisasi dua bocah yang mendapat penampakan Bunda Maria Fatima, Francisco, dan Jacinta Marto. Alasan mendasar pilihan ini rasanya terkait dengan devosi Bapa Suci yang begitu mendalam kepada Bunda Maria.

Ada dua negara Amerika Latin yang pernah dikunjungi Paus juga mendapat anugerah Kardinal baru, yaitu Peru dan Meksiko. Uskup Agung Huancayo, Peru Mgr Pedro Ricardo Barreto Jimeno SJ merupakan pilihan yang memerhatikan komunitas penduduk asli Amerika Latin.

Dalam lawatan apostoliknya pada 18-21 Januari 2018, Bapa Suci bertemu komunitas masyarakat adat dan berdialog dengan mereka. Etnis dan budaya yang mulai tergerus modernisasi ini juga berdampak pada lingkungan di sekitar wilayah Amazon. Isu pinggiran ini pun menjadi fokus pastoral kegembalaan Paus Fransiskus.

Selain Peru, Uskup Agung Emeritus Xalapa, Veracruz, Meksiko Mgr Sergio Obeso Rivera diberi juga penghormatan dengan penyematan biretta merah. Dialah salah satu dari tiga Kardinal baru yang sudah berumur di atas 80 tahun (nonvoting). Dua lainnya adalah Uskup Emeritus Corocoro,  Bolivia Mgr Toribio Ticona Porco dan Mgr Aquilino Bocos Merino CMF.

Ketika ditunjuk sebagai Kardinal, Mantan Superior Jenderal Claretian (1991-2003) asal Spanyol itu masih berstatus imam. Ia lalu dianugerahi gelar Uskup Agung Tituler Urusi dan menerima tahbisan episkopal pada 16 Juni 2018.

Giliran Kuria Roma
Dalam konsistori kali ini, ada empat pejabat Kuria Roma yang mendapat giliran memakai biretta merah. Yang jelas langsung terlihat adalah Jesuit asal Spanyol yang duduk sebagai Prefek Kongregasi Doktrin dan Ajaran Iman Mgr Luis Francisco Ladaria Ferrer SJ; dan Vikaris Jenderal Keuskupan Roma Mgr Angelo De Donatis.

Sementara itu, dua Kardinal baru lainnya terkesan tidak lazim. Baru pertama dalam sejarah, seorang Almoner Kepausan berdarah Polandia diangkat menjadi Kardinal, yaitu Mgr Konrad Krajewski. Lalu, Wakil Sekretaris Negara-Kota Vatikan yang akan menggantikan Kardinal Angelo Amato SDB sebagai Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus per 31 Agustus 2018, Mgr Giovanni Angelo Becciu. Kardinal baru yang diangkat ini diantaranya terdapat 11 elektor (usia rata-rata: 68,6 tahun).

Ketidaklaziman tersebut juga terlihat dari adanya beberapa pejabat teras di Kuria Roma yang belum Kardinal. Padahal, dalam tradisi hingga Paus Benediktus XVI, jabatan-jabatan tersebut biasanya diisi oleh para Porporati, sebutan bagi para Kardinal karena pakaian mereka yang berwarna merah darah (porpora).

Kardinal yang baru saja terpilih pada Konsistori 29 Juni 2018 mengadakan kunjungan kepada Paus Emeritus Benediktus XVI (kiri). [www.zenit.org]
Mereka antara lain Mgr Filippo Iannone OCarm, Presiden Dewan Kepausan untuk Teks Hukum, yang baru diangkat menggantikan Kardinal Francesco Coccopalmerio pada 7 April 2018; Mgr Salvatore Fisichella, Presiden Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru, yang sudah menduduki pos ini sejak 30 Juni 2010; Mgr Jean-Louis Burguès OP, Kepala Arsip Rahasia dan Perpustakaan Vatikan sejak 26 Juni 2012.

Kolegium Kardinal
Konsistori yang digelar 28 Juni 2018 ini diamini banyak pihak bahwa pilihan Paus Fransiskus sungguh ingin menunjukkan sisi universalitas Gereja. Lagi-lagi, Paus dari Amerika Latin ini membuat hal baru. Selain menambahkan seorang Kardinal-Patriark Babilonia dalam gradus Kardinal-Uskup, ia mengangkat empat Kardinal-Uskup baru.

Padahal selama ini, Kardinal-Uskup dari ritus Latin hanya berjumlah enam sesuai gelar tituler yang diambil dari Keuskupan Suburbikaris, yaitu Albano, Sabina-Poggio Mirteto, Porto-Santa Rufina, Veletri-Segni, Frascati, dan Palestrina.

Lalu, salah satu pemegang gelar Suburbikaris yang menjadi Dekan Kolegium juga mengampu gelar tituler Kardinal-Uskup Ostia. Dalam konsistori kali ini, Paus Fransiskus menambahnya menjadi 10 Kardinal-Uskup.

Gradus kedua yaitu Kardinal-Imam, berjumlah 177 Kardinal; dan gradus ketiga yaitu Kardinal-Diakon berjumlah 35 Kardinal. Maka, Kolegium Kardinal per konsistori 28 Juni 2018 berjumlah 226 Kardinal, yang terdiri dari 125 Kardinal elektor dan 101 Kardinal nonvoting.

Kardinal elektor berusia di bawah 80 tahun serta memiliki hak untuk dipilih dan memilih dalam konklaf. Hingga Oktober 2019, jumlah Kardinal elektor ini akan berkurang 10 Kardinal karena telah mencapai usia 80 tahun. Artinya, jumlah 125 Kardinal elektor saat ini masih mempertahankan tradisi sejak Paus Paulus VI yang menetapkan kisaran angkat 120 untuk jumlah Kardinal elektor.

Sementara itu, jika dilihat dari periode pengangkatan para Kardinal, saat ini Kardinal yang diangkat Paus Frasiskus berjumlah 74 Kardinal, 59 elektor dan 15 nonvoting. Kardinal yang diangkat oleh Paus Benediktus XVI berjumlah 75 Kardinal, 47 elektor dan 15 nonvoting.

Masa kepausan mendiang Bapa Suci Yohanes Paulus II masih menyisakan 77 Kardinal, 19 elektor dan 58 nonvoting. Dari total jumlah Kardinal, 97 Kardinal masih aktif sebagai ordinaris wilayah, 35 Kardinal menjabat di Kuria Roma, dan 94 Kardinal sudah memasuki masa purnakarya.

Konsistori pengangkatan Kardinal baru yang kelima masa pontifikat Paus Fransiskus sejak 2014 ini terus membawa kejutan dan mengubah konstelasi persebaran Kardinal. Memang Eropa dan Amerika Utara masih mendominasi, tetapi sudah mulai terjadi pergeseran ke arah Amerika Tengah dan Selatan, Asia dan Afrika.

Eropa masih memiliki 107 Kardinal (53 elektor dan 54 nonvoting). Jumlah Kardinal dari Amerika Utara relatif tetap sejak masa kepemimpinan Paus Fransiskus, yai tu 26 Kardinal (17 elektor dan sembilan nonvoting). Amerika Tengah dan Selatan punya 35 Kardinal (18 elektor dan 17 nonvoting).

Afrika memiliki 26 Kardinal (16 elektor dan 10 nonvoting). Jumlah ini sama dengan Asia hanya berbeda konfigurasi, yaitu 17 elektor dan sembilan nonvoting, termasuk Kardinal nonvoting asal Indonesia, Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja SJ, Uskup Agung Emeritus Jakarta, yang kini tinggal di Wisma Emmaus Girisonta, Ungaran, Semarang, Jawa Tengah.

Oceania punya enam Kardinal (empat elektor dan dua nonvoting). Perubahan konstelasi ini semakin menegaskan cita-cita Paus Fransiskus yang setia berjibaku melukis wajah Gereja Universal, merangkul dan bersolidaritas dengan yang lemah, serta menjadi suara bagi yang tak mampu bersuara.

 

R.B.E. Agung Nugroho

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini