Kerajaan Seribu Tahun

847

HIDUPKATOLIK.com – Dalam penjelasan tentang Kerajaan Seribu Tahun dalam HIDUP No. 34, 24 Agustus 2008, ungkapan “seribu tahun” dimaknai sebagai suatu masa yang sudah dimulai dan sedang berlangsung sesuai rencana Allah. Bolehkah ungkapan Kerajaan Seribu Tahun (Why 20:1-10) secara sederhana disamakan dengan Kerajaan Allah?

Ellentarius Vicky, Surabaya

Pertama, ajaran tentang Kerajaan Seribu Tahun (Yun: chiliasme; Lat: milleniarisme) memang sangat tergantung pada makna yang diberikan pada ungkapan “seribu tahun”. Jelas panafsiran historis harafiah ditolak dan dilarang Gereja pada 1944. Menurut saya, memang bisa dibenarkan pemaknaan bahwa “seribu tahun” mengungkapkan sifat Allah, sehingga Kerajaan Seribu Tahun, secara sederhana berarti Kerajaan Allah.

Kedua, seribu sebagai sifat Allah bisa dibenarkan jika kita memperhatikan 2 Ptr 3:8 “di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari” dan juga Mzm 90:4 “Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin….” Kita bisa menyimpulkan, ukuran Tuhan tidak sama dengan ukuran manusia. Karena Allah itu maha agung dibandingkan manusia, maka jika dibandingkan antara Allah dan manusia, bagi Allah berlaku angka seribu dan bagi manusia berlaku angka satu. Jika demikian, angka seribu itu merujuk kepada sifat-sifat Allah.

Penafsiran ini juga bisa dibenarkan jika kita mempertimbangkan usia Adam, yaitu 930 tahun (Kej 5:5). Tentu saja angka ini tidak boleh ditafsirkan sebagai angka nominal tetapi sebagai angka simbolis. Angka seribu adalah angka ilahi, sifat Tuhan. Adam diciptakan menurut citra Allah (Kej 1:27), karena itu Adam mempunyai karakter ilahi dan seharusnya berumur seribu tahun. Karena Adam jatuh ke dalam dosa, maka Adam kehilangan anugerah kebakaan. Angka tujuh puluh adalah masa hidup manusia (bdk. Mzm 90:10). Karena jatuh ke dalam dosa, maka karakter ilahi dalam Adam bercampur dengan kefanaan manusia, yang disimbolkan dengan 1000 dikurangi 70, sehingga menghasilkan angka 930. Itulah usia Adam, yang menunjukkan kecitraan ilahi yang sudah dikurangi dengan kefanaan manusia.

Ketiga, jika demikian, maka Kerajaan Seribu Tahun berarti Kerajaan Allah. Untuk menafsirkan ayat-ayat lain dari Why 20:1-10, kita perlu tahu sifat Kerajaan Allah yang sedang bergulir sesudah kebangkitan Yesus. Kedatangan Yesus yang berpuncak pada sengsara, wafat dan kebangkitanNya menunjukkan, peristiwa eskatologis sudah dihadirkan dan terus berkembang dalam sejarah saat ini. Karena itu, unsur eskatologis dirajut bersama dengan peristiwa historis untuk menggambarkan dua sifat, eskatologis dan historis, dari jaman kita. Karena itu kronologis kemunculan teks sama sekali tak menunjukkan kronologi peristiwa.

Kebangkitan pertama (ay 5) adalah kebangkitan Kristus yang telah mengalahkan si ular tua, yaitu Iblis dan Setan (ay 2). Kebangkitan mereka yang telah bersaksi tentang Yesus dan karena Firman Allah menggambarkan kebahagiaan para kudus yang sudah dibangkitkan bersama dengan Kristus (ay 4). Sedangkan orang-orang mati itu (ay 5) adalah gambaran tentang keadaan di dunia ini yang masih bergumul menuju akhir jaman. Kematian kedua (ay 6) merujuk pada akhir hidup setiap orang, dengan pengandaian bahwa kematian pertama adalah kematian bersama Kristus ketika kita dibaptis. Pada saat itu, kita juga dibangkitkan dan dijadikan selama di dunia ini sebagai “imam-imam Allah dan Kristus” (ay 6).

Ayat 7 tentang Iblis yang dilepaskan kembali merujuk pada kenyataan historis saat ini, yaitu meskipun Iblis atau ular tua sudah dikalahkan tapi Iblis itu masih menggoda manusia sampai akhir jaman. Jadi, Why 20:1-10 memberikan gambaran aktual Gereja sekarang yang sudah ditebus dan dibebaskan, tapi masih bergumul menuju pembebasan final. Kerajaan Allah sudah datang tapi belum penuh. Sifat eskatologis dan historis ini yang digambarkan ayat-ayat tersebut..

RP Petrus Maria Handoko CM

HIDUP NO.32, 10 Agustus 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini