Penghasilan Istri Lebih Tinggi

375

HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh, saya memiliki kakak yang berpenghasilan lebih rendah daripada istrinya. Karena itu, ia kemudian mendapat perlakuan kurang baik dari istrinya. Sebagai suami, ia tidak dihargai dan dihormati. Bahkan, istrinya pernah mengirim sms berisi penegasan bahwa kakak saya tidak berhak atas anaknya dengan alasan dirinyalah yang telah bekerja membanting tulang untuk menghidupi anak-anak mereka. Perlakuan tersebut, bahkan tidak hanya terhadap suaminya saja, tetapi juga kepada saya sendiri dan ibu kami.

Kakak saya bukan pemalas. Ia juga sudah bekerja keras, namun tempat kerjanya memang kurang memiliki prospek yang baik. Melihat kondisi rumah tangganya ini, kakak saya sudah bertekad untuk terus bersabar. Saya sendiri selalu mendoakan agar ada mukjizat dalam keluarga mereka. Kami mohon masukan pengasuh, berkaitan dengan masalah yang menimpa kakak saya tersebut.

Wiwien SR, Jakarta

Sdri Wiwien yang terkasih, perihal karir dan penghasilan istri yang lebih tinggi dari suami memang bisa menimbulkan problem rumah tangga. Namun, tidak selalu demikian. Nyatanya, banyak pasutri yang tetap harmonis kendati karir/ penghasilan istri lebih tinggi. Salah satu kuncinya adalah kematangan hidup rumah tangga. Wujud sikap konkretnya adalah kesediaan melakoni realitas berumah-tangga yang diimplementasikan dalam berbagai kesepakatan pengelolaan rumah-tangga. Misalnya dalam hal sumber perekonomian/logistik, urusan/ tugas rutin di rumah, perawatan pengasuhan anak, relasi dengan masyarakat, dsb.

Rumah tangga adalah sebuah bentuk “organisasi” kecil yang di dalamnya mensyaratkan kesadaran (awareness) pembagian peran serta tanggung jawab dari anggotanya. Kesadaran itu, selanjutnya diwujudkan dalam sikap, tindakan dan kerelaan untuk menjalankan peran yang telah disepakati. Tak sedikit pasutri yang telah sekian lama “berstatus” berumah-tangga belum memiliki kesadaran tersebut. Rumah-tangganya berjalan begitu saja berdasar naluri dan ‘feeling’ subjektif masing-masing pihak.

Bagi pasutri yang hidupnya (finansial, rumah, fasilitas hidup lainnya) masih ditopang orang tua/mertua sebagaimana terjadi pada sebagian pasangan muda masa kini; situasi kehidupan rumah tangganya serba-improvisasi dan nampak “happy-happy” saja. Tetapi, bagi pasutri yang sepenuhnya harus mandiri, perlahan atau cepat ekses problem kerumahtanggaan bakal muncul bila tak diantisipasi sejak awal. Ada banyak pasutri di sekitar kita dengan situasi karir atau penghasilan istri lebih tinggi dari suami. Bahkan, sang istrilah yang berperan sebagai tulang-punggung keluarga, nyatanya relatif tak bermasalah seperti yang terjadi pada keluarga kakanda. Kondisi ini tercapai ketika masing-masing pihak menyadari peran dan tanggung jawabnya. Di sini berlaku prinsip saling menyeimbangkan dan saling mengisi.

Menurut perkiraan saya, ada hal penting namun kurang dipedulikan selama ini, yaitu: proaktivitas komunikasi antara kakanda (sebagai suami) dengan kakak ipar (sebagai istri). Minimnya komunikasi proaktif yang kian menumpuk di antara mereka saat ini “menetas” menjadi ketegangan relasi yang malah memblokir komunikasi itu sendiri. Salah satu indikatornya adalah soal hak atas anak-anak yang statementnya dikirim via sms. Mungkin ada hal yang kurang pas dalam komunikasi mereka. Oleh karena itu, untuk menyikapi “problem rumah tangga” kakanda, yang paling urgen adalah memprioritaskan upaya mendukung terjadinya komunikasi proaktif antara kakanda dengan sang istri.

Doronglah kakanda untuk berani berkomunikasi dialogis dengan istri, apa pun tanggapan istrinya. Bila segala cara belum juga mendukung keberanian kakanda untuk berdialog dengan sang istri, carilah figur mediator atau fasilitator yang tepat. Bisa dari kalangan keluarga, atau pihak yang memiliki kompetensi untuk membantu kakanda. Soal sikap tak simpatik istri kakanda sebagai kakak ipar, baik terhadap keluarga Anda dan Ibunda itu soal sekunder. Pahami saja bahwa keluarga Anda dan Ibunda sesungguhnya bukan sasaran tembak dari sikap dan perlakuan kakak ipar Anda. Jangan biarkan emosi Anda terseret dalam pusaran problem rumahtangga kakanda tersebut.

Tentang probabilitas kesejahteraan jiwa anak-anak kakanda nantinya dan tentang Ibunda yang kepikiran mengenai sikap menantunya, semua itu akan menjadi bagian satu paket dari dan dengan dimulainya komunikasi dialogis antara kakanda dengan istrinya. Selamat mengupayakan dukungan untuk kakanda.

H.M.E. Widiyatmadi

HIDUP NO.32, 10 Agustus 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini