HIDUPKATOLIK.com – Hampir tiap hari, kita disuguhkan berita tentang kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat 279.760 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2013 di Indonesia. Korban terbanyak adalah ibu rumah tangga, pelajar, buruh di sektor informal, guru, pegawai negeri sipil, petani dan anggota POLRI. Sedangkan pelaku terbanyak adalah dari kalangan wirausaha, karyawan swasta, pegawai negeri sipil, polisi, pelajar, dan petani. Komnas Perempuan juga mencatat ada pelaku dari kalangan tokoh agama, anggota DPR/D, serta guru (Komnas Perempuan, 2012).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis. Ancaman tindakan semacam itu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, 1993). Wujud dari tindakan kekerasan terhadap perempuan mencakup antara lain pemerkosaan, pelecehan seksual, pengancaman, pemukulan, perdagangan perempuan, dan pembunuhan.
Berbagai upaya dilakukan untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Berbagai organisasi non-pemerintah juga dibentuk khusus untuk mengadvokasi hak perempuan dan penghapusan kekerasan. Seperti Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang membentuk Jaringan Mitra Perempuan guna melakukan pemberdayaan dan advokasi bagi perempuan korban kekerasan. KWI juga memiliki Komisi Keadilan dan Perdamaian yang antara lain mendukung upaya advokasi perempuan korban kekerasan.
Pada tataran kelembagaan negara, Komnas Perempuan yang berdiri pada 1998 melalui Keputusan Presiden No. 181/1998 merupakan wujud kepedulian negara terhadap angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang tinggi. Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menanggapi masalah kekerasan terhadap perempuan, yang dipicu kekerasan seksual saat kerusuhan Mei 1998. Pemerintah juga membentuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan mandat utama pengarusutamaan perspektif gender ke berbagai tataran kebijakan dan program pemerintah, serta peningkatan perlindungan hak perempuan dan anak.
Upaya pembaruan hukum yang berhubungan dengan hak perempuan di Indonesia diawali dengan ratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) melalui penetapan UU No. 7/ 1984. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik, Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta menetapkan UU tentang Hak Asasi Manusia No. 39/1999 dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) No. 23/2004.
Masalah kekerasan terhadap perempuan masih belum banyak berkurang, bahkan mungkin meningkat. Komnas Perempuan mengindentifikasi satu titik lemah dari upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah sistem pendataan nasional atas masalah ini belum memadai.
Selain itu, penegakan hukum dalam penanganan masalah ini belum efektif, bahkan masih terjadi kriminalisasi terhadap korban. Permasalahan mendasar lain adalah budaya patriarki yang masih dominan yang memposisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai kewajaran, sehingga membungkam korban perempuan. Artinya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Mari mulai dari diri kita, keluarga, lingkungan Gereja, sambil terus mengupayakan perbaikan kebijakan. Saya percaya, Tuhan mencintai perempuan sedalam cinta-Nya pada laki-laki dan makhluk ciptaan lain.
Sandra Moniaga
HIDUP NO.33, 17 Agustus 2014