HIDUPKATOLIK.com – Terorisme secara langsung ditujukan kepada negara, orang-orang tertentu, kelompok orang dan masyarakat luas. Teror memang menimbulkan ketakutan yang begitu mengerikan (‘extreme fear’). Terdapat banyak cara untuk melakukan teror, antara lain: penculikan, penyanderaan, penyeludupan, sabotase, penyerangan bersenjata, pembunuhan, meledakkan bom dan bom bunuh diri. Bagaikan hantu teror mengintai orang dan peduli amat dengan korban yang berjatuhan, asal saja targetnya tercapai.
Kita boleh mencatat motivasi terorisme. Budaya kekerasan dalam masyarakat dan keluarga merupakan embrio dari terorisme. Kelompok masyarakat yang merasa ditindas dan terpinggirkan mudah sekali melakukan terror. Fundamentalisme dan fanatisme agama pun memicu terorisme. Para teroris menciptakan perasaan tidak aman untuk menarik perhatian media massa dan masyarakat.
Sasaran para teroris antara lain: perkantoran, rumah sakit, rumah makan, supermarket, mall, sekolah, tempat ibadat dan fasilitas umum. Terorisme merupakan ancaman nyata bagi keselamatan bangsa dan negara, demokrasi dan masyarakat sipil. Para teroris nekat membunuh dirinya demi ideologi tertentu. Boleh jadi bagi para teroris pelaku teror bunuh diri dianggap sebagai martir.
Sudah barang tentu, teroris bukanlah tindakan martir. Karena terorisme dilaksanakan dengan semangat kebencian (‘hatred actions’), menyampaikan cara berkomunikasi yang sangat primitif dan biadab. Para teroris membunuh orang yang tak bersalah. Padahal para martir dibunuh dan tidak melawan. Mereka menerima siksaan dan pembunuhan keji dengan hati kasih disertai doa, “Ya Tuhan, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat?” (Luk. 23:34). Para martir adalah saksi iman.
Salah satu contoh adalah martir pertama St. Stefanus. Sebagai diakon ia dirajam dengan batu oleh pemuka agama Yahudi. Stefanus memberi kesaksian tentang kematian dan kebangkitan Yesus. Pada saat-saat akhir menjelang kematiannya Stefanus berseru, “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku” (Kis. 7:59). Stefanus masih berdoa, “Tuhan, janganlah Kau tanggungkan dosa ini kepada mereka!” (Kis. 7:60).
Para martir adalah orang kudus yang mencerminkan wajah Allah. Mereka memang manusia sama seperti kita namun mereka sudah lebih serupa dengan citra Kristus (2 Kor. 3:18). Dalam liturgi, para martir menempati tempat pertama sesudah para rasul. Busana liturgi pada pesta mereka adalah mereka, simbol penumpahan darah, seperti Kristus diri menumpahkan darah-Nya bagi keselamatan dunia.
Para teroris melakukan kejahatan bom bunuh diri. Dalam banyak budaya, bunuh diri dinilai negatif, bahkan jahat dan berdosa. Orang yang bunuh diri berada dalam keadaan letih, putus asa, tak berdaya, kehabisan akal sehat, biasanya terisolasi dan terasing, bermentalitas penuh dendam, emosional, tidak menghargai kehidupan, tidak mampu menjalin kasih, tidak mampu berkomunikasi secara wajar. Bahkan, beberapa budaya menilai orang yang bunuh diri adalah orang yang kerasukan roh jahat.
Bunuh diri melawan secara langsung wewenang mutlak Allah atas kehidupan dan kematian. Orang yang melakukan bunuh diri, “mencoreng peradaban manusia, perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya, daripada mereka yang menanggung ketidakadilan, lagi pula sangat berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta” (Gaudium et Spes, 27).
Bunuh diri perlu dibedakan dari mati syahid. Mengapa? Mati syahid adalah kematian karena dibunuh dalam peperangan oleh musuh. Mereka dibunuh dalam jalan Allah. Mati syahid pun berbeda dari kemartiran, karena martir tidak berperang melawan musuh, tetapi ia dibunuh begitu saja demi imannya. Para martir ingat akan teguran Yesus kepada Petrus, “Sarungkanlah pedangmu itu, bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepada-Ku?” (Yoh. 18:11).
RD Jacobus Tarigan